Monday, February 21, 2011

Mencegah “Kematian” Alquran

0
(Suara Merdeka 20 Februari 2011)

Judul        : Epistemologi Tafsir Kontemporer
Penulis        : Dr. Abdul Mustaqim
Penerbit        : LKiS, Yogyakarta
Cetakan        : I, Oktober 2010
Tebal        : xx + 366 halaman
ISBN        : 979-1283-21-4

Situasi terkini mendamparkan umat Islam pada problematika beragama yang kian pelik dan kompleks. Sementara al-Qur’an yang menjadi pedoman ritual, spiritual, dan moral, masih cenderung ditafsirkan secara parsial sehingga maknanya tidak menjadi alternatif bagi pemecahan persoalan kekinian.

Dibutuhkan epistemologi baru, meliputi metode dan pendekatan menafsirkan al-Qur’an. Celaka, jika penafsiran kitab suci yang parsial—terbelenggu oleh tradisionalisme atau fundamentalisme—justru mengantarkan “kematian” al-Qur’an. Dalam arti kematian fungsi kitab suci sebagai petunjuk kehidupan, karena maknanya tidak lagi relevan dengan situasi zaman kekinian.

Epistemologi Tafsir Kontemporer karya Abdul Mustaqim berupaya menjawab desakan kebutuhan epistemologi dan metodologi tafsir yang sesuai dengan problematika dan perkembangan ilmu-ilmu mutakhir. Studi komparatif buku ini bertujuan menjelaskan hakikat tafsir, metode, serta validitas tafsir al-Qur’an di era kontemporer.

Di antara beberapa pemikir muslim kontemporer yang telah memulai kajian tafsir secara reformatif (melakukan pembaruan), seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad Syahrur, buku ini memperbandingkan pemikiran Rahman dan Syahrur. Pilihan pembandingan kedua pemikir itu paling tidak didasarkan atas tiga alasan, pertama, Rahman dan Syahrur sama-sama memandang al-Qur’an bersifat shalih likulli zaman wa makan (tidak lekang oleh waktu dan tempat). Kedua, implikasi metodologis yang diusung Rahman dan Syahrur sangat relevan untuk merespon problem-problem global kekinian seperti wacana pluralisme, demokrasi, gender, dan sebagainya. Ketiga, Rahman yang hidup di dalam tradisi Indo-Pakistan (India) dan Syahrur di Suriah (Timur Tengah) mewakili kawasan berbeda yang memungkinkan keduanya membentuk corak pemikiran yang sedikit berlainan, yang darinya dapat diambil tautan epistemologis hingga metodologis (hlm 8).

Rahman maupun Syahrur menilai, hakikat tafsir adalah interpretasi atas teks al-Qur’an. Tafsir harus dipandang sebagai produk ijtihad tidak final yang terbuka untuk dikritisi dan dikaji ulang sesuai tuntutan zaman. Di sini terjadi dialektika antara wahyu (teks al-Qur’an), ra’yu (rasio mufassir), realitas (konteks), serta pembaca. Maka teks al-Qur’an yang terbatas (final) herhadap-hadapan dengan konteks dan pembaca yang tidak terbatas (berkembang).

Dua kata kunci untuk memahami epistemologi tafsir Rahman dan Fazlur. Pertama, tafsir sebagai proses. Kerja tafsir tidak boleh berhenti sepanjang laju peradaban-zaman. Kedua, tafsir sebagai produk. Karya penafsiran al-Qur’an tidaklah suci sehingga terbuka untuk dikritisi dan didekonstruksi.

Mufassir (penafsir) bukanlah penentu kebenaran makna teks, sebab mufassir hanya berkehendak memahami firman Allah sepenurut bekal keilmuan dan kapasitas intelektualnya. Al-Qur’an dan tafsir merupakan entitas yang berbeda. Secara teologis al-Qur’an memiliki kebenaran mutlak, sedangkan produk tafsir memiliki implikasi teologis dan sosial yang kebenarannya bersifat relatif-tentatif sesuai latar sosio-kultural-historis mufassir, serta latarbelakang keilmuan yang membangun prapaham atau asumsi dasar (prior text) di dalam pemikirannya (hlm 117).

Secara metodologis, kerja tafsir Rahman dan Syahrur menggunakan pendekatan cukup berbeda. Rahman menggunakan teori double movement (gerakan ganda). Maksudnya, mufassir harus mengkaji asbabun nuzul makro (yang mencakup situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya ketika suatu ayat al-Qur’an diturunkan), sebelum mengkajinya dalam konteks spesifik yang berlatarbelakang situasi kekiniannya (asbabun nuzul mikro) (hlm 180).

Sedangkan Syahrur terkenal dengan teori hudud (limit theory atau teori batas). Hudud adalah batas lingkaran di mana Allah memberikan kebebasan bertindak bagi manusia. Peluang kebebasan bertindak itu dimanfaatkan Syahrur untuk memaksimalkan peran ra’yu (akal) dalam menafsirkan wahyu.  Demi menjaga sakralitas wahyu, ia tidak memberlakukan ijtihad di medan yang terkait ritual ibadah murni (hudud fi al-‘ibadah). Sebaliknya, kerja ijtihad berada di dalam lingkaran batas-batas hukum (hudud fi al-ahkam). Teori hudud diturunkannya menjadi pendekatan analitis-sistematis, bahwa penentuan hukuman memiliki batas maksimal yang tidak boleh dilanggar.

Sederetan bangunan teori dan konsepsi di dalam buku ini belum rampung, karena hanya mengkomparasikan pemikiran mufassir yang mewakili semangat Indo-Pakistan dan Timur Tengah. Tantangan riilnya, mampukah para mufassir di Indonesia mencipta satu formulasi epistemologi dan metodologi tafsir yang selaras dengan situasi keindonesiaan terkini. Tantangan ini butuh jawaban, agar al-Qur’an tidak mengalami “kematian” di negeri yang mayoritas beragama muslim ini! (Musyafak Timur Banua)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment