Cerpen Musyafak Timur Banua
(Pikiran Rakyat, Minggu 9/01/2011)
Slamet gusar sebab makin sering dibincangkan orang. Kejadian tempo hari membuat orang Dusun Sloka gempar. Ia tidak mempan dibacok celurit. Lehernya yang disasar perkakas tajam itu tak sedikit pun lecet. Lelaki yang tiba-tiba hendak membacoknya dari berlakang terjengkang hingga pingsan.
Mulanya, lelaki paro baya itu sedang membuka gorong-gorong di bibir kanal untuk mengalirkan air ke sawahnya. Dengan cermat tangannya menyorong-nyorongkan sebatang kayu ke mulut gorong-gorong agar tanah sumpalannya bisa lolos. Tiba-tiba ia merasa ada gerakan yang sangat cepat dari arah belakang. Ia belum sempat menoleh ketika seorang lelaki mengayunkan celurit tinggi-tinggi ke arah lehernya. Ia belum tahu apa yang terjadi di belakangnya, ketika telinganya mendengar sebuah pekikan nyinyir dan histeris dari seberang. Dan, tidak ada sedetik ketika ia kemudian merasa tengkuknya seolah diraba benda dingin dalam tempo yang sangat cepat.
Slamet menoleh bersamaan suara debur air yang cukup keras, bersamaan pula seorang lelaki terpelanting tak bisa mengendalikan tubuhnya. Mata Slamet terbeliak menaut sebuah celurit yang masih tergenggam di tangan kanan lelaki yang dikenalinya sebagai si Ulu-ulu (tukang irigasi). Lalu disadarinya tubuhnya gemetar, keringat dingin merambati bajunya. Di punggung jembatan dekat dari posisinya, dua lelaki berdiri tercekam ngeri bercampur takjub. Mereka menggoncangkan kepala, dan satu di antaranya sekonyong-konyong mendaras nama Tuhan. Tubuh Slamet melemas, lantas duduk dengan punggung menyandar di barisan pokok lamtoro. Disaksikannya dua lelaki tadi mengangkat tubuh si Ulu-ulu.
Slamet meraba tengkuknya. Masih sedia kala. Ia menginsyafi Tuhan telah sedang melindunginya dari marabahaya. Bagaimana bisa celurit setajam itu tidak mempan menebas leherku?
Ia pun tak bisa menghindar dari berbagai pertanyaan yang serta merta menyerangnya. Mengapa si Ulu-ulu itu hendak membacokku? Apa salahku hingga ia begitu kalap? Pikirnya, bukan soal sederhana hingga seseorang merasa geram dan mengayunkan celurit ke leherku yang taruhannya adalah kematian.
Slamet menginsyafi perbuatan yang baru saja dilakukannya. Mungkinkah karena aku mengalirkan air tanpa minta izin darinya? Dan, Slamet ingat telah tiga kali ini membuka gorong-gorong air menuju sawahnya. Akan tetapi, bukankah suatu kewajaran melakukan hal itu karena sawahnya terhitung paling jarang diberi air oleh Ulu-ulu itu. Ia pernah memiliki prasangka bahwa Ulu-ulu itu berlaku tidak adil padanya.
Slamet terus bertanya-tanya. Seraya tak henti mengucap syukur dan istighfar.
***
Cerita berkembang-dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga-sejadi-jadinya. Ada beberapa sisipan cerita hingga makin menarik dibincangkan.
"Ketika celurit sampai lehernya, timbul suara dentingan seperti logam beradu."
"Ya, sempat terbit percik api ketika celurit menyentuh lehernya."
"Pastilah Slamet memiliki ilmu sakti. Jika tidak, pastilah ia sudah jadi bangkai karena ditandas celurit si Ulu-ulu itu."
Topik cerita sedikit mengelok tentang kesaktian Slamet, yang lantas menyebar cepat dan nyaris merata ke tiap-tiap telinga orang dusun. Slamet menjadi keki jika ketemu orang. Ia risih harus meladeni pertanyaan-pertanyan bawel mengenai kesaktian yang-dianggap orang-terpendam di dalam dirinya. Rumitnya, orang-orang tidak mau percaya pada jawaban-jawabannya.
"Aku tidak punya ilmu apa-apa. Apalagi ilmu sakti mandraguna. Kejadian itu semata-mata pertolongan Gusti Allah."
Jawaban itu dikira sebagai sikap kerendahhatian Slamet belaka. Orang-orang malah makin percaya, Slamet sungguh-sungguh memiliki ilmu bertuah.
"Begitulah orang sakti yang bijak, seperti padi, makin berisi makin runduk. Tidak mau sesumbar."
***
Slamet bergeleng-geleng kepala, seraya mulutnya mendecap-decap. Ia merasa hidupnya telah berubah menjadi sebuah kekonyolan. Belakangan ia begitu disegani orang. Nyaris tiap orang menganggukkan kepala dalam-dalam ketika berpapasan dengannya, kalau tidak menyapanya dengan bahasa yang sangat lembut. Ia merasa dihormati oleh orang secara berlebihan, tak kecuali orang-orang baya yang usianya lebih tua darinya. Bahkan istrinya sendiri menaruh segan lebih dari lumrahnya, yang dirasainya justru membuat jarak.
Perlakuan-perlakuan itu membuat hidupnya terasa terganggu. Ia ingin menjadi manusia biasa yang bisa bergaul dengan sesiapa tanpa menimbulkan rasa segan berlebihan. Ia tidak ingin dihormati lantaran rasa takut orang lain terhadapnya. Itulah yang membuatnya merasa telah dikorbankan. Ia tidak bisa mencangkul, menyabit, atau mengerjakan sawah dengan benar dan tenang sebab pikirannya selalu dipecah-pecah untuk memikirkan tindakan dan pembicaraan orang lain terhadap dirinya.
Suatu kali ia meratap. Betapa ia ingin merasakan hidup seperti semula. Tak digunjingkan, tak disangka-sangka, tak ditanya-tanya, juga tak dilebih-lebihkan. Ia ingin orang percaya dirinya benar-benar tidak memiliki ilmu yang berurusan dengan kesaktian atau kekebalan. Ia hanyalah seorang pendoa yang selalu meminta keselamatan diri sendiri dan keluarganya. Selamat dunia akhirat, tentunya.
Sebagai pendoa, ia memiliki cara khusus yang tidak dilakukan orang lain di Dusun Sloka. Tiap matahari terbit, ia berdiri khusyuk menghadap arah timur seraya mulutnya komat-kamit mendaraskan sesuatu. Begitu pula ketika matahari hendak surup, ia melakukan hal yang sama tetapi menghadap arah barat. Baginya, dua waktu itu adalah penentu untuk memulai hari maupun malam dengan baik. Pernah ia dibilang orang musyrik sebab dianggap menyembah matahari.
"Sekali-kali aku tidak pernah meminta, apalagi menyembah matahari. Begitulah caraku bersyukur, mengawali dan menutup hari, mengawali dan menutup malam, dengan berdoa agar selalu dikurniai keselamatan oleh Gusti Allah. Tentu kalian punya cara lain, bukan?" kata Slamet.
***
"Kami ingin berguru kepadamu. Ajari kami ilmu kebal itu. Sekiranya gobang, pedang, celurit, bahkan peluru akan mental dari tubuh kami."
Maduri, lelaki bertubuh jangkung dan gempal itu masih setia berdiri. Ia dikenal jago karate di Dusun Sloka. Ia juga menggemari benda-benda bertuah seperti keris, batu akik, jimat, rajah, juga pusaka-pusaka yang dianggapnya memiliki kekuatan gaib. Matahari sebentar memuncak di ujung cakrawala. Di belakang Maduri adalah tiga lelaki yang juga berniat belajar ilmu sakti. Slamet terus bergeming. Ia tetap saja mengayunkan cangkul, menyisiri pematang sawahnya.
"Andai ada syarat untuk berguru kepadamu, apa pun akan kami penuhi."
"Sudahlah! Aku tidak memiliki ilmu sakti itu!"
Maduri beserta tiga orang itu belum patah arang. Mereka menurutkan Slamet hingga rumahnya. Mereka menunggui Slamet sepenuh harap. Sebenarnya Slamet amat muaknya, merasa ketenangannya telah dirampas oleh keinginan-keinginan konyol orang lain. Ia merasa hidupnya tidak merdeka lantaran selalu dibuntuti orang.
Hingga malam hari, Maduri dan kawanannya masih menunggu di teras rumah. Di antara mereka tak henti berbisik-bisik. Malah kawanan itu bertambah jumlahnya menjadi belasan orang. Slamet tertekan, tak tahu musti bagaimana memberi pengertian kepada mereka. Istrinya sempat membujuk-bujuknya untuk memenuhi permintaan mereka, tetapi Slamet mengelak.
***
Kawanan orang di teras rumah makin membesar, membentuk kerumunan yang ramai. Mereka rela berjam-jam menunggui Slamet. Ketika pagi menjelang, mereka sadar telah melewati malam tanpa tidur. Siang harinya mereka tetap tidak bercerai dari kerumunan. Malah lebih membengkak lagi jumlahnya, mencapai puluhan orang yang tidak hanya dari Dusun Sloka, tetapi juga dari dusun sebelah.
"Konyol! Dungu!" gerutu Slamet.
Slamet merasa terpenjara di rumah sendiri. Orang-orang di muka rumahnya tak ubahnya kumpulan demonstran yang menuntut dirinya mengabulkan permintaan konyol. Istri Slamet pun kebingungan, tetapi ia bergeming. Barang kali ia memang tak tahu harus bicara apa. Istrinya pulalah yang hanya kewalahan meladeni pertanyaan kedua putranya yang kecil-kecil.
"Bu, mengapa di luar ada orang beramai-ramai?"
Malam berikutnya, kerumunan itu hanyalah kumpulan orang-orang berwajah sayu. Pelas. Akan tetapi di antara pusaran rasa gelisah itu, telah terbit di antara mereka perasaan durja. Semacam amarah karena keinginannya tidak tergubris.
Tampak pemberontakan di raut Maduri.
"Slamet tidak menghiraukan kita. Padahal kita sudah seperti pengemis. Tak bersisa lagi harga diri kita!"
Slamet terperangah ketika Maduri menggedor pintu rumahnya. Teriakannya bak auman singa lapar. Disusul umpatan dan hujatan yang meluncur keras.
***
Slamet menyerah. Ia tidak bisa membiarkan orang-orang makin gaduh dan berlaku ricuh. Begitu pintunya dikuak, ia disambut muka-muka yang menguapkan kemarahan. Namun mereka serentak diam melihat Slamet memasang mata agak lebar. Slamet berdiri di pusat pekarangan, diiringi mereka yang secara alami membentuk lingkaran. Ia agak bergetar menghadapi orang sebanyak itu. Istrinya mengintip dari balik gorden, was-was seandainya Slamet menjadi sasaran kekalapan.
"Mengapa kalian masih tidak percaya kalau aku tidak punya kesaktian seperti yang kalian tuduhkan?"
"Omong kosong! Kerendahhatianmu itu justru sangat sombong karena tidak menggubris permintaan kami yang tulus!"
"Sumpah! Aku tidak punya apa-apa!"
"Baiklah! Kami akan mengujimu sehingga kau tunjukkan kesaktian itu!"
Slamet surut. Akan tetapi ia tidak memiliki ruang untuk mengelak. Lingkaran makin menyempit menghimpit tubuhnya. Waktu terasa begitu mendadak ketika Maduri beserta orang-orang meluncurkan kepalan tangan ke arahnya. Akan tetapi, semendadak itu pula mereka terhalang oleh sebuah kekuatan ajaib. Mereka terpental bersamaan dan berguling-guling di tanah.
Mereka merangkak-rangkak, mengais-ngais sisa tenaga. Dan, Slamet merasai dirinya menjadi lain. Asing terhadap kekuatan yang terasa tengah bersemayam di dalam dirinya.
"Sama sekali tidak berguna ilmu sakti atau ilmu kebal yang kalian cari-cari. Semuanya apes!"
Mereka takjub mendengar vokal dan aksentuasi yang tegas itu. Akan tetapi sesaat kemudian suara itu terdengar mendengking hingga terasa sakit menujah telinga.
"Tidak ada ilmu apa pun yang lebih sakti ketimbang keselamatan. Sesakti dan sekebal apapun, jika tidak selamat maka seseorang akan terluka, celaka! Dan, keselamatan itu tergantung bagaimana laku kita tidak menimbulkan keburukan bagi diri sendiri maupun orang lain. Itulah ilmu slamet. Kehendak untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang lain, kehendak yang tidak pernah sekalipun mencederai liyan, bukan untuk gagah-gagahan dan kekuasaan. Segeralah mohon keselamatan kepada Gusti Allah, tak usah lagi berharap suatu kesaktian."
Mereka masih bergelimangan di tanah. Akan tetapi kini mereka sudah tidak berselera untuk bangkit. Mereka menikmati keterguguan mendengar maklumat Slamet. Sementara Slamet tengah meraba-raba diri, ia masih belum percaya bahwa yang sebenarnya bicara adalah dirinya sendiri.
Semarang, Oktober-November 2010