dinihari ini, sekitar pukul 02.30, aku berdoa. ah, jaman begini masih percaya doa? entah. seperti telah lama sekali saya tidak mendoakan diri. dan benar-benar, memang saya jarang berdoa. karena berdoa adalah seperlunya saja, bukan?dengan gelisah dan berpengharapan dalam kecamuk dan remuk di diri, pun sebenarnya saya sedang mengutarakan doa. bahwa, saya yakin "kekuatan" yang saya pilih sebagai tujuan berdoa, mutlak mengerti dan paham apa-apa, ingin maupun harap yang berayun-ayun di pikiran dan ceruk hati. ujudnya, adalah sebuah tarikan imajinasi menuju suatu masa yang dibayangkan berbeda dari penimpaan zaman terkini atas diri. bukankah itu dapat dimengerti tanpa basa-basi oleh "seorang" Tuhan?
lalu, apa sebenarnya? saya, seperti manusia-manusia lain yang memendam gelisah, barangkali manusia yang tak pernah lepas dari doa. bahkan, mungkin telah selalu saya genggam doa itu dalam kepalan tangan yang teramat kuat. sehingga garis-maris tangan menegas, menebal, dan menghitam. ah ah... agar doa itu tidak merucut!
bisa dikata, ini semacam kepercayaan primitif; menggantung diri pada sesuatu yang entah. semacam mosi mengelabuhi diri dari kedaifan yang melanjut pada penyerahan kuasa yang dibayangkan mampu mengatasi kelemahan itu.
***
doa saya, "Gusti, saya ingin tahu masa depan saya seperti apa. mau jadi orang seperti apa..." seperti ada hening saat itu. ada suatu momentum "pelepasan" diri saat itu. sebuah ketersandaran yang saya rasa sendiri absurd: saya bertanya-tanya mengapa meminta sesuatu yang "tolol" begini.
lantas, sebuah kesadaran lain berjingkat. entah di akal, ataukah mungkin hati. kesadaran lain itu adalah semacam sentakan diri yang menolak pada doa macam tadi: ingin tahu gambaran masa depan, lebih jelas ingin tahu hendak menjadi apa (karakter duniawi: pekerjaan, pangkat, harta, dan semacam friksi imajinasi kerakusan dalam diri) esok. spontan ada pemberontakan dalam diri.
mengapa mengelak dari doa yang katanya sering diminta orang-orang, itu?
duh... adalah kesadaran laini itu. mungkin, sebuah kelaziman fitiriah saya sebagai manusia yang harus "membatasi" diri. tahu seperlunya saja. dan akan memberatkan jika ketahuan saya melampaui.
lagi-lagi entah. saya sangat tidak siap jika Tuhan memberitahu saya akan jadi apa-apa dan siapa-siapa macam bagaimana. dan sepertinya, diam-diam saya mencabut doa itu. menjilat lagi permintaan yang sudah saya serah pada Tuhan. saya berani melakukan penjilatan itu, sebab saya tahu Dia tidak pernah marah pada kelakuaan saya, macam apapun bentuknya. justru saya lebih takut membuat salah pada manusia. manusia, dengan fitrah "membawah dan memburuk" akan mengalami banyak liku-liku menuju permaafan. sedang, bagiku Tuhan adalah "mulus". tidak durja seperti manusia yang mendendam pada keadaan dan kesilaman.
kembali ke doa tadi. intinya, saya terlalu tidak siap menerima pemberitahuan tentang masa depan. pertama-pertama, seolah saya "menaruh" Tuhan sebagai tukang nujum yang saya datangi untuk meramalkan, ah lebih tepat menunjukkan, masa depan itu. ini tidak terlalu bermasalah. sebab saya "taruh" sebagai apapun, Dia selalu menerima. sebab memang Dia adalah "Apapun"
selanjutnya, saya pikir: sangat menakutkan mengerti hari esok. mengerti apa-apa yang belum terjalani. seperti telah mengerti alur skenario yang menentukan perpindahan dari koordinat ke koordinat lainnya.
"SETELAH SAYA TAHU SEMUANYA, TENTANG MASA DEPAN, TENTANG HARI ESOK, ADALAH LALU SAYA YANG AKAN MENGGOROK LEHER SENDIRI DENGAN PISAU BERKARAT," batin saya.
bahwa, kebenaran masa depan adalah menyakitkan, lebih dari apapun. lebih baik saya tidak tahu sama sekali soal apa-apa di esok hari. dengan begitu saya bisa mengatasi diri dan hidup dengan karsa yang alamiah. tanpa dibuntuti dengan was-was yang datang terlalu awal. serta juga tidak diliputi kebangga-sombongan yang "terjanjikan". adalah mengerikan, andai saya dipahamkan tentang esok yang "jahat" dan buruk. bukankah itu sudah mengalahkan sebelum terjun ke arena pertandingan. sudah tahu hasil, maka daya apa yang hendak dikeluar. lalu, pahamlah saya, pada kondisi macam itu, takkan ada penilaian apapun. bahwa, hitam-putih, unggul-bawah, adalah kesia-siaan belaka. manusia menjalankan peran dengan nilai yang sudah dipatrap di awal: dengan kesadar-tahuan penuh tentang apapun dengan hasil yang sudah penuh di tangan.
lebih baik tidak mengerti apa-apa tentang kesemuanya esok. kecuali kita sendiri yang merdeka untuk merumuskan diri untuk hari esok itu sendiri. meski perumusan itu, adalah perjudian yang harus siap "dikalahkan" oleh kekuatan lain. dan pada ini, saya lebih beriman bisa mengatasi diri dengan keseriusan. bisa sejenak untuk menyaksikan dan mengidentifikasi diri pada suatu momentum: apa-apa yang hendak sudah terlalui, apa-apa yang sudah tercapai, apa-apa yang belum tercapai, juga apa-apa yang perlu dan tikda perlu dicapai dalam kehidupan ini.
***
niat awal berdoa macam tadi, adalah saya yang mengimajinasikan ketertataan diri. ya, keteraturan hidup dengan rumusan kekuasaan yang telah menggarisi ruang dan waktu saya. adalah fitrah manusia, lazim mengimpikan suasana terang dan teratur tentang hidup. tapi, saya timbang-timbang lagi, keinginan seperti ini tak lebih sebagai memasuki "koridor lebih absurd". di lorong inilah, saya seperti memasukkan diri ke dalam kekaburan yang semakin makin memanjang. adalah menjala kabut yang terus menerus.
maka, keingintahuan tentang hari esok adalah sama hal membuat kekacauan dalam diri sendiri. diri yang ingin merdeka dari tekanan dan cengkeraman kepastian. entah apalah itu? keliaran atau kegilaan? barangkali semua orang pernah memikirkan ini. hingga macam ini akan ternilai sebagai kewajaran.
***
hidup adalah saat ini. dan saya menjadi enggan menjadikan Tuhan sebagai "tukang nujum" untuk menentukan pola pikir saya: kebahagiaan dan kekhawatiran. bahwa, kebenaran adalah rahasia itu sendiri.
dan saya yakin, kini saya bersama Tuhan sedang merumuskan sesuatu: hidup dan masa depan. adalah imajinasi yang bekerja. ya, imajinasi saya dan "imajinasi" Tuhan yang saling menikah untuk memindah diri saya dan hidup dari satu koordinat ke koordinat lain. lihat, saat ini saya sedang "gotong-royong" bersama Tuhan untuk mengatasi diri dan kekaburan esok hari.
saya percaya juga, anda sekalian juga telah mencipta skenario bersama-sama dengan Tuhan untuk sebuah ceritera masa depan. dan Tuhan, seperti telah Dia katakan pada saya saat ini, menyilakan kekuatan imajinasi anda sebagai pekerja untuk merumuskan hal esok itu.
27 april 2010