Jawa Pos 31 Juli 2011
Judul : Sebelas Patriot
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Tahun : Cetakan I, Juni 2011
ISBN : 978-602-8811-52-1
Tebal : xii + 112 hlm
Riwayat sepak bola di negeri ini bertautan dengan sikap patriotik masyarakatnya. Sayangnya, sang penulis mengalami kemampatan imaji di tengah banjir fakta sejarah.
Narasi sepak bola di Indonesia bukan sekadar olah raga di rumput hijau di mana 22 orang saling berebut si kulit bundar. Sepak bola bukan hanya tontonan dua tim kesebelasan yang berkompetisi demi gelar juara. Lebih dari itu, sepak bola adalah ekspresi dan gerak laku perlawanan masyarakat pribumi atas penindasan kolonial Belanda.
Sebelas Patriot, novel terbaru Andrea Hirata, menguak betapa riwayat sepak bola di negeri ini berpautan dengan sikap patriotik masyarakat pribumi. Olah raga yang paling digandrungi manusia sejagat itu mewadahi imajinasi persatuan dan rasa senasib sepenanggungan bangsa Indonesia. “Karena sepak bola adalah kegembiraan mereka satu-satunya. Karena mereka tahu bahwa sepak bola berarti bagi rakyat jelata yang mendukung kemerdekaannya. Lapangan bola adalah medan pertempuran untuk melawan penjajah,” tulis Hirata (hlm 21).
Alkisah, Belitong, sebuah pulau yang menyimpan timah berlimpah, membuat kolonial Belanda bersyahwat untuk mengeruk kekayaan alamnya sebanyak-banyaknya. Kongsi dagang Hindia-Belanda, Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC), membentuk meskapai timah untuk mengurusi unit-unit parit tambang, misal dok kapal, bengkel, dan logistik. Van Holden, kepala distrik kolonial Belanda untuk Belitong saat itu, juga mendirikan tangsi, semacam penjara untuk menyiksa orang-orang pribumi yang dilabeli “ekstrimis” sebab tidak loyal kepada kolonial.
Demi nafsu eksploitatif itu, anak-anak lelaki Melayu di bawah umur dipaksa kerja rodi menggali timah di parit-parit tambang. Di tengah anak-anak yang tidak mujur itu terdapat tiga bersaudara yang amat mahir bermain sepak bola. Bersama tim kesebelasan kuli parit tambang, tiga