(Radar Surabaya, Minggu 5 September 2010)

Liah waswas mendapati tubuh Miran tampak tidak bergerak. Digoyang-goyanglah tubuh yang membujur di dipan itu. Barangkali Miran tengah tidur seperti biasanya. Tapi tubuh Miran telah benar-benar kaku.
Liah segera melolong seraya mengisak minta tolong kepada orang ramai di seberang rumahnya. Orang-orang yang sejak subuh tadi sibuk membetulkan dinding rumah (tersusun dari papan sengon) dan mengemasi tratak di rumah adik iparnya segera berbondong-bondong ke rumahnya.
Tubuh Miran diangkat dan dirapikan oleh beberapa lelaki. Sebelum dikerubuti jarik bermotif batik merak, seorang lelaki menemukan sebongkok uang di saku celana Miran. Liah yang masih saja berisak-tangis kini menyelidik uang apa sebenarnya.
“Lima juta seratus dua puluh lima ribu. Peganglah, Liah!” kata lelaki tadi serta mengangsurkan segepok uang kepada Liah yang tengah mengusap-usap matanya dengan punggung tangan.
Muncul perasaan haru di hati Liah. Satu kepercayaan yang telah lama raib kini kembali bernas. Dianggapnya lelaki yang kini ditatapnya itu telah menjadi seorang jujur di akhir hayatnya. Uang kiriman dari anak-anaknya benar-benar di simpan. Tidak seperti sangkaan mulanya, bahwa uang hasil keringat anak-anaknya telah habis dihamburkan buat hura-hura di luar sana.
Hari beranjak siang. Orang-orang mulai menyiapkan upacara kematian di rumah Liah. Sementara mereka masih lelah oleh pesta pernikahan yang diselenggarakan di rumah adik ipar Liah. Pesta pertama itu berlangsung meriah, penuh suka-ria. Tapi di pesta kedua ini nanti tetangga dan kerabat hanya patut menyumbang doa dan berucap belasungkawa. Sesekali airmata!
***
Miran membebat kepalanya dengan kain sebentuk selendang. Sakit yang menjalar di kepalanya terasa agak berkurang. Tapi justru nafasnya terasa memberat. Suara musik dangdut dari luar rumah membuat dadanya sesak. Sebenarnya Miran kepingin beranjak dari dipan dan menonton hiburan dangdut itu. Dibayangkannnya di halaman rumah adiknya pasti banyak lelaki enggan mengedipkan mata karena serius menamati goyangan tubuh biduan yang meliuk-liuk. Miran tergoda membayangkan lebih jauh.
Miran masuk di kerumunan penonton yang sedang berjoget. Dia turut berjoget mengikuti goyangan biduan bercelana hitam ketat setengah paha dengan paduan baju tanktop abu-abu. Aduhai, goyangan gadis biduan itu memutar-mutar pinggulnya. Sesekali pantatnya dihentakkan ke atas dan bawah, seiring irama musik yang kadang mengentak naik-turun. Miran terkesima pada goyangan biduan yang membawakan lagu Gitar Tua itu. Apalagi Miran sangat menyukai lagu itu.
Sesaat kemudian Miran naik panggung. Dia berjoget berhadapan dengan biduan bahenol itu. Dia tidak menghiraukan para lelaki yang besorak meneriakinya. Dia senang berjoget sembari menatap mata biduan itu dari jarak amat dekat. Sembari bergoyang, dihamburkannya uang saweran hingga berceceran di alas panggung.
“Ha ha ha… Dasar Miran kere! Turun turun…”
Sebagian penonton berteriak mencemooh Miran yang mengecerkan uang seribuan kepada biduan. Sementara sorai mereka kedengaran mendukung saat dia mengulurkan uang lima ribuan atau sepuluhan ribu. Tiba-tiba pandangan Miran menumbuk bayangan perempuan yang berdiri di sudut teras rumah adiknya. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tapi dirasa Miran sebenarnya mata itu menyala-nyala serupa bara hendak melumat dirinya.
Liah yang sepersekian lalu berada di sudut teras rumah kini berjalan tergesa ke arah panggung. Raut muka ibu beranak tiga itu sedih becampur durja. Tiap-tiap rongga di tubuhnya tersusupi hawa tegang. Dan uara ketegangannya dirasa oleh penonton yang sedang asyik-masyuk berjoget. Mendadak saja para penonton merasa kikuk saat bergoyang.
Di luar perkiraan Miran, Liah naik ke panggung. Orang-orang tercekam.
“Sudah tua tidak insyaf malah makin edan!” kata Liah pada Miran dengan nada agak tinggi. Liah menarik lengan Miran dan memaksanya turun dari panggung.
Sejenak kemudian musik seperti menggetamkan kekakuan. Penonton tersihir sesaat. Barulah kemudian mereka bersorak beramai-ramai menertawakan Miran yang telah dipaksa turun oleh istrinya.
“Miran… Miran. Awas istrimu akan menendang pantatmu!” teriak salah seorang mengejeknya. Ketegangan dan kemarahan Liah kepada Miran kini justru menjadi penghiburan berupa olok-olok.
Ketika mendadak (sebenarnya sudah berulang kali) sebuah suara bertekanan tinggi menggaung dan menebah-nebah dinging rumah. Kaca pintu rumah Miran gemeratak oleh getaran yang terasa kuat itu. Bersamaan itu dada Miran tersengal pula. Seolah benda padat tiba-tiba menyumpal paru-parunya. Lalu Miran kembali ke dunia aslinya dengan menyadari bahwa beberapa detik lalu ia hanya dikendalikan imajinasinya. Dan sungguh ia tak ke mana-mana kecuali di dipan itu. Betapa sakit telah melumpuhkannya. Karenanya, untuk keinginan menonton dangdut, dia sungguh tahu diri untuk mengurungkan. Badannya benar-benar tidak kuat untuk semata-mata bangun, apalagi berdiri.
***
Dua bulan belakangan Miran sakit-sakitan. Dia sendiri tidak tahu sakit apa yang dideritanya. Dulu sekali, ketika dia sempat periksa ke klinik, dokter menyebut ia mengidap penyakit kuning. Itu sudah nyaris enam tahun lalu.
Sejak Miran divonis sakit kuning, tiap subuh Miran pergi ke sungai. Kali Kidul itu lebarnya sekitar tujuh meter. Arusnya cukup deras. Di situlah Miran menceburkan tubuhnya. Dia melompat dari tubir lereng dan terjun ke sungai hingga muncul suara gedebur amat keras. Dia berenang-renang. Dia main-main lumpur. Kadang tubuhnya dibenamkan ke dalam lumpur di delta sungai itu. Setelahnya dia melompat lagi dari tubir lereng ke sungai, berenang-renang, dan kembali main lumpur.
Sebagai orang penyakitan, mustinya Miran waswas kalau-kalau tenggelam terbawa arus. Tapi kebiasaannya bermain di sungai berangsur-angsur membuatnya membaik. Dia justru merasa kuat ketika berada di sungai. Berikutnya dia tak lagi dikira sebagai mayat berjalan sebab warna pucat di kulitnya kian menyusut. Jamu rebusan akar ciplukan dan parutan kunyit yang diminumnya tiap hari dirasa turut memulihkan tubuhnya. Dia merasa kesembuhan itu cukup ajaib. Hanya setahun berselang sejak dia divonis kena kuning.
Barangkali penyakit Miran saat ini lain. Bukan penyakit kuning lagi. Lihatlah, kulitnya melepuh. Sebagiannya membusuk dan menjadi koreng basah yang lebar-lebar di sekujur tubuhnya. Dia sering mengeluhkan pusing tak keruan. Juga nafasnya sesak-sesak.
***
Sejak pagi suara musik dan lagu diputar keras untuk memeriahkan pesta sekalian menyambut tamu. Miran merasa kebisingan itu tak lebih meremas-remukkan paru-parunya. Meski sebenarnya Miran turut bersukacita atas perkawinan anak gadis adiknya—jauh-jauh hari ia sudah berbahagia mendengar rencana perkawinan keponakannya itu.
Malam telah larut dan susut. Tak ada lagi suara gaduh sound system dari luar rumah. Tak ada lagi percakapan. Kecuali canda sunyi angin kepada dedaunan dan dinding-dinding. Sejak tontonan rampung, dunia Miran begitu tenang. Senyap mengambilalih suasana ruang dan tiap-tiap rongga di tubuhnya. Dia hanya mendengar dengus nafasnya sendiri yang sesak dan berat.
Orang-orang di rumah adiknya sudah berkemas tidur. Sebagian sudah benar-benar lelap. Pun Liah sudah merebah dengan kesadaran melayang-melayang. Sebelum benar-benar tertidur, Liah sempat mengingat wajah Miran yang pucat dan tampak beku. Wajah yang terakhir kali dijumpainya sore tadi ketika ia pulang untuk mandi dan ganti baju. Liah berencana akan pulang esok nanti, meski jarak antara rumahnya dan rumah adik iparnya hanyalah 30 kaki. Sebab Liah merasa tubuhnya amat payah dan kalah oleh rasa lelah, ia ingin lekas tidur ketimbang memikirkan Miran. Ia tak merasa khawatir terhadap kondisi Miran yang makin memburuk. Dan dua hari belakangan ia mengabaikan Miran karena sibuk membantu menyiapkan pesta pernikahan keluarga adik iparnya itu.
Ah! Sebenarnya Liah memang tidak begitu sungguh-sungguh mememerhatikan Miran. Bahkan ia merasa penyakit itu memang pantas diderita Miran. Setidaknya penyakit itu adalah wujud teguran Tuhan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan Miran terhadap dirinya. Sebab sampai kini ia masih menyimpan rasa kurang senang terhadap Miran. Dalam banyak hal ia belum bisa membenarkan kelakuan Miran.
Perasaan Liah macam itu adalah timbunan rasa kesal terhadap Miran yang selalu nyawer saat menonotn dangdutan. Uang ratusan ribu amblas semalam untuk menuruti kesenangannya berjoget dengan biduan. Upah kerjanya sebagai pembuat sumur bor hanya dihabiskan untuk menuruti syahwatnya itu. Jika ingat soal uang sudah pasti Liah geram pada Miran. Betapa lelaki itu nyaris tak pernah memikirkan kebutuhan istri. Bahkan uang kiriman dari kedua anaknya yang merantau di Kalimantan juga disikat. Liah yakin uang itu sekali habis ketika sampai di tangan suaminya. Padahal Liah tak selalu memegang uang belanja. Tungkunya diupayakannya tetap mengepul atas usahanya sendiri menjadi buruh tani yang tidak tentu.
Liah merasa malu ketika kelakuan buruk Miran, semacam nyawer, dibicarakan orang kampung. Terlebih lagi orang-orang sering bilang padanya bahwa Miran hobi “jajan” ke Warung Babe Gombloh—warung di sebelah pasar kecamatan yang menyediakan banyak perempuan untuk dikeloni. Tapi pada kasus satu ini, sebenarnya Liah menyangsikan. Sebab Miran pernah bersumpah demi Tuhan bahkan nyawanya sendiri.
“Sumpah mati dan dikutuk Tuhan, Liah! Aku tak pernah jajan! Aku hanya dua kali ke sana hanya minum kopi,” kata Miran saat itu.
Lampu rias masih bekerlipan membentuk konfigurasi maraton seperti kunang-kunang berkejaran. Janur kuning di teras rumah melambai-lambai dikekas angin yang makin dingin. Panggung yang beberapa jam lalu begitu meriah kini dihuni beberapa lelaki yang sedang lelap. Sebagian mereka mendengkur, beradu suara dengan derik serangga tanah.
Di rumah sebelah, seorang lelaki hampir baya tengah memeram rasa sakit. Pikirannya melayang-layang. Tubuhnya melemah di titik terendah.
“Pak... Jika masih ada sisa uang kirimanku, tolong belikan sepeda motor. Sedapatnya dari sisa uang itu saja. Agar ketika aku pulang nanti tidak kerepotan jika ingin pergi ke mana-mana.”
Miran mengingat permintaan anak sulungnya yang sampai kini masih merantau jauh di pulau. Miran ingin sekali menuntaskan permintaan anaknya itu. Dia berandai-andai, esok hari jika tubuhnya kuat, dia bakal pergi ke showroom di kota.
***
Subuh segera memecah kesunyian yang tadinya amat mencekam Miran. Rumah adiknya kembali riuh-rendah. Beberapa perempuan mencuci perabotan dapur dan membersihkan tempat-tempat yang mulai dihinggapi lalat. Puluhan lelaki sibuk memasang dinding rumah yang terbuat dari papan sengon. Teknisi sound system mengemasi alat-alatnya. Sebagian orang melucuti tratak dan panggung.
Liah menyempatkan diri untuk menengok Miran ketika sebentar lagi matahari akan terbit. Ia merasa asing dengan keadaan yang begitu sepi di rumahnya. Tak ada suara senggrak-senggruk nafas Miran yang biasa didengarnya semenjak lelaki itu jatuh sakit. Juga tak didengarnya dengkuran-dengkuran kecil yang lazim menghinggapi telinganya.
Liah menduga Miran hanya sedang tidur saja. Pastilah Miran tidur begitu larut sebab terganggu keramaian semalaman, pikirnya.
Maret 2010