Saturday, February 26, 2011

Media, Madonna, dan Gugatan Tubuh

0
Oleh Musyafak Timur Banua
(Radar Surabaya, 23 Januari 2011)

Media massa tidak sekadar sumber informasi, tetapi juga acapkali menjadi arena pertarungan kapital, ide, dan kepentingan. Sehingga ambivalensi fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dapat disangkal. Di satu sisi, media dengan kepentingannya berusaha terus-menerus mengontrol dan mengondisikan pola pikir dan laku masyarakat. Di sisi lain, terjadi pertarungan ideologi antarkelompok untuk menguasai isu dan wacana melalui corong-corong media.

Maka media ibarat gurita yang daya jeratanya makin erat dan tidak dapat dihandari. Douglas Kellner (Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik, 2010) memberi gambaran bahwa media telah menjadi kendaraan utama untuk menyebarluaskan budaya. Modernitas mendistribusikan budaya secara global dan massif melalui media dan teknologi informasi hingga sukses meruntuhkan batas-batas dan struktur kebudayaan (ideologi) tradisional. Medialah yang justru menjajah dunia modern. Ya, media adalah kekuasaan karena kemampuannya membuat persuasi dan propaganda.

Representasi PerempuanMasalah yang cukup krusial dalam dunia perempuan—gerakan kesetaraan perampuan—adalah representasi perempuan yang bias di dalam media. Media massa menampilkan perempuan dengan politik representasi. Media tidak henti memproduksi citra perempuan yang sebenarnya penuh stereotipikal. Tidak hanya melalui siaran sinetron atau film, iklan juga terus-menerus melakukan stereotipikasi terhadap perempuan sebagai kaum subordinat. Misalnya iklan-iklan perabotan rumah tangga yang mengatakan dapat mempermudah pekerjaan ibu. Ini menandaskan pekerjaan rumah hanyalah kewenangan perempuan, sementara lelaki dengan bebas mencercap dunia luar rumah.

Berbicara tentang perempuan dan media, suka tidak suka musti menggeluti wacana tubuh. Sebab tubuh telah menjadi acuan media dalam merepresentasikan perempuan. Media merumuskan identitas perempuan melalui citraan tubuh. Misalnya tubuh yang cantik dan ideal untuk mendefinisikan identitas perempuan sejati.

Media juga melakukan kekerasan terhadap tubuh. Misalnya dalam kasus video syur mirip Ariel Peterpan dan Luna Maya, media mengkontruksi tubuh tidak lagi sebagai tubuh pribadi yang privat, tetapi diseret menjadi tubuh publik untuk meraup keuntungan.

Feminisme berkembang beriringan modernisme justru menjadi proyek yang “gagal” dalam membentuk identitas perempuan. Teknologi dan pluralisasi media beserta kepentingannya, hanya menghadirkan ragam representasi beserta tafsirnya. Sementara identitas perempuan tidak tuntas ditemukan. Simbol perempuan utuh gagal dihadirkan.

PostgenderMembincang perempuan dan media, sebenarnya telah masuk pada fenomena postgender. Postgender adalah fenomena yang melampaui gender, di mana kajiannya tidak lagi berpijak pada diferensiasi jenis kelamin (perempuan vs laki-laki). Postgender berupaya mengatasi wacana tubuh sekaligus seksualitas bukan untuk tubuh itu sendiri, tetapi spiritualitas di dalam tubuh.

Wacana postgender memiliki korelasi kuat dengan postfeminisme yang ingin mendekonstruksi realitas perempuan yang telah mapan. Semangat dekonstruksi adalah upaya pembalikan realitas, dari kesempitan menjadi peluang, dari kelemahan menjadi kekuatan, dsb. Jika selama ini tubuh perempuan “dijajah”, maka postfeminisme justru menyerang balik dengan tubuh, bahwa perempuan sengaja dengan sadar menjadikan tubuhnya sebagai instrumen untuk “menjajah”.

Madonna, misalnya, oleh sebagian kalangan dinilai sebagai ikon postgender, di samping ia sebagai ikon budaya popular sampai saat ini. Tubuhnya yang dibeber ke publik tidak sekadar citra visual, tetapi simbol perlawanan homoseksual, minoritas lesbian, dan perlawanan terhadap budaya mainstream tradisional.

Dalam beberapa lagu, seperti Like a Virgin dan Like a Prayer Madonna cenderung melakukan politically correct (koreksi politik) melalui kemolekan tubuhnya. Memang feminisme filosofis melihat Madonna yang kelewat vulgar adalah merendahkan tubuhnya sendiri. Namun, kurang disadari, sebenarnya wacana postgender yang terlontar dari tubuhnya menyatakan dirinya tidak ingin ditiru. Bahkan, Madonna ingin menjadi “yang tersalib”, meng-“kurban”-kan tubuhnya sebagai medium untuk menantang budaya patriarki yang munafik.

Tubuh Madonna laiknya fetish yang ingin dinikmati, tetapi semakin menikmati semakin kita menyadari “keberdosaan” akan tubuh. Ya, tubuh Madonna sepertinya menjadi sign against light: menyadarkan budaya yang telah jenuh dengan erotisme dan sensualitas yang tidak senonoh.

Tetapi gugatan Madonna, sang “perawan suci” itu, mengalami ambivalensi di tengah pluralisasi media, pesannya agar tidak ditiru pun tidak sepenuhnya sampai kepada publik. Celakanya, budaya popular terus melakukan perayaan kapitalisasi tubuh untuk meraup keuntungan yang tidak terbatas.

Barangkali, memang pengorbanan itu belum menghasilkan imbalan apa-apa. Tetapi, pengorbanan Madonna tidak sia-sia sama sekali. Ia telah menunjukkan, sampai saat ini kita (dunia patriarki) masih terbelenggu oleh pesona tubuh perempuan yang sebenarnya diimajinasikan sendiri. Semakin mengeksploitasi tubuh perempuan, sebenarnya dunia patriarki semakin terjajah oleh “kenikmatan”-nya sendiri! Begitukah?

Musyafak Timur Banua, pengkaji budaya di Open Mind Community Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment