Oleh Musyafak Timur Banua
(Suara Merdeka 13/02/2010)
TULISAN ”Menelusuri Suara Persma” di rubrik KAMPUS (30/1/2010), sangat menohok. M Abdullah Badri dalam tulisan itu menandaskan, persma tidak punya common issues (isu bersama), sehingga terkungkung dalam kampus. Persma disarankan melongok persoalan luar berskala regional bahkan nasional, agar tidak menjadi raja di ”hutan” sendiri yang bernama kampus.
Memang persma butuh formulasi baru demi mengarahkan gerakan yang lebih relevan dengan keadaan zaman. Namun, tawaran Badri mengajak persma hijrah ke ranah regional atau nasional secara praktis, dalam hemat saya sama halnya menggiring persma menjadi macan ompong di tengah makin ketatnya kompetisi media massa umum.
Pandangan Badri bahwa persma sibuk mengulas isu-isu kampus perlu didudukkan dalam fakta empiris. Argumentasi itu tidak representatif dalam meneropong persma terkini. Justru saya punya argumentasi terbalik. Bahwa persma saat ini lebih banyak mengangkat isu luar kampus daripada isu kampus yang perlu ”penjagaan”. Persma memandang isu-isu hangat bersifat sensasional yang bergulir tingkat daerah maupun nasional dianggap seksi untuk digarap.
Ada beberapa alasan yang membuat saya tidak sepakat jika secara mekanis persma dihijrahkan dari kampus. Pertama, tanggung jawab persma kepada masyarakat kampus. Sudah seharusnya persma memberi menu yang cerdas dan bermutu kepada mahasiswa yang juga sebagai penyandang dana. Di tengah kondisi melempemnya gerakan mahasiswa, ditambah kultur malas berorganisasi, persma punya tanggung jawab untuk memompa semangat mahasiswa.
Kedua, nilai-nilai berita yang baik di antaranya adalah proximity atau kedekatan isu yang diusung kepada sasaran pembaca. Kedekatan antara mahasiswa dan lingkungan kampus lengkap dengan politik, birokrasi, serta budayanya, meniscayakan isu kampus lebih diingini dan intim dengan mahasiswa daripada isu luar. Menelanjangi berbagai isu kampus memiliki risiko lebih besar. Saya melihat banyak persma tunduk pada birokrasi kampus hingga produknya justru menjadi ”corong” penguasa. Saya agak curiga ajakan persma keluar dari kandang adalah pelarian semata: buntut ketakutan dari kekangan birokrasi kampus. Persma harus menjadi ”anak manis” yang tidak diperkenankan mengutak-atik persoalan kampus. Ah!
Ini bukan bualan! Saya sering mendengar keluh-kesah aktivis persma yang diancam dekanat bahwa dananya tidak akan diturunkan jika memuat informasi menyudutkan mereka. Ironis bukan? Di era kebebasan pers, suara persma disetir. Beberapa produk persma masuk meja editing birokrat. Lantas di mana objektivitas persma jika kepentingan birokrat menjadi ganjalan yang mencengkeram?
Kondisi ini mengharuskan persma dibakar semangat-idealismenya untuk tetap menjadi pelawan tiran yang menggurita di kampus, baik golongan politik kampus maupun birokrat yang menadaskan kemapanan. Jika tidak, lembaga penerbitan mahasiswa (LPM) hanya akan menjadi ”persma salon”. Ini patut diwaspadai ketika persma mengarusutamakan life style atau budaya pop yang hirukpikuk. Sementara, ketimpangan kampus tidak disentuh. Apa pun bentuk dan karakteristik persma, isu-isu kampus selayaknya diberi ruang lebih luas dibandingkan lainnya. Bagaimana?
Musyafak Timur Banua, pemimpin umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo (2009-2010)