Wednesday, April 06, 2011

Eksperimen Gerimis, Itu (?)

0

Diskusi Sastra Podjok Pendopo (DSPP) #19 yang digelar Open Mind Community (9/01/2011) mengangkat empat sajak Janoary M Wibowo (Jano). Aku Ke Gerimis Itu Sekarang, Kutulis Gerimis Berkali Lagi, Ada yang Tetap Menetes Ketika Gerimis Berhenti, dan Mengumpulkan Gerimis. Keempat sajak itu menggelar ‘gerimis’—tentu gerimis yang bukan belaka denotatif, tetapi juga mencapai metafora.

Yang membayangkannya sebagai serial (atau bahkan sekuel) sajak, tentu akan menjadi ‘penonton yang kecewa’. Sebab keempat sajak tersebut adalah satuan yang mengusung gagasan sendiri-sendiri, hanya saja seolah ada satu tema (kata) yang menyatukannya: ‘gerimis’.

Andaipun itu sebuah serial, kiranya ada banyak ‘penonton’ yang memaki karena penyajiannya bertele-tele. Apa boleh buat, lumrah orang yang hadir dalam diskusi itu sepertinya sepakat menganggap puisi Jano tidak bisa mengatasi kelonggarannya. Karena seperti jamak diimani, kerja kata dalam puisi adalah kerja pemadatan gagasan-rasa ke dalam kode-kode/ simbol-simbol bahasa yang sangkil-mangkus. Ya, tak boros atau meruah-ruahkan kata—begitulah kerja kata dalam prosa. Meminjam istilah Agung Hima, puisi tak semestinya basa-basi, apalagi lebay.

“Seandainya saya Agus R Sarjono,” kata Galih Pandu Adi seraya terkekeh, “Maka ada banyak kata, bahkan baris dan bait yang saya hilangkan dari puisi ini.” Sebentar menilik ujaran Pandu, maka kerja teks puisi pastilah penuh kehati-hatian.

Kehati-hatian dalam konteks ini tentu punya pengaruh bagi perjalanan kata-kata dan puisi itu sendiri, seperti kata-kata, sekaligus logika bahasa, yang bertabrakan (kontradiksi). Seperti diungkap Vivi Andriani, merujuk puisi Mengumpulkan Gerimis sebenarnya penyair masih ‘memperjalankan’ kata secara bertabrakan. Bahkan Vivi menemukan kesalahan koherensi itu di dalam pembuka bait pertama dan pembuka bait terakhirnya: Karena aku dibesarkan oleh janji-janji tak tertepati (bait pertama) dan Jika aku dibesarkan oleh janji-janji tak tertepati. Sebuah kerancuan yang, menurut Vivi, musti diatasi penyair.

Sementara, Kurniawan Yunianto menampaki keempat puisi itu penuh dengan pemaksaan kata. Ada bentukan metafora-metafora yang sangat dipaksakan. Seperti “Sebab pecahan langit masih berdetak” atau “di tunas paling puncak”, kata penyair yang akrab disapa KY ini, cukup sulit untuk dipahami. Juga, ada pemaksaan rima seperti terjadi dalam baris “ke daun yang mulai mengering/ ke ujung paling genting/ lalu mengalir/ menjadi bulir-bulir di pipimu yang ukir”.

Bagaimanakah pipi yang ukir itu, Jano? Mungkinkah lesung pipit yang bak pauh dilayang di pipi (calon/ mantan) kekasihmu itu berbentuk seperti ukiran? Tentunya, subjektivitas Jano yang lebih memiliki kuasa untuk menjawabnya. Maka pembentukan baris metaforis itu sepertinya nondialektis (mungkin referensi pemahamannya kurang dekat dengan pembaca), kecuali mengejar rima belaka.

Dalam beberapa baris Mengumpulkan Gerimis, Guri Ridola menemukan metafora yang bombastis. Pada “Hampir habis kulumat langit/ kukunyah bintang/ dan kugigit bulan”. Juga kontradiksi yang tumbuh akibat ‘permainan’ bahasa yang dapat diambil tamsil dari “Menata gerimis yang kukumpulkan/ menjadi kapal mengantar pulang/ menjadi kapal mengantar pelukan”.

‘Ketergodaan’ Kata
Agung menilai totalitas Jano tidak tampak dalam keempat sajak ‘gerimis’ itu. Menurutnya, Jano masih memainkan pikirannya tanpa perimbangan perasaan yang sudah menep (mengendap). Lain kata, penyair seperti sekadar berdialog dengan pikirannya sendiri: asumsi, persepsi, dan pengetahuan dalam tararan idealisme. Penyair tak mengalami itu sebagai peristiwa/ kenyataan utuh, kecuali sebuah pendulum yang berayun di dalam pikiran.

“Sebisa mungkin berpuisilah dengan perasaan. Luapkan semua apa yang dirasakan, karena itu bisa menjadi roh dalam setiap kata-katanya sehingga bisa lebih dahsyat!” kata Agung.

