(Jurnal Nasional, 14 Februari 2011)
Oleh Musyafak Timur Banua
MAULID Nabi adalah perayaan keagamaan yang istimewa bagi umat Islam. Peringatan hari lahir Muhammad SAW itu sudah mentradisi di kalangan masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Tentu, tradisi ini menambah semarak laku hidup beragama. Namun patut direnungkan, ritual keagamaan itu hendaknya tidak tercebur ke dalam euforia festival belaka.
Mahmoud Ayoub dalam An Anthology of Islamic Studies (vol II, 1996) memandang ritual sebagai medium bagi insan beragama untuk mengenang peristiwa spiritual, sekaligus memperbarui hubungannya dengan sejarah spiritualitas agamanya. Ritual merupakan sarana penghadiran peristiwa penting di masa lalu yang memungkinkan suatu komunitas mampu menatap masa depan secara lebih luas dan terang.
Memang, ritual tidak lepas dari sejarahnya, namun bukan sekadar mengalirkan kejadian masa lalu di masa kini. Ritual adalah momentum penyatuan ruang dan waktu di segala zaman. “Serial waktu” menjadi jembatan penghubung antara waktu primordial beserta sejarahnya yang khas dengan “kekekalan” masa depan yang tanpa batas.
Alhasil, ritual juga berfungsi untuk merefleksikan masa lalu dan mengimajinasikan masa depan. Sangat disayangkan jika tradisi-tradisi keagamaan hanya berakhir sebagai hingar-bingar festival tanpa menghadirkan makna yang lebih intim bagi kehidupan yang terus bergulir di setiap zaman. Umat Islam hendaknya mendedah pesan-pesan kesejarahan itu daripada terus berkutat pada norma yang rutin dan lazim.
Pemulihan Moral
Kini kita merayakan Maulid Nabi di tengah kondisi bangsa yang memprihatinkan. Moral bangsa terus merosot, bahkan mendekati kebangkrutan. Perilaku fitnah, curang, dan ketidakjujuran mengharu biru. Wujudnya berupa tindak-tanduk korupsi atau penyelewengan amanat rakyat untuk kepentingan pribadi.
Kita bosan setiap hari mendengar dan membaca berita korupsi yang “mati satu tumbuh seribu”. Hukum makin terkotori “najis-najis” kepentingan perorangan atau kelompok. Mafia hukum berkeliaran di mana-mana: di lembaga kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman. Sementara itu, kerja politik yang mestinya mampu mengakomodasi segala perbedaan kepentingan, justru berbalik menjadi arena transaksi antarkelompok untuk adu keuntungan.
Di tingkat masyarakat bawah, tanda-tanda rapuhnya nilai moral tampak pada perilaku kriminal yang intensitasnya cenderung meningkat. Diam-diam masyarakat mengidap gangguan psikopatik karena seringnya timbul pencederaan orang lain dengan motif sekadar mempertahankan mulut dan perut.
Merebaknya kriminalitas bisa jadi sebagai buntut ketidakpuasan masyarakat kecil terhadap tatanan sosial yang sekian lama menimpakan represi fisik dan psikis berkepanjangan. Kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial membuat masyarakat gelap mata.
Kondisi itu seolah melengkapi gambaran karut-marut situasi kebangsaan kita. Tanda-tanda keruntuhan moral telah mengolengkan landasan kehidupan berbangsa. Masing-masing individu mementingkan diri sendiri dan mengabaikan tanggung jawab atas orang lain. Spirit empati dan berbagi makin minus. Setiap kesempatan--politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya--cenderung dimanfaatkan untuk melimpahkan kebahagiaan pribadi.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momentum penting bagi pemulihan moral sekaligus peneguhan karakter bangsa. Kini bangsa Indonesia membutuhkan teladan kepemimpinan sekaligus teladan pergaulan yang memadai. Sepatutnya kisah-kisah Nabi Muhammad SAW yang dibaca dalam acara-acara salawat atau barzanji bisa dijadikan teladan moral.
Dalam kisah-kisah itu terbetik nilai-nilai human berupa amar ma‘ruf nahi munkar yang bermuara pada penegakan akhlak (moral) mulia. Memang, segala dakwah dan perjalanan Muhammad SAW tak lain adalah memperbaiki moral manusia. Rasulullah sendiri menegaskan, dirinya tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. (HR Bukhari dalam Shahih Bukhari). Frase “kecuali” menandaskan tidak ada motif lain kecuali satu alasan tersebut.
Misi penegakan akhlak mulia itu mengisyaratkan misi profetik Muhammad untuk membangun tatanan etik yang kokoh di masyarakat. Bahkan. mengonsolidasikan pelbagai tatanan etik yang bisa merahmati jagat raya dan seisinya (rahmatan lil ‘alamin), menembus batas etnisitas dan entitas sosial. Sebab, akhlak atau moral merupakan peranti kemanusiaan untuk menyusun harmoni kehidupan.
Kini, rekonstruksi moral bangsa menjadi kebutuhan mendesak agar bangsa ini terbebas dari bayang-bayang kehancuran. Segala ihwal kebangsaan--politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya--harus dilandasi prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi kebajikan, kejujuran, dan kebenaran.
Zaman yang Terang
Agama tidak cukup hanya memusatkan diri di ranah kognitif, atau sekadar menjadi kebutuhan privat. Sebaliknya, agama mesti hadir di gelanggang publik atau wilayah sosial. Agama tidak cukup hanya bersembunyi di forum-forum peribadatan normatif. Agama harus keluar, menjelajah ruang-ruang kehidupan, memberikan tuntunan positif yang aplikatif bagi interaksi antarmanusia.
Robert Crosbie dalam bukunya The Friendly Philospher mengatakan, agama sejati harus menyumbangkan landasan berpikir, kemudian menjadi landasan bertindak bagi manusia. Agama harus memberi pemahaman tentang alam, diri, dan semua makhluk. Sebab, agama bukan hanya seperangkat dogma atau keyakinan, melainkan sebuah ikatan yang menyatukan individu satu sama lain, serta semua makhluk di jagat raya.
Sedianya, peringatan Maulid Nabi menjadi momentum dalam merayakan refleksi keagamaan untuk menggali nilai-nilai agama yang lebih konstekstual dan membumi. Agama mesti menjadi suluh yang menerangi peradaban, seperti kehadiran Nabi Muhammad sebagai pembebas masyarakat dari kungkungan zaman kegelapan atau jahiliyah (al-dhulumat) ke zaman yang terang-benderang (al-nur).
Selain memperteguh visi human agama, perayaan ritual yang diiringi refleksi memberikan harapan makin teguhnya peran agama dalam kehidupan berbangsa. Tentu, peran agama yang murni mengarah pada penegakan kebenaran. Bukan kamuflase kepentingan-kepentingan politis kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama
-Musyafak Timur Banua, aktivis di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang