Wednesday, February 23, 2011

Mosi Sebuah Kenangan

2
Cerpen Musyafak Timur Banua
(Amanat, 115, Februaru 2011)



Pertama kali kudengar kata itu darimu. Kata tunggal yang selalu kau ucapkan dengan nada meninggi serta penekanan kuat. Kurasakan semangat yang menggelora membubung di tubuhmu saat kau memekikkannya. Membuatku yakin itu bukan kata biasa.

Setelah satu kata itu, kau pasti bicara soal politik, ekonomi, dan tetek-bengek mengenai situasi anyar yang berkelindan di negeri ini. Khotbah berapi-api yang pada akhirnya selalu berujung pada situasi kemelaratan rakyat yang kau katakan sebagai ketidakadilan. Semua itu adalah istilah-istilah rumit yang sedikit bisa kupahami darimu.

“Tata cara politik dan ekonomi negara kita diimpor dari negeri asing. Anak-anak sekolahan dicekoki ilmu-ilmu imporan pula,” katamu.

Ah! Seperti sembako dan perabotan saja pakai label impor-imporan segala, pikirku. Namun aku percaya penuh ucapanmu.

“Hanya satu yang bisa merubah keadaan timpang dan karut marut ini. Revolusi!”

Kata terakhirmu itu membuatku tercekat. Kurasakan begitu keramat.

***

KUDENGAR dunia di luar sana begitu gaduh. Kisruh. Ricuh.

Stasiun-stasiun radio tak henti menyiarkan berbagai gerakan demonstrasi satu kelompok massa yang hari-hari belakangan makin membesar. Pemerintah mulai geram. Kabarnya istana negara mulai dibentengi tentara beserta tank-tank dan meriam.

Di malam hari kau keluar dengan mengendap-endap. Tampak sikap siaga bercampur rasa khawatir di rautmu. Seolah kau tengah dikuntit matapeluru. Begitu selalu, perangaimu tegang ketika masuk kamarku.

“Banyak tentara berjaga-jaga di jalanan,” katamu.

Lalu kau merebah di ranjang. Tepat di sisiku. Bahkan acap kau lempar tubuhmu secara tergesa-gesa ke atas tubuhku. Kau lucuti bajuku. Di dalam kamar yang temaram, tubuhku sebenarnya peta buta. Tapi kau lelaki, selalu bisa memahami lekukan-lekukan dan kelokan-kelokan tubuhku sebagai tipografi khusus yang memberitahu namanya sendiri. Menjentik, meraba, mengusap, dan meremas, begitu jemarimu amat lengkap memainkan gerilyanya. Seolah kau tentara yang tak ingin kalah dalam peperangan hingga memainkan gerakan lincah dan cermat.

Setelah habis derit ranjang dan lenguhan-lenguhan panjang, tanpa melepas pelukan kau bercerita tentang revolusi. Tentang perubahan. Tentang keadilan—yang aku tak bisa menolak semua itu sebab kurasa benar adanya. Jika mulutmu mulai lelah berkhotbah, bahkan kau mengaumkan lagi kata “revolusi” sembari membuka kutangku kembali. Kau cuapkan kata-kata “republik baru” seraya memeloroti jarikku. Lalu lagi, tapi kali ini tubuhku menjelma kertas. Kau bolak-balik seolah halaman buku yang tak habis. Kau yang lantas membaca semua bercak dan kekosongan di tubuhku. Lalu kautuliskan pelbagai kenangan di sekujurnya.

“Revolusi!” katamu dengan nada mengeram kuat, selepas azan subuh membangunkan kota. Pekikan itu meliputi kepuasan tak terhingga. Kukira, kau mengalami orgasme luar biasa saat mengucapkan kata itu. Bahkan, orgasme yang melebihi sebuah senggama. Barangkali.

“Aku akan datang ke sini beberapa malam lagi.”

Aku masih agak mengantuk. Tapi masih cukup jelas kudengar suaramu.

“Oh ya, aku sedang tidak ada uang. Sekalian nanti kalau aku datang lagi.”

Kau menghilang di keremangan subuh yang masih suam.

***

MUNGKIN hanya aku. Perempuan yang tiap sepekan harus takjub mendengar ide-ide yang kau luncurkan dari mulutmu. Tentang demokrasi dan distribusi keadilan yang merata. Tata politik yang berpihak dan merangkul semua golongan. Mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Melindungi kaum terpinggirkan—barangkali perempuan macam aku. Bisa jadi ini yang membuatku memiliki wawasan agak berbeda ketimbang perempuan-perempuan lain di sederetan kamar ini.

Tapi, ah, kau! Entah mengapa aku tak pernah memprotesmu saat kau berhutang upah ranjang padaku. Padahal para lelaki selainmu selalu kontan membayarkan itu. Bahkan, aku tetap saja melayanimu ketika kau datang dan berkata takkan bisa mengupahiku sama sekali. Malahan aku turut menyediakan kopi dan rokok pula untukmu.

Pernah aku heran pada diri sendiri mengapa tak menuntutmu. Menuntut keadilan yang pernah kau ajarkan setelah lelah bercumbu. Bukankah itu hakku? Aku boleh saja memaksamu mengabulkan apa yang seharusnya aku dapatkan setelah aku memberikan tubuhku.

Mengapa pula aku memperlakukanmu beda ketimbang mereka. Terhadap semua lelaki selainmu, aku hanya pura-pura mendesah dan melenguh. Aku menjaga sekaligus menghalangi diri untuk meresapi dan merasakan setiap sentuhan, usapan, dan remasan mereka. Tak pernah sampai aku memberikan rasa dan jiwaku kepada mereka. Hanya tubuhku yang bisa kutukar dengan uang. Tak sekalipun kusertakan rasa, hati, atau perasaan. Sebab itu kekalahan. Karenanya bukan sebuah kecurangan jika aku hanya memberikan tubuh. Dan menutup perasaan, hati, maupun jiwa kepada lelaki adalah pilihan.

Tapi, entah. Semua kedirian itu mencair ketika bersamamu. Hingga aku benar-benar orgasme bersamamu. Sebuah pilihan yang melampaui tubuh, tapi juga perasaan.

***

KAU seringkali lari dari kampus yang kau katakan sebagai arena pembodohan legal. Di sana dirimu dipecah-belah dengan keilmuan fakultatif. Ilmu yang sepotong-sepotong. Kau memilih turun jalan setiap ada kesempatan. Di lajur yang orang-orang saling menyimpang-menyiur itu, kau berteriak lantang tentang perubahan dengan nada melawan, atau bahkan menghina. Tentara yang mengata-ngatai gerakanmu sebagai pembangkangan—ketimbang sebutanmu atas kelompok dan massamu sebagai perjuangan—selalu menghitung mundur untuk memukul bahkan menembak.

Kukira, kau benar-benar mati. Lebih tepat kukatakan terbunuh, saat meletus kebakaran besar di kota ini. Mortir berluncuran. Granat berjatuhan. Suara tembak sangat sering melesing di genderang telinga. Banyak mayat yang compang-camping dari anak-anak muda seusiamu ditemukan di jalanan. Sering juga ditemukan mayat dengan bekas tembak di gang-gang kecil yang lengang. Juga, sesekali waktu orang-orang menghirup bacin selokan yang ternyata bau mayat membusuk.

Ya, kukira kau terbunuh sesaat setelah pusat kota terbakar dan hanya menyisakan asap hitam yang kelam. Menyisakan gedung-gedung yang hanya menjadi rongsokan beton dan bebatuan. Barangkali kau menjelma kunang-kunang yang hinggap di kaca jendelaku tiap petang.

Usai itu kau tidak pernah lagi datang. Lalu malam-malamku hanya diisi para lelaki berperut buncit. Lelaki-lelaki lembek yang kerapnya mengeluhkan istrinya yang tidak menyenangkan karena mulai dirongrong ketuaan, istri yang hanya meminta duit, istri yang galak, dan macam-macam perangai perempuan yang dianggap tidak menguntungkan lagi—sebenarnya hanya karena mereka bosan. Tapi mereka kerap membayarku lebih. Bahkan tak segan-segan ingin menjadikanku istri simpanan yang dijamin dengan kesejahteraan dan kekayaan.

Untuk waktu yang lama, tidak lagi kudengar kata revolusi seperti pernah kau pekikkan berulang. Mungkinkah negara sudah aman.

***

ITU benar kau, bukan?

Kulihat kau muncul di televisi. Tak hanya sebulan atau seminggu sekali, bahkan tiap hari kulihat kau dikejar-kejar dan dikerubungi banyak wartawan. Tiap hari koran-koran memajang foto dan kata-katamu.

Wajahmu tampak sedikit menua. Namun lebih cerah dan segar ketimbang belasan tahun silam. Yang berbeda jauh adalah perutmu. Membuncit hingga tampak bengkak. Mungkinkah kau ikut-ikutan menjadi orang-orang yang dulu kau bilang sebagai penjahat negara dan sangat kau benci itu.

Kau bisa berubah. Tapi kota ini? Tak! Kemiskinan dan pengangguran yang pernah kau katakan musti dientaskan malah berkembang dan membiak. Orang-orang pinggiran kota hanya menjemur tubuh saat matahari berangkat. Mereka berkalung sarung di lehernya, mengisap kretek, seraya membicarakan kecabulan diri sendiri.

Belasan tahun setelah kau tak muncul, tak ada perubahan apa-apa dalam hidupku. Aku masih saja menghuni kamar yang di sana kau pernah mengkhotbahkan ayat-ayat keramat. Sedikit beda, tamuku makin membludak hingga aku kerap kelelahan. Kelelahan melayani renjana. Juga kelelahan mencari cara untuk lari dari dunia yang kelam suam-suam ini.

Perubahan perwajahan kota ini sematalah semaraknya iklan maupun slogan-slogan politik. Jalanan dipenuhi bendera-bendera bergambar kepala hewan, tumbuhan, atau gambar-gambar rumit yang tak kumengerti. Juga poster-poster bergambar wajah orang-orang yang sama tampannya hingga aku kerap kesulitan membedakannya. Salah satunya gambar wajahmu.

Sampai pula kau pada kursi itu. Kursi yang pernah kau katakan lapuk dan bobrok. Separuh waktu kau pimpin negeri—yang mungkin dulu kau rancang sembari membolak-balik tubuhku, mirip sebagai kertas petunjuk yang di sana terselip kode-kode rahasia yang kau ingini. Tapi kesejahteraan untuk orang-orang semacamku yang pernah mencuap dari mulut manismu tidak kutemu dalam nyata. Aku tetap perempuan malam yang tak henti menjumputi kunang-kunang yang cahayanya timbul tenggelam. Dari petang ke petang, malam ke malam, hingga waktu terasa begitu tua.

Mungkin kau sudah lupa janji membawaku pergi dari kamar yang kian tua dan lindap ini. Janji membangun sebuah rumah kecil yang meneduhi kita dari gundah dan bahaya. Pada akhirnya aku musti meyakinkan diri bahwa kau adalah orang yang berbeda dari masa laluku. Dan aku menjadi tidak yakin kau masih bisa mengucapkan satu kata keramat, itu!

Mei-Juli 2010
(Ilustrasi "The King of Rats" karya Arif Serabi Lor)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

2 comments:

  1. Aku suka kisah ini. Bisalah menampar orang-orang yg dulunya berbaris di jalan atas nama rakyat dan keadilan tetapi setelah diberi kekuasaan dia berlaku sama dengan pemimpin-pemimpin terdahulunya.

    Kekuasaan adalah racun yang lebih mematikan. Siapapun yang pernah mengecap tampuk kekuasaan tidak akan bisa menghindar dari menciptakan sengketa atau membiarkan dirinya hanyut didalamnya. _The Heike Story, Eiji Yoshikawa

    ReplyDelete
  2. Wah, Lek Musy ceritane asyik tenan. Rob tak hanya menyerang kampung tapi juga tempurung. Hehe...Lek, namaku Arif Srabi Lor, lho...bukan "serabi"..hiks

    ReplyDelete