Friday, December 17, 2010

Titik Jera Perempuan

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : IX, 2006
Tebal : xix + 156 hlm

Titik nol, sebuah koordinat ruang yang memungkinkan sesuatu berdiri dalam kekosongan atau kehampaan. Kesemuan yang dualistis. Serupa sebuah keberadaan (existence) yang in absentia (tidak hadir). Merupakan yang ada (being), tapi tidak mengada. Adalah titik kesukaran mengidentifikasi, dan hingga memformulasikan, dirinya. Wujud sebuah ketidakmenentuan yang tentu.

Di lain sisi, titik nol adalah imajinasi tentang pemberangkatan diri “dari” dan “menuju”. Pada fase refleksi eksistensi yang mendalam, titik nol adalah tanda diri yang berdiri bebas, tidak terbatasi dengan ikatan nilai-nilai yang niscaya membentuk dan mengungkung diri. Ya, nol adalah titik infinitum, ketakberhinggaan. Adalah diri yang merdeka dan merayakan adanya sendiri.

Begitulah narasi tentang diri perempuan yang digelar Nawal el-Saadawi dalam novel Perempuan di Titik Nol. Novel ini hadir dengan pola fiksionalitas yang telah diframe sedemikian rupa sehingga menyengat sekali bau feminisme. Adalah sebuah upaya menawar kondisi sosial perempuan yang hidup di ruang dan zaman sumbang. Nawal memainkan posisi subordinatif perempuan di lingkungan yang sungguh-sungguh “berjenis kelamin lelaki” untuk menyelusupkan nilai-nilai feminisme.

Sebuah wacana keperempuanan bergerak dan mengapung-apung di sana. Dari kisah hidup seorang perempuan yang terlahir di sebuah kota yang memiliki Sungai Nil yang mengalami ketertekanan berlapis di dalam hidupnya. Ialah Firdaus, seorang bocah yang berkembang di lingkungan manusia “bertopeng” namun jelas siapa pemakainya. Dari lingkup keluarga, ia diasuh dalam pola kasar dan semena-mena seorang ayah. Bagaimana seorang ayah menjadi raja di dalam rumah. Sementara ibu dan anak-anak perempuan tak lain sebagai piaraan yang membantu pemenuhan kebutuhan libido—makan, minum, seks, dll—dalam hidup. Sekalian, Firdaus kecil tumbuh dengan kesadarannya yang mulai mengerti tentang arti kekerasan seorang ayah terhadap ibunya.

Dalam pada itu, Firdaus diajari tentang “bagaimana” merasakan sensasi seksual di dalam dirinya. Pamannya yang sejak kecil menyayanginya, telah menandai diri Firdaus sebagai jejak pemuntahan keinginan seksual yang jarang terlampaui secara tuntas. Masa itu, Firdaus telah mengalami sensasi seks yang nyaris benar-benar ada di dalam dirinya. Yakni ketika ia menyadari ada sebuah getaran kenikmatan di dalam dirinya. Namun Firdaus kerap meragukan kenikmatan “absurd” macam itu tergerak dari tubuhnya, atau justru berada di luar dirinya.

Firdaus mendewasa dalam kuasa adat yang “mengangkangi” perempuan semaunya. Sebagai jalan, adalah lorong gelap yang selalu amis oleh bau kelelakian. Ia terlempar dari sana ke mari, sekadar menjadi pemindahan keadaan konstan dari ruang ke ruang.

Perempuan berdarah Mesir itu mulai “kehilangan” dirinya ketika ia diserahkan oleh pemaksaan kepada seorang lelaki tua yang masih mengingkan permainan ranjang. Adalah pamannya sendiri yang seperti mengumpankan keponakannya kepada seorang duda tua itu sebagai buntut perhitungan untuk mendapatkan imbalan setara atas perawatan yang telah diberikan kepada Firdaus sejak kecil.

Firdaus menjadi perempuan yang lalu menutup kehadiran dirinya. Ia menolak untuk merasai sebuah gairah seksual di organ-organ genitalnya, atau di titik-titik tubuhnya yang sebenarnya membuka-menutup dalam menerima getaran “absurd” dan “menggilakan”. Keterpaksaan membuatnya hanya memberikan tubuhnya kepada lelaki tanpa sedikit hati.

Firdaus yang celaka oleh kekerasan di dalam rumah tangganya, pergi ke jalanan yang hiruk-pikuk. Bermula dari jalan itulah, harga dirinya ditentukan. Pula, kemanusiaannya terbentuk dalam kediriannya pribadi yang bersengkarut dengan kepahitan yang bertubi-tubi. Perjalanan–perjalanan di dunia yang “bacin” lalu menjadikannya sebagai pelacur. Sebuah upaya mempertahankan hidup, dan diri, dengan kesepakatan bahwa keberadaan dan keberhargaannya dianggap karena sebatang tubuhnya yang bisa ditukar uang. Dari pelacuran yang niscaya mendatangkan banyak uang, Firdaus mulai bisa menetukan harga tubuhnya, sekalian harga dirinya. Adalah lalu kemapanan dan jalur kelimpahan hidup yang ditempuhnya. Sebelum kemudian dirinya pula dijajah oleh sesama nalar kapital perempuan yang memandang tubuh adalah komoditas yang bisa terjual. Di tangan seorang mucikari, tubuhnya diperah tak ubahnya mesin pencetak uang. Ketelanjangan di ranjangan, menjadi kepanjangan sejarah tentang penjajahan dirinya. Tubuhnya menjadi mesin pelayanan hasrat seksual. Nyaris sebagai mesin semata. Sebab sekali-kali ia tidak memberikan tubuhnya yang genap dengan hatinya. Itulah ia yang menolak merasai getaran dan lambaian rasa seksual. Sebab ia hanya menjalani kepelacuran sebagai hal yang semata rutin dan fisik.

Ia pula yang berkali-kali kecewa ketika membuka hati terhadap lelaki. Ketika ia sepenuhnya menyerahkan tubuh dan hati. Inilah kerapuhan mendasar dalam dirinya tentang sebuah keyakinan. Bahwa, selamanya lelaki adalah lelaki. Dan selamanya pula, lahir sebagai perempuan adalah menjalani derita dan sia-sia yang tak terperikan. Karenanya, Firdaus yang sebenarnya telah keluar dari “dunia gelapnya” kembali tersungkur di lumpur itu. Tersebab dirinya yang yakin bahwa orang baik tapi menderita merupakan sebuah kesesatan. Sedangkan pendosa yang bahagia adalah kemuliaan. Firdaus kembali melacur secara “merdeka”. Memasang tarif setinggi-tingginya untuk tubuh dan dirinya. Lalulah Firdaus menemu diri yang suka terhadap kegelapan, lazim dengan kekerasan, bahkan berani membunuh. Adalah, menurutnya, dunia lelaki yang mengantar dirinya kegerbang kelam itu. Pada titik ini, sebenarnya Firdaus sungguh sadar. Ia benar-benar ada dan hadir di ruang dan waktunya.

Membaca Perempuan di Titik Nol adalah membaca kelelahan-kelelahan panjang seorang perempuan di jalan maskulinitas. Perempuan tak lebih sebagai objek yang dikunyah mentah-mentah oleh kelelakian. Ia tersingkir dan tertampung dalam situasi yang meniadakan kediriannya. Melainkan tradisi dan “topeng” menumbuhkembangkan dirinya sebagai pribadi lain. Pribadi yang selamanya merasa merdeka, tapi sebenarnya kebebasan semu: kebebasan menentukan hidup yang tetap menindihnya sebagai batu besar yang berat.

Untuk sebuah kebenaran yang dipilihnya, bahwa keperempuanan macam dirinya terbentuk oleh kelelakian yang biadab, ia rela mati membela kebenaran itu. Ia yang mentok tidak bisa lagi menawar keadaan hidup yang “di sebalik-di sebalik” itu, kecuali mengatakan kepahitan hidup perempuan macam dirinya adalah kebenaran. Ya, kebenaran yang mengancam tiap orang yang selalu melakukan ketidakbenaran.

Dan demi kebenaran itu, Firdaus memilih pancung!

Musyafak Timur Banua, muallaf yang tengah belajar membaca
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment