Judul : Karena Aku Perempuan(Kumpulan Kisah Perempuan Mengubah Nasibnya)
Editor : Parma Andika Puspita dan Noni Aernee
Pengantar : Humaini AS
Penerbit : Koalisi Jurnalis Perempuan
Cetakan : I, Desember 2009
Tebal : xii+92 hlm
Gerakan perempuan untuk kesetaraan dan keadilan gender belum membawa hasil signifikan. Kultur patriarki masih mengakar kuat di segala lini kehidupan. Dalam pada itu, kepedulian terhadap nasib perempuan yang masih menjadi manusia second class (kelas kedua) semakin meluas. Tidak hanya dari kalangan aktivis perempuan.
Karena Aku Perempuan: Kumpulan Kisah Perempuan Mengubah Nasibnya, adalah bukti kepedulian jurnalis perempuan di wilayah Jateng yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Perempuan. Catatan “dunia gelap” perempuan ini lahir atas pergulatan para jurnalis perempuan yang kerap bersentuhan langsung dengan peristiwa atau kasus penistaan kaum hawa. Tidak cukup hanya empati sehingga buku ini terbit. Tetapi ada pesan kuat, “Saatnya perempuan diselamatkan.”
Buku ini memuat 20 kisah perempuan dengan pernak-pernik penderitaannya dalam menjalani hidup. Tulisan-tulisan di dalamnya tidak lebih sebagai karya jurnalistik yang dipaparkan dengan pelaporan features. Yakni laporan yang menyampaikan informasi penting sekaligus mengorek persoalan lebih luas dan dalam. Melalui pendekatan lebih ringan, tapi tidak mengurangi substansi human interest-nya. Ia memiliki kekhasan penceritaan kuat pada alur ceritanya. Sehingga, seperti kata DR Williamson (1975), laporan jenis ini memberi informasi sembari menghibur.
Para penulis menyajikan gagasan dengan alur sederhana. Keseluruhannya adalah pengisahan tentang person (orang), tapi tentu dalam wilayah sosial yang luas. Tampaknya, ini adalah strategi agar pembaca menemukan sendiri pesan universalnya dari semua cerita.
Ya, tulisan-tulisan di dalamnya tidak bertolak dari teori-teori feminisme atau gender. Secara bersahaja pembaca diajak menyelami laporan cerita, dengan sendirinya pembaca bergumul pada aktivitas penghayatan: dari mana akar masalah berawal dan ke mana narasinya mengalir.
Di awal, pembaca diajak menilik kondisi para buruh migran perempuan di negeri jiran. Memburu Harapan (hlm 1), Cerita dari Negeri Rantau (hlm 27), dan Kisah Umi di Tengah Perang (hlm 37), menggambarkan kehidupan detail para Tenaga Kerja Wanita (TKI) yang tidak mendapatkan hak-haknya. Misalnya TKW yang dianiaya dan mengalami pelecehan seksual oleh keluarga majikan, gaji tidak dibayarkan, dan sistem pengayoman pemerintah yang tidak serius.
Menarik, membaca kenomorduaan perempuan dalam bingkai kultur pernikahan. Belenggu Tradisi Pernikahan Dini (hlm 23) adalah paparan apik tentang kondisi masyarakat Rembang yang sampai kini masih mengawinkan anak-anak “perawan kencur” atau di bawah usia 17 tahun. Tradisi ini terkait keyakinan, jika anak perawan menolak lamaran laki-laki maka akan tidak laku kawin hingga jangka waktu lama. Laporan ini digenapi dengan kebiasaan pemalsuan identitas diri, semisal menuakan umur di Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk meloloskan syarat administrasi menikah.
Kawin Paksa di Sumba Tengah (hlm 65) adalah potret perempuan masih menjadi obyek sasaran pemaksaan dalam membangun rumah tangga. Sementara kaum lelaki bisa memilih calon istri semaunya, sedang perempuan yang dipilih “hanya” harus menerima sekehendak orangtuanya.
Lebih menggelitik dan mencengangkan adalah fakta kawin kontrak di Jepara. Dipaparkan dalam Kawin Kontrak Bisnis Mebel (hlm 75), latar ceritanya adalah bisnis meubel di kota ukir itu. Kawin kontrak dilakukan oleh para pebisnis asal luar negeri dengan perempuan setempat. Tergiur uang melimpah, sebagian perempuan Jepara bersedia dikawini pebisnis bule. Sejatinya, kawin kontrak hanya akal-akalan si bule agar perijinan bisnis mereka dipermudah oleh birokrasi setempat. Perempuan pelaku kawin kontrak karena merasa mendapat balasan materi yang setimpal.
Persoalan klasik perempuan seperti Kekerasan Perempuan dalam Rumah Tangga (KDRT), aborsi, dan trafficking tak luput sorotan. Di samping itu, kisah perjuangan perempuan melengkapi buku ini. Di tengah situasi ekonomi yang serbasulit, perempuan harus bekerja keras untuk tetap survive. Juga perempuan-perempuan yang mengasuh anak-anak jalanan, kaum guy, atau kelompok-kelompok marjinal.
Membacanya seluruh, buku ini nyaris sekadar mengingatkan betapa gelap dunia perempuan. Maka ini lebih tepat dikatakan sebagai kisah perempuan yang bertahan daripada mengubah nasib. Memang, narasi yang disampaikan sebenarnya ingin menghadirkan perlawanan. Tetapi pada akhirnya kisah-kisah yang tersajikan membentur dinding kokoh tiran budaya patriarki yang memaksa perempuan “berpasrah” dan berbuat terbatas.
Demikian, buku ini tidak memberi peta solutif atas masalah perempuan, sekaligus kurang memberi wacana baru bagi gerakan perempuan. Pun, tema yang diangkat cenderung seragam: kekerasan dan ketertindasan.
Humaini AS, jurnalis perempuan senior di Suara Merdeka, dalam pengantarnya menyarankan, lain kali (baca: ke depan) lebih baik dimunculkan topik yang lebih luas meliputi masalah sosial, politik, budaya, dsb yang bersentuhan dengan perempuan.
Namun, para jurnalis maupun aktivis perempuan harus membaca buku ini. Pantas menjadi rujukan bagaimana seharusnya kasus perempuan diberitakan di media massa. Tidak mudah melakukan komunikasi dengan para perempuan yang menjadi korban, sementara buku ini mampu menepis soal itu. Buku ini juga penting untuk menjadi rujukan riset di lembaga-lembaga yang konsen terhadapan problem perempuan.
Meski tidak bisa menjadi suluh besar, paling tidak buku ini menyulut lilin. Lebih penting, buku ini mengajak pembaca agar lebih peka dan berempati terhadap keadaan perempuan yang masih berada di ketiak kaum laki-laki. Ini semacam kitab untuk melawan lupa bahwa persoalan perempuan harus mendapat perhatian lebih serius.
Musyafak Timur Banua, redaktur majalah sastra Soeket Teki Semarang