Thursday, April 14, 2011

Ambient Puitika Kurniawan Yunianto

6
 Segala bunyi menubuhkan suaranya…

Suatu sore, barangkali langit pucat. Ritmis suara gerimis. Suara angin pula. Daun-daun bergesekan. Dan di antara kami terus berbincang. Menghadirati sebuah puisi. Kurniawan Yunianto, Purwono Nugroho Adhi, Agung Hima, dan saya di sana. Di seberang hand phone mendering: suara ring tone naik turun secara acak. Dan sesekali desisan mulut mengisap rokok. Denting sendok-gelas mengaduk kopi hangat. Juga di meja sebelah orang-orang ramai berseloroh. Atau, barangkali di antara kami mendengar suara gemericik air di jauh seberang, lamat, dan tenggelam. O, adakah derik serangga?

Tahukah alam ini musikal?

Demikian alam, yang terjalin atas segala suara yang membentuk soundscape-nya. Suara-suara itu merupakan latar alamiah yang membangun, atau barangkali menghadirkan, ruang secara utuh. Pernah, barangkali suara–suara terasa bertabrakan, berdifraksi, berpaduan acak sehingga derau. Segala suara masuk dalam kanal komunikasi (bunyi, bahasa) yang multikompleks yang menuntut diinderai lebih seksama. Dan, kepekaan indera punya sumbangan untuk meresepsi segala keriuh-rendahannya.

Suasana yang ambient, itu. Segala suara yang mengelilingi perbincangan kami. Dan semua suara itu berpaduan sebagai latar ruang yang tak tertampik. Karenanya, obrolan kami kadang terdengar parau. Suara-suara itu seolah multiple effect yang memungkinkan terjadinya ragam distorsi. Dan segala suara itu seperti di ambang batas. Mengapung-apung, tak ke mana.

Riuh di situ sepi. Perbedaan subjek suara dengan objek suara lainnya runtuh. Menuju tanpa distingsi. Batas-batasnya menjadi kurang jelas. Tak ada suara yang hendak membungkam suara lainnya. Meski ada jeda, yang lantas menghadirkan aksentuasi suara-suara tertentu. Barangkali menambah sugesti kelam. Alun. Lembut. Menyisakan suasana residual yang meditatif. Membikin sepi yang intens. Menepikan, tapi di relung alam. Menyediakan “yang mistik” di sana.

**
TAPI MENYULUT NYALA
yang kau akui sebagai perasaan
belum sepenuhnya mengendap
meski bertahun mukim dalam diri
berharihari singgah di kepala
lalu terutara melalui katakata
yang kau tulis lalu ucapkan
bersama sekian macam harapan
termasuk mantra ataupun doa
adalah muslihat paling mutakhir

seperti halnya ketika bernafas
sebab mempertahankan hidup
atau hidup akibat mencuri udara
barangkali saja memang begitu
ada nafas ada gerak ada lapar
ada makan ada haus ada minum
jika banyak yang menganggapnya
sebagai hubungan kausalitas
mungkin hanya dari sudut mana
mata mengarahkan pandang

jelas terlepas lalu tuntas
tak terpisahkan tak tergantikan
sebagai bukti dan wujud nyata
sebuah kejujuran tanpa ada
yang memaksa atas keyakinan
hingga mustahil mampu menipu
apalagi tertipu oleh siapapun
kerna telah sampai kepada jiwa
yang tiap sentinya adalah mata
tiap jengkalnya adalah telinga

duhai betapa kemudian kau
terlalu luas bagi segenap indera
tanpa membuatku ternganga
(Sajak Kurniawan Yunianto)

***
Purwono memperkarakan sajak Tapi Menyulut Nyala dari segi “ambient puitika”. Ambient, atau relating to the immediate surrounding, adalah kaitpautan dengan sesuatu yang mengelilingi, memengaruhi, membentuk suatu persenyawaan yang lembut. Ambient memungkinkan adanya creating a relaxing atmosphere, membangkitkan atmosfer suasana secara intensif.

Kata dia, sajak Kurniawan itu menggunakan shoegaze. Cirinya, mengharmonisasi dua makna, metafora dan sinisme atau lebih. Ia memanfaatkan modulasi seperti delay, reverb, chorus, phaser, dan efek distorsi yang bersifat harsh. Identifikasi itu nyaris lumrah ditemukan di dalam sajak-sajak Kurniawan, yang lazimnya dimukadimahi dengan sentuhan ambient. Ada disolatif ada introvert ada galau, dengan mendayagunakan  repetisi-repetisi yang memberikan sugesti keruangan dan memuncak dengan distorsi. Tetapi kadang sajak-sajaknya bernuansa chill-out. Ringan sarat jeda, namun berkarakter dengan figuratifnya yang sumbang.

Saya membilangnya kelam. Itu saja. Bukan belaka pada sajak Tapi Menyulut Nyala. Kurniawan telah mengolah watak segala suasana jadi begitu. Sajaknya pekat. Ngelangut. Tapi bukan hitam.

Ia menyediakan kedalaman yang meditatif. Memberi ruang bagi “yang mistik”. Sajak-sajaknya seperti tubuh yang bergerak lambat. Seperti lelah. Selelah tubuh kita yang berjalan di zaman yang dinamai modern ini. Di mana ruang makin penuh raung. Namun kita merasa sunyi di ramai itu. Dan, waktu makin intens membelah tubuh kita dengan banyaknya pekerjaan yang untuknya disediakan tempo tertentu. Teknologi justru semakin memperbanyak pekerjaan. Tubuh yang tersalib. Sementara kita masih terus hendak menubuhkan eksistensi diri di antara orang lain. Karenanya kita tak mau diam. Terus bergerak. Hingga suatu saat kita rasa jalan yang kita geraki ini menuju “entah”.

Yang kelam dan lambat di puisi-puisi Kurniawan itu, menyediakan gerak reflektif atas zaman modern. Ia tak memuja artifisial yang datar. Dan masih meyakini adanya kebenaran yang hendak dikukuhkannya sebagai “kesejatian” di balik segala keriuh-rendahan hidup yang hanya kita tangkapi dengan mata—sementara indera-indera lainnya kita bunuh pelan-pelan.

Tapi Agung merasa Tapi Menyulut Nyala ini kehilangan daya kelamnya yang meditatif dan dalam, seperti di sajak-sajak Kurniawan sebelumnya. Ini seperti bukan Kurniawan, kata dia. Sebab kata berjalan ringan, begitu saja.

Kurniawan sendiri mengakui, suasana langut, atau kelam, jika sudah terbiasa maka ia akan tak berasa lagi. Dan semuanya akan menjadi ringan. Tak ada yang perlu dibuat berlarat-larat. Sebab, jika segalanya telah menyatu dengan diri.

Ya, Kurniawan pun sebenarnya berangkat menuju langkahnya. Barangkali kini ia menempati posisi yang sedikit berselisih dengan sebelumnya. Juga titik pandangnya.

Musyafak Timur Banua, catatan ini berangkat dari Diskusi Sastra Podjok Pendopo (DSPP) #21 pada 10 April 2011 di TBRS Semarang.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

6 comments:

  1. tapi masih bagus puisimu.... xixix

    ReplyDelete
  2. aina: hehehe... puisinya kurniawan itu bagus lho

    nova: iya, aku mengulas puisi kawanku

    aciid: thanks udah mampir dan membacanya

    balckdevil: makasih... itu puisi kawanku

    ReplyDelete
  3. oh,.
    ehehehehehe

    apis pkr mas sendri yg bt..
    :)

    ReplyDelete