Oleh Musyafak Timur Banua
(KoranOpini.com 28 Maret 2011)
(KoranOpini.com 28 Maret 2011)
Isyarat kebangkrutan masyarakat penjara kembali terbeber dan menohok mata publik. Terendusnya sindikat narkotika internasional di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan menguakkan kembali ingatan publik tentang kebobrokan penjara di Indonesia. Ya, penjara seolah tidak henti memanggungkan ironi. Tempat yang mustinya menjadi ruang pembersihan diri bagi orang-orang terhukum justru menjadi lahan subur persemaian praktik-praktik korupsi dan amoral yang mengancam keadaban bangsa.Praktik-praktik penyimpangan moral dan hukum di LP tentu bukan hal baru. Ahmad Taufik dalam buku Penjara: The Untold Stories (2010) membeberkan citra penjara yang sejatinya penuh bercak dan borok. Buku kesaksian itu mendedahkan fakta-fakta penjara yang sarat dengan laku kriminal semisal transaksi narkoba, juga perilaku-perilaku asusila seperti transaksi seksual dan sodomi sesama jenis. Riwayat hitam penjara lainnya adalah cerita-cerita tentang kekejaman dan kekerasan, sering terbetik kabar narapidana dianiaya oleh sipir maupun sesama narapidana lain.
Taufik juga menggambarkan bahwa masyarakat penjara tidak kalis korupsi. Sebagian narapidana rutin membagi-bagi amplop kepada para sipir untuk menebus keinginannya, termasuk keluar-masuk penjara tanpa diperkarakan oleh sanksi. Misalnya kasus pelarian Edi Tansil dari LP Cipinang (1996) yang melibatkan oknum pegawai penjara, “penyulapan” sel menjadi kamar mewah layaknya hotel di Rutan Pondok Bambu oleh Artalyta Suryani (2010)—beberapa waktu lalu Gayus HP Tambunan juga bebas keluar dari Mako Brimob Kelapa Dua untuk plesiran ke Bali hingga ke luar negeri.
Kebangkrutan Manusia
Penjara memiliki pertalian erat dengan manusia, sebagai fragmen kehidupan yang darinya bisa dilacak pergolakan kemanusiaan di tiap-tiap zamannya. Penjara bukan sekadar deretan sel-sel kokoh sebagai tempat pembalasan kesalahan manusia-manusia di dalam negara-bangsa bertata hukum. Penjara juga tidak sekadar dimaknakan sebagai instrumen yang menjerakan manusia yang telah melanggar tata hukum. Tetapi penjara sekaligus menjadi “ruang belakang” bagi penegakan hukum dan keadilan setelah lembaga-lembaga hukum dan peradilan.
Sejatinya penjara adalah tempat bagi orang-orang hukuman bangkit kembali untuk merumuskan diri dan kemanusiaannya. Mereka pernah mengalami kejatuhan kemanusiaan: melepas diri dari tanggungjawab sosial untuk menghargai keberadaan dan hak-hak liyan yang justru dirampasnya. Kejatuhan itu bernama laku pencederaan yang sarat faal-faal penganiayaan, juga mengacak-macak dan mengkhianati kontrak sosial yang telah dirumuskan bersama.
Tetapi realitas penjara kini seolah tidak berbeda dengan drama tentang pergulatan hidup manusia yang paradoks. Penuh ironi dan absurd! Ikhtiarnya mengembalikan manusia pada cita nurani yang lebih berkualitas sehingga patut disebut beradab, memulihkan pandangan hidup bermasyarakat yang telah diperosotkan, dan memahamkan kembali kontrak-kontrak sosial yang musti dijalani setelah keluar dari sistem pemasyarakatan itu, tetapi faktanya orang-orang penjara justru semakin mengalami keruntuhan. Mereka terkurung dalam dunia yang mendorongnya berbuat lebih jahat ketimbang kejahatan yang pernah dilakukannya di luar penjara.
Buruknya sistem dan lemahnya kontrol terhadap LP mengondisikan para terhukum dan penghukum untuk bersekongkol mencerderai hukum. Sekongkol itu terwujud dalam praktik penyuapan dan korupsi.
Penjara mustinya menjadi ruang putih untuk mencapai katarsis dan kebeningan bagi orang-orang hukuman. Bukannya justru menjadi medan di mana pelanggaran hukum dan susila terus berkembang dan membiak.
Borok-borok penjara mengisbatkan kebangkrutan manusia di dalamnya. Tidak hanya para aparat penegak hukum yang terus-menerus kalah dari ketergodaan bernama suap atau korupsi. Tetapi juga para penghuni penjara yang tidak bisa memaknai pengasingannya dari dunia ramai yang lebih luas. Penjara tidak menjadi ruang refleksi untuk menginsyafi pelbagai “dosa sosial” yang telah dilakukannya. Penjara justru membebani masyarakatnya dengan dosa-dosa baru.
Kemurahan dan Pemulihan
Di balik itu penjara juga mengenal kemurahan hati. Sesuatu yang diberikan sukarela maupun bersyarat. Setiap tahun negara memberikan remisi kepada ribuan narapidana yang dianggap telah berubah dan bisa bermasyarakat dengan baik di dalam lembaga pemasyarakatan. Juga remisi yang berarti penghargaan kepada narapidana yang memiliki nilai khusus: jasa yang berguna bagi orang-orang lain di dalam penjara bahkan, jasa bagi negara. Lacurnya, kemurahan itu kadang terkotori pelbagai motif yang merusak asa-asas kesukarelaan dan penghargaan. Remisi berbalik menjadi pamrih ketika aparat hukum “main mata” dengan narapidana. Hal-hal lain turut berbicara: kekuasaan, jabatan, atau uang. Kemurahan hati dari penjara mesti mampu menjamin narapidana sudah benar-benar bersih diri. Ellis Boid Redding yang diperankan oleh Morgan Freeman dalam film The Shawshank Redemption (1994) menjawab kepada aparat penjara, “Aku sudah belajar. Aku bisa dengan jujur mengatakan aku sudah berubah. Aku tidak berbahaya untuk masyarakat. Benar-benar sudah direhabilitasi.” Redding terpidana 30 tahun penjara karena pembunuhan itu berlaku baik-baik selama berada di pemenjaraan. Meski pada akhirnya usulan pembebasan bersyarat untuknya ditolak.
Kebangkrutan penjara beriring dengan kebangkrutan manusianya musti dipulihkan. Penjara harus benar-benar menjalankan fungsi humanisnya untuk membentuk manusia berjiwa utuh, baik penghuni maupun penjaganya. Demi itu penjara harus bebas dari segala praktik korupsi yang sejatinya menjatuhkan diri sendiri dan liyan. Jika memang kebangkrutan ini sengaja dipelihara, sepertinya tidak perlu ada lembaga hukum maupun peradilan di negeri ini. Begitukah?
Musyafak Timur Banua, aktivis di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
Musyafak Timur Banua, aktivis di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang