Sunday, December 19, 2010

Mitos Teknologi di Tengah Bencana

2
Oleh Musyafak Timur Banua
(Radar Surabaya 19/12/2010)

Bangsa ini seolah tidak pernah luput dari belitan duka akibat perilaku alam yang agresif. Kearifan lokal yang ditandai dengan ilmu titen dianggap tidak lagi memadai untuk membaca gejala alam. Sebaliknya, masyarakat dianjurkan agar sadar penuh terhadap teknologi.

Kita mendengar banyak orang “mendecap” ketika ramalan intuitif Mbah Maridjan meleset. Merapi meletus, dan juru kunci yang fenomenal itu pun dianggap seolah “menggali kubur sendiri” dengan tesis-tesis titen-nya. Bahkan kearifan lokal masyarakat dalam membaca Merapi dituding tidak lagi relevan di tengah kemajuan teknologi dan informasi zaman terkini.

Lantaskah, dalam menujumkan perilaku alam yang tidak lagi ramah kita musti “beriman” sepenuhnya kepada teknologi?

Betapa kita melihat, kegagalan teknologi dalam mengantisipasi tsunami di Mentawai tidak lantang dipersoalkan. Meski dibincangkan, barangkali itu hanya bisik-bisik semata. Tidak diinsyafi, ketidakmampuan alat deteksi gelombang tsunami membaca kemungkinan terjadinya tsunami bukan sekadar mencerminkan kegagalan alat tersebut secara fungsional. Tetapi secara keseluruhan menyuratkan kegagalan teknologi dalam membaca tanda-tanda alam. Toh, Indonesia memiliki badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang tidak henti mengamati gejala tektonik di dasaran laut. Nyatanya, gerakan alam terjadi seolah secara tiba-tiba. Kedatangannya tidak teramalkan.

Mitos

Teknologi, sebagai anak kandung ilmu pengetahuan, bekerja di dalam lingkaran yang memuat relasi-relasi seragam. Teknologi beroperasi di atas kepastian-kepastian hukum rasional. Teknologi nyaris tidak menerima sesuatu yang berubah-ubah. Teknologi hanya mampu menerjemah kode, tanda, atau simbol, yang sudah terkenali secara definitif.

Sementara alam berjalan di atas hukum relativitas. Tidak ada yang lebih pasti daripada kemungkinan-kemungkinannya sendiri. Maka ikhtiar teknologi untuk membaca gejala alam tidak akan selalu benar. Sebab seringkali alam bergerak menyimpang (berbeda) dari tatanannya sendiri—kebiasaan alam yang ditahbiskan sebagai hukum alam. Alam seringkali memberi kejutan.

Begitu juga ilmu titen, yang dalam keadaban Jawa disebut pula ilmu katuranggan, adalah cara memahami sesuatu dengan intuisi yang berdasar pada kebiasaan-kebiasaan. Cara primitif ini akan berhasil membaca situasi ketika alam bergerak dalam pola kelaziman. Tetapi ketika alam bergerak menyimpang, atau mengambil selisih di antara kebiasaannya sendiri, cara ini pun akan gagal. Baik teknologi maupun ilmu titen bernasib sama: mencari kemungkinan.

Jepang yang memiliki teknologi mutakhir nan canggih, toh dalam memahami perilaku alam tidak serta-merta menggantungkan “iman” kepada teknologi. Jepang yang kerap terkena gempa dan tsunami itu ternyata mempercayakan antisipasi peringatan bencana hanya 10 persen kepada teknologi (kompas.com). Meski, memang teknologi dapat meminimalisasi jumlah korban dan kerugian yang diakibatkan oleh agresivitas gejala alam.

Manusia modern menerima ilmu titen sebagai mitos. Mitos dianggap sebagai antitesis dari upaya ilmiah yang rasional. Lebih tepat dikatakan, bahwa ilmu titen adalah suatu rajutan mitologis. Mitologi dapat kita pahami sebagai upaya menjelaskan sesuatu yang sebenarnya rasional tetapi menggunakan cara-cara yang tidak rasional. Manusia zaman dulu lebih tunduk kepada kekuatan supranatural yang irasional daripada penjelasan-penjelasan rasional. Wajar jika dalam menjaga kosmologi masyarakat dan alam, mereka lebih banyak dikendalikan oleh mitos-mitos daripada hukum formal-rasional. Sementara, ilmu pengetahuan, berikut teknologi, menjelaskan sesuatu yang rasional dengan cara-cara yang rasional pula. Baik mitologi maupun teknologi sebenarnya hendak menguak suatu tujuan yang masuk akal.

Kepercayaan manusia modern kepada teknologi telah melahirkan sebuah mitos tentang kuasa teknologi. Teknologi dianggap mampu mengatasi segala persoalan hidup. Padahal, sebagai sebuah keniscayaan, teknologi tidak selamanya bisa menjawab kebutuhan sekaligus kebuntuan manusia. Namun, paling tidak, kehadiran teknologi telah menumbuhkan harapan dan optimisme tingkat lanjut yang lebih kuat dalam mengarungi kehidupan dalam tiap-tiap laju zaman.

Kepercayaan manusia kepada teknologi justru melampaui daripada kemampuan teknologi itu sendiri. Sama halnya mitologi (mitos) yang hadir di tengah masyarakat untuk memberi wanti-wanti dan harapan.

Demikian, ketika berhadap-hadapan dengan “bencana”—masyarakat terlanjur menyebut gejala alam sebagai bencana—alam, ilmu titen dan teknologi sebenarnya sama-sama bekerja di lingkaran mitos. Bedanya, teknologi selalu punya cara untuk mengelak dan membela diri dengan dalil-dalil rasional.

Musyafak Timur Banua, pengkaji filsafat-budaya di Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

2 comments:

  1. hi, salam kenal ^^!

    kalau ada waktu, mampir ya....

    ReplyDelete
  2. Thanks Funky udah mampir ke sini... oke oke semomga ada waktu ke sana...

    ReplyDelete