Tentunya, pikiran dan perasaan tidak perlu dikekas sebagai dikotomi yang bertolakbelakang. Keduanya menentukan kesetimbangan kerja kreatif puisi. Sebagaimana dinyatakan Musyafak, yang lebih penting adalah penyair mampu menguasai pikirannya sendiri. Sadar kata, adalah juga sadar makna. Karenanya, di tengah kata-kata yang meruah di dalam pikiran, tak semuanya harus diletakkan. Musti ada penyaringan agar senarai kata-kata mampu mengejar makna yang sejak awal menjadi ‘obsesi’ penyair.

Karenanya, Musyafak menilai, Jano mengalami ketergodaan yang tak tuntas. Ketika ia menulis, ia cenderung tergoda untuk menyertakan kata apa saja yang muncul dan terasa enak tanpa kesadaran makna yang tertuju. Ketergodaan yang tak tuntas itu juga berbentuk inspirasi kata atau ide yang didapat dari membaca buku: ia mengusik, merayu, dan menjerat. Ya, kata dalam beberapa hal telah menjadi seduksi membuat kita tak berkutik untuk tidak mengenyahkannya. Inspirasi dari (dan bertolak) dari  manapun tentu sah, tetapi sebelum dituliskan musti melewati proses perenungan panjang.

Melihat ketiga sajak ‘gerimis’ yang dituliskan Jano dalam rentang pendek (di bulan Desember) itu sepertinya Jano tidak mengalami klimaks. Sehingga ketika satu sajak pertama dianggap selesai, penyair masih merasa ada sesuatu ganjalan di dalam pikirannya. Ganjalan itu lantas diterjemah dan dituliskan dalam momentum reproduksi kata-kata yang mumpuni hingga menjadi sajak anyar lainnya.

Jauh-jauh hari KY selalu mengingatkan, dalam menulis puisi seorang penyair acapkali tergoda untuk menjelaskan. Kata, menurut KY, musti disiasati untuk meningkatkan rasa di dalam puisi. Yach, kata memang harus mengalami seleksi ketat agar tidak terjerumus pada euforia-nya sendiri. Kata mesti dibendung, begitukah?
Pun demikian Agung. “Jika isi puisi sudah kuat, jangan terlalu dipaksakan untuk menambah isi. Isi puisi harus padat, sehingga tak banyak basa basi.”

Kerja Eksperimen?
Proses penciptaan puisi tidak sekadar kerja eksperimen, tetapi kerja permenungan. Vivi meyakini hal itu. Memaut sajak-sajak Jano, Vivi menilai penyair masih berpelik-pelik dalam kerja eksperimen. Kiranya, penyingkapan vivi mengenai kerja permenungan itu memiliki pamrih tidak sepele. Bahwasanya kerja permenungan tidak lain untuk memboboti puisi dengan kepenuhan isi (gagasan dan rasa) puisi.

Pendapat Vivi pun tidak bisa diamini begitu saja. Menurut Pandu, sajak-sajak ‘gerimis’ itu sedikit banyak telah melewati kerja kontemplasi. Seperti ditemukan Pandu bersama Guri dalam baris “Apakah seperti ini cara takdir bermain?/ Berpilin dari peristiwa satu ke yang lain?

Eksperimen itu, di mata Guri, lebih bertolak pada ikhtiar penyair untuk mencari bentuk dari puisinya sendiri. Guri tak bisa mengelak, Jano masih bertindak seolah ‘pemulung kata’. Puisi menjadi semacam kumpulan gagasan yang didapatkan dari pemetikan kata-kata dari sesuatu (puisi, aforisma, gagasan, teori, dan kata-kata umum) yang lain.

Namun, eksperimen itu tentunya tidak bisa dibilang sebagai kerja ‘main-main’ saja. Barangkali, lebih tepat jika eksperimen itu menjadi sebuah sarana identifikasi terhadap liyan-liyan untuk merumuskan identitas atau kekhasan dirinya sendiri.
Lantas, apa sebenarnya ‘gerimis’ yang hendak digelar Janoary M Wibowo? Mestinya tak sekadar pengakuan penyair yang ternyata cukup sederhana. “Ketika gerimis, saya tak memiliki kesibukan, karenanya saya menulis puisi dan lahir seperti itu,” katanya.

Begitu sederhanakah? Kiranya tak! Jauh sebelum puisi-puisi gerimis itu kita telah sedikit banyak menangkap puisi-puisi Jano yang sudah memperlihatkan karakteristiknya: kenakalan cara pandang yang mungkin terbalut filsafat dan kritik popular culture.

Akhirnya, “Weng!!!” kata Pandu.

Musyafak Timur Banua, tulisan ini hasil notulensi diskusi sastra podjok pendhopo #18 yang digelar Open Mind Community Semarang pada 9 January 2011 di TBRS Semarang

NB: sajak-sajak Janoary M Wibowo bisa dilihat di http://www.facebook.com/event.php?eid=170809782954122
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment