Cerpen Musyafak Timur Banua
(Cempaka 5 Februari 2011)
SEPERTI keajaiban! Air mulai merembesi muka tanah. Naik sedikit demi sedikit dari cecelah pepori tanah. Lalu seperti bah yang menyusup secara halus dan perlahan, tanpa gemuruh atau rusuh, hingga diam-diam dusun ini tergenang.
Orang-orang dusun selalu bersiaga. Mereka menyingkirkan barang-barang yang bertelekan di lantai. Isyarat air akan masuk ke rumah sudah pasti. Tapi aku tidak merasa perlu memindahkan barang apapun. Sebab memang tidak ada yang musti diselamatkan lagi. Semuanya sudah hancur, membubur bersama air dan lumpur. Begitulah nasib rumah yang pondasinya kalah tinggi dengan yang lain.
Dari loteng, kusaksikan tinggi air sudah sampai seperempat tiang utama rumah. Di seberang jalan, anak-anak berarak menuju surau. Alih-alih sebuah surau, di siang hari rumah ibadah itu digunakan untuk sekolah agama. Mereka menelusur di badan jalan yang punggungnya mulai tertutup air. Kontur jalan yang tidak rata membuat bagian-bagian yang rendah lebih dulu digenangi air tak ubahnya danau kecil-kecil. Sesekali mereka melompat-lompat, mencari jalan yang masih kering.
Pikiranku terdesak ke satu masa yang jauh. Pernah, aku begitu girang ketika melihat air naik. Begitu juga anak-anak sebayaku. Kala itu rob masih jarang-jarang datang. Paling-paling sebulan sekali, itupun tidak pasti. Jika rob sedang pasang, aku dan teman-teman bermain air hingga puas. Lari-lari ke sana ke mari. Juga menangkap ikan-ikan yang nyasar ke perkampungan.
Air merambat lebih tinggi. Beriring trenyuh yang beriak-riak di dadaku. Kini rob tidak lebih sebagai bubungan kepedihan. Membuat waswas di dada selalu pasang yang tanpa surut. Getir rasanya menyaksikan per satu rumah runtuh karena tetiang dan dedinding kayunya lapuk, membusuk oleh rongrongan air asin yang ganas.
Pun hidungku, telah menjadi sarang bau busuk. Bahkan bau amis dan bacin seolah menjadi bau yang biasa kutarik-ulur sampai rongga paru. Genangan-genangan air di permukaan tanah yang cekung menjadi area kumuh dan kotor. Jangan tanya jika anak-anak yang membandel bermain di genangan air lantas terserang demam dan diare. Itu cukup merepotkan sebab di kampung ini tidak ada dokter atau bidan sama sekali. Puskesmas juga cukup jauh untuk ditempuh.
Kuenyahkan pandanganku dari anak-anak yang bermain di muka surau itu. Air meriak-riak di hamparan tambak yang nyaris hilang tandabatasnya. Di sebalik keteduhan lambaian air itu, telah tenggelam beribu-ribu harapan orang-orang dusun. Sejak rob datang rutin tiap hari, kapasitas air tambak terlampau tinggi. Kemungkinan ikan-ikan lolos dari jaring sangat mudah, bahkan tambak akan tenggelam.
Rupanya masih ada sisa-sisa harapanku berkejaran di atas riak-riak air tambak itu. Seraya perasaanku tak henti diselubungi waswas akan bobolnya jaring pembatas tambak hingga ikan lolos ke segala arah.
Kutinggal Marni, istriku, yang sedang tidur di loteng. Rubiya, bayi perempuan lima bulan itu tampak lelap di samping ibunya. Tumbuh perasaan damai ketika melihat mereka, mengalahkan cemas yang tadi meriap-riap di pikiranku.
***
MAKIN hari kian banyak orang yang tidak kuat menanggung keadaan. Lingkungan bacek, bencah, serta berlumpur membuat tidak kerasan. Mereka lelah tiap sore membersihkan lantai rumah dari sisa-sisa air rob. Belum lagi urusan penghidupan yang makin tidak memadai karena tambak lebih mungkin tenggelam daripada menjadi tempat kedamaian bagi ikan-ikan. Orang-orang yang tidak kuat itulah yang lantas pindah ke lain dusun. Hingga tiga tahun belakangan ini sudah puluhan keluarga pergi.
”Kita harus segera pindah, Kang! Rob makin tinggi, tak mungkin kita bertahan di loteng ini terus,” kata Marni.
Aku meremas-remas rambut. Seperti banyak hal tersangkut di sana.
”Baiknya memang begitu, Mar. Tapi aku belum bisa menyiapkan tempat tinggal. Uang simpanan kita paling-paling hanya cukup untuk membeli genteng dan tiang bambu.”
Marni menegakkan kepala, ”Bagaimana jika kita nebeng sementara di rumah Bapak?”
Kutatap Marni dengan berang. Rasa marah mendadak menyeruak di dadaku. Usulan Marni itu seolah hendak meruntuhkan harga diriku.
”Mau kau kemanakan mukaku, Mar? Sama saja meludahi mukaku jika kita tinggal di rumah Bapakmu.”
Marni merundukkan kepala. Surut. Sementara dadaku serasa memadat ketika teringat muka mertuaku. Pernikahanku dengan Marni tidak sungguh-sungguh direstuinya. Hingga kini ia tidak senang bermenantu aku.
Terbit buliran air bening di mata Marni. Air mata yang merembes tiba-tiba di sudut matanya, mengingatkanku pada bagaimana ajaibnya air rob yang pelan-pelan naik ke muka tanah.
Suasana mendadak jadi buntu. Pikiranku begitu hening ketika melihat Rubiya, bayi kecil itu.
”Ya, ya. Pastinya kita pindah. Kita tunggu saja dua bulanan, sampai kita bisa bisa memanen tambak.”
***
KEADAAN tambah darurat. Rob terus meninggi. Tiga malam terakhir air tidak mau surut. Air baru menyusut di pagi hari. Tambak yang kudamba menjadi sumber rejeki nyaris saja menjadi kuburan atas harapan-harapanku sendiri. Tinggi air hampir melimpasi jaring-jaring pembatas tambak. Mungkin sudah banyak ikan melompat keluar jaring.
Bulan penuh di atas kepalaku tak kuasa menyilakkan mendung di mataku. Semendung kekhawatiran orang-orang dusun yang berlebihan. Sejak kemarin kulihat orang-orang mulai berbondong-bondong memboyong perkakas rumah. Rupanya mereka pindah juga—meski hanya mengungsi ke rumah sanak atau famili di lain dusun.
Malam ini dusun hanya ditinggali belasan keluarga. Di luar perhitunganku, air telah menaiki dusun setinggi dua kali lipat dari malam kemarin. Loteng yang kususun setinggi dua pertiga tiang rumah hampir dicapai air. Kampung sudah pantas dikatakan tenggelam.
Petinggi dusun mengitari kampung sejak petang tadi dengan rakit bambu yang di bawahnya bersusun drum-drum besar. Ia berteriak-teriak memberi maklumat agar orang-orang yang masih berdiam di rumah segera keluar meninggalkan dusun bersama rakit itu. Sementara dari seberang telingaku tak henti meluncur suara tangis Rubiya. Demamnya belum surut sejak lusa.
Tak berselang lama petinggi dusun sudah disertai belasan orang. Mereka membunyikan kentongan dan menyeru-nyeru agar orang yang masih berdiam di rumah segera keluar mengikuti mereka.
”Ayo, kita ikut rakit, Kang! Air naik tanpa kira-kira.”
Seruan-seruan gaduh itu seperti memanggil-manggil. Kedirianku serasa tarik-menarik, antara mempertahankan diri dan keinginan untuk turut ke rakit.
”Apa yang kau tunggu, Kang? Menunggu kampung ini tenggelam?”
Ucapan Marni itu terasa mendesakku dengan telak. Lalu pikiranku terhuyung-huyung untuk memutuskan sesuatu dengan cepat.
”Oi... kami ikut! Tunggulah sebentar...”
Sementara rakit mendekati lotengku, aku membantu Marni merampungkan mengemasi beberapa lembar pakaian.
Aku dan serombongan orang di rakit mengitari dusun sebelum benar-benar meninggalkannya. Barangkali masih ada orang yang masih berdiam diri. Perlahan rakit membawa kami menjauh dari kampung. Kulihat wajah orang-orang begitu masai. Perasaanku terasa berat meninggalkan dusun. Begitu banyak kenangan, sekaligus harapan, masih tersangkut di sana, juga sisa-sisa kepedihan.
Sampailah di tanggul besar. Di antara kami hanya saling bersipandang ketika turun dari rakit. Mata-mata itu begitu redup, nyaris tak berdenyar. Kekalutan tampak sebagai gulungan ombak di mata-mata itu.
Kulemparkan pandangan jauh ke dusun. Gelap. Hanya air yang tampak meriap-riap oleh hamburan sinar bulan. Sebelum berjalan menyusuri tanggul besar itu, orang-orang tidak putus-putusnya melihat dusun. Kami diliput rasa haru. Dan, pilu!
Giliran airmata yang meluap. Sudut-sudut mata perempuan menjelma hulu sungai yang mengalirkan air hingga menyisir ke pipi-pipinya. Sebagian lelaki pun matanya berkaca-kaca remang.
***
AKU sudah melewati batas dusun. Beberapa orang menegur dan menanyai kami. Mereka menyilakan kami mampir. Bahkan, jika berkenan menginap di rumahnya sekalian.
”Terus jalan saja, Kang. Kita harus sampai rumah bapak malam ini juga,” kata Marni lirih, serta tangannya mengusap-usap punggung Rubiya dengan minyak kayu putih.
Bibir Rubiya tampak biru pucat. Barangkali angin malam membuat tubuhnya makin dingin. Bersamaan perasaan kalut karena merenungkan Rubiya, tambah pula pikiranku memperhitungkan kekalahan lain. Bahkan, tekirakan sebagai kekalahan yang amat telak daripada lainnya. Aku menyangka-nyangka, sangat mungkin bapak mertuaku akan mencemoohku. Kepulanganku ke rumahnya secara langsung akan menjadi pengakuan akan kepecundanganku.
”Betapa payahnya suamimu, Marni! Lelaki dungu yang kere!”
Seolah kudengar kata-kata itu meluncur dari mulut mertuaku. Berulang, terus mengiang berulang hingga melucuti dayaku, melambatkan langkahku, mencitukan kedirianku.
Malam di sepanjang perjalanan begitu suam. Terus membayang di benakku, harga diri yang sekian waktu kupertahankan akan runtuh menjadi puing-puing rasa malu yang tak terperikan. Kiranya mertuaku akan menertawakanku sejadi-jadinya.
Sekali lagi kutoleh arah belakang yang jauh. Hanya warna gelap tertampak mata yang kukira itu dusunku. Dusun yang mungkin perlahan-lahan mulai mengapung...
Mei, 2010