(Surabaya Post 10/10/2010)
1#
Hari masih petang ketika saya bertandang ke kos-kosan Banu. Sudah lama saya tidak bersua dengan kawan karib itu. Entah, hampir dua minggu ini dia menghilang. Selama itu saya tidak pernah menemukan dia nongol di basecamp. Sebuah kantor kecil yang saya gunakan menerbitkan buletin kecil-kecilan yang rutin disebar dua minggu sekali.
Saya ketuk kamarnya. Dengan raut pelas, Banu menyilakan masuk. Saya merasa tidak enak mendatanginya dalam keadaan wajahnya yang tidak bersemangat itu. Mata saya menampak, sepertinya sebelum saya datang, dia sedang tidak melakukan apa-apa. Yakin saya, dia habis tiduran belaka.
“Bagaimana kabarmu, Banu? Lama kamu tidak main ke basecamp!”Banu tidak segera menjawab. Saya lantas menimbang-nimbang kembali omongan tadi. Aduh, saya rasa ucapan tadi kurang bersimpatik kepada seorang kawan yang cukup lama tidak bersama. Menyatakan dia sudah lama tidak main ke basecamp mungkin tidak beda sebagai sebuah jurus yang langsung menotok lehernya. Sebab dua bulan belakangan ia berkilah akan lebih sering meninggalkan kantor kecil tempat kami belajar bersama itu.
Sedianya saya bisa berbasa-basi lebih lama dan halus. Tapi bukankah hal demikian akan hanya akan memanjang-manjangkan sifat munafik saya? Ah!
Banu hanya mendengus. Nafasnya malah memberat. Saya enggan menatap matanya sebab pandangannya justru menghiba.
“Entahlah, Nar! Terlalu banyak kebingungan yang belum bisa saya selesaikan.”
Begitu jawabannya dengan irama amat tidak bergairah dan bernuansa. Tapi justru suasananya timbul begitu jelas dari perkataannya. Resah!
“Bukankah hidup memang begitu? Tanpa kegelisahan dan kebingungan, mustahil kita berpikir banyak!” kata saya mulai bersiasat. Yah, mencoba menyiasati hidup Banu. Terlebih hidup saya sendiri yang lebih sering dilanda pelbagai pikiran dan perasaan absurd yang tak selesai-selesai saya rumuskan.
“Manar… Manar…” senyum Banu kecut, tampak melecehkan, “Gampang saja ngomong macam itu. Sebab kamu tak merasakan!”
Kalimat terakhirnya yang bernada menggertak membikin saya menahan untuk menjawabnya dengan retorika terlalu lepas.
“Apakah untuk sama-sama merasakan kemelut dan limbung kita musti menghadapi masalah yang sama. Saya punya porsi memikul masalah saya. Kamu punya porsi menanggung persoalanmu. Dengan rumus sederhana itu, dunia sudah impas bagi kita, bukan?” balas saya.
Banu malah tertawa. Tidak lepas. Usai menyulut satu batang, saya angsurkan bungkus rokok yang masih berisi pada Banu. Namun dia mengelakkannya ke lantai.
“Betapa kamu tidak mengerti. Takkan paham! Dan kamu tambah tidak mudeng lagi pada rencana saya berhenti kuliah.”
Apa? Banu, mengapa begitu? Seketika berputar aneka pertanyaan di tempurung kepala saya. Paling tidak, omongan Banu cukup mendadak bagi saya. Sedikit membuat denyut kejut di jantung.
“Saya iri kepada orang-orang yang ketika uangnya habis langsung bisa merengek kepada orangtua. Sementara saya…?”
Pembicaraan demikian saya coba tepis, “Tidak semudah bayanganmu juga, kawan! Banyak kelindan masalah di antara orang-orang yang tidak sampai indera kita. Bagi saya masing-masing orang punya tantangan sendiri-sendiri. Meski memang, di sana banyak kelihatan orang bahagia. Dan bukankah kamu juga sering merasa senang?”
“Jika dirunut dengan nalar, memang semua terasa mudah seperti paparanmu. Tapi memang, sudah saya putuskan berhenti kuliah. Tak ada biaya lagi untuk hidup di kota yang apa-apanya musti ditukar dengan uang. Bahkan hingga pikiran dan perasaan!”
Saya mendehem. Lalu, “Ah, dunia memang tarik-menarik sedemikian kuatnya. Kita tersedot dalam pusaran kekuatan magnet dunia ini. Tapi, tidakkah kita sudah merancang prinsip sebagai kekuatan diri untuk menghadapi hal-hal demikian? Saya kira!”
Lantas kami ngobrol banyak. Mendebatkan absurditas hidup yang berujung-pangkal pada kekalutan dirinya. Saya mencoba mencuarkan retorika-retorika yang optimistis. Sementara Banu masih pada kondisi awalnya yang lebih tepat saya sebut layu, ketimbang saya katakan sebagai pesimistis. Lalulah kami teronggok pada ruang perdebatan yang musti lebih dalam.
“Baiknya saya pecahkan saja kepala. Biar semuanya hancur mumur!”
Saya membalasnya dengan tawa kencang. Dan malah saya beralih mengejeknya.
“Hai, Bung! Tuhan sedang tertawa-tawa melihatmu berpikir macam demikian…” kata saya.
“Sudah saya adukan semua masalah ini padaNya. Toh, takdir terus saja bergeming. Justrulah beban kian menumpuk.”
Baiklah! Sekalian saya pecahkan kepalamu, Banu! Saya tusuk kamu dengan retorika yang lebih tajam.
“Ha ha ha… Payahnya kamu! Tuhan hanya tersenyum-senyum melihat kepayahanmu, Ban! Kamu sibuk berdoa, Dia hanya hanya menari-nari!”
Banu agak tersinggung saya begitukan. Matanya sempat mendelik. Meski begitu saya tetap akan coba membongkar sebongkar-bongkarnya cara berpikir teman saya ini.
“Apakah memang sesusah ini mencari ganjalan untuk perut, Nar?” Banu mengajukan pertanyaan.
“Ya! Susah! Dan kamu sadar, bukan? Sementara Tuhan hanya sibuk bermain dadu. Atau, dengan sekepal takdir yang digenggamnya, ia hanya menontonmu. Ah, lebih tepat saya kira Tuhan menunggu belaka atas apa yang akan terkehendak atasmu!”
“Sial kamu! Malah mengejek saya dengan cara tinggi seperti itu!”
Mata saya sempat menyontek pada sebentuk benda bulat dan panjang terbungkus plastik hitam terjepit di antara kasur dan dinding. Sebagian benda itu tertindih pinggang Banu yang mengalai di dinding. Saya tidak menaruh curiga apa-apa. Kecuali lebih tertarik menanggapi pembicaraan Banu!
Sampai waktu cukup larut. Saya meminta menginap di kamar kosnya itu. Mata saya sempat menampak muka Banu memurungkan muka sebelum saya tidur. Pada kesempatan lain, di sela-sela nglilir sekejap, saya menemukan Banu sedang menulis sesuatu.
Mungkin ada tugas kuliah yang harus diselesaikan, pikir saya. Melanjutkan tidur lagi.
2#
Sebangun dari tidur, kesadaran saya yang belum utuh mendadak belingsatan. Seperti terbangun tiba-tiba sebab menemu kamar tengah kebakaran. Dalam keadaan setengah bangkit, saya seperti hendak terjumplang.
Saya dapati Banu sudah tidak bernafas. Bercak-bercak busa kering di mulutnya. Sebuah kaleng tergeletak di sampingnya. Pula robekan kertas di genggamannya.
Manar, sahabat terbaik…
Terima kasih telah semakin menyesaki kepala saya sebelum saya mengadakan kesia-siaan sedemikian. Lihatlah, putusan ini menjadi begitu cemerlang, benar! Sebab hidup pun saya rasa tiada arti selain kebingungan-kebingungan.
Terima kasih pula telah rela jadi orang terakhir yang menemani saya! Semogalah kamu tetap pada prinsip dan keteguhanmu. Seperti katamu, menirukan filsuf berkumis panjang dan gila pada suatu waktu, ucapkan pada saya dan Tuhan agar kami istirahat abadi.
Salam. Janganlah keputusan saya ini tidak sama sekali menjadi pelajaran bagimu. Sebab jika begitu, sungguh mati saya lebih sia-sia.
Saya tetap mencoba menegakkan tubuh. Mendalamkan nafas. Menegarkan diri!
Pemakaman Banu usai! Justru paling ramai dibicarakan adalah tentang bagaimana cara Banu bunuh diri. Saya yang berada di tempat perkara harus menanggung setiap pertanyaan para pelayat. Mereka tampak antusias. Kedengaran pula sebagian orang mengira-ngira sendiri dan membuat kesan lebih dramatis dari kematian Banu, ketimbang cerita saya.
Ah, otak mereka lebih mati!
Sempat muncul gagasan konyol, ketimbang saya sebut ganjil. Alangkah lebih baik saya merekam pembicaraan sendiri atas kejadian itu dengan tape recorder. Lalu saya setel. Saya minta orang-orang mendengarkan testimoni itu. Sebab begitu repot menjawab pertanyaan sejenis tapi berganti-ganti orang-orang. Begitu!
3#
Sekalipun, tidak ada mendung di langit. Kecuali perasaan saya yang masih bertabut hingga menjelang petang kembali. Senja ini begitu menggantung.
Saya membaca ulang robekan kertas berisi wasiat Banu yang terakhir. Semakin runtuh dan kedirian saya terlucuti.
Apakah kata-kata saya semalam justru memengaruhi Banu untuk bunuh diri?
Saya merasa diri lebih sia-sia ketimbang Banu. Ah!
Mei 2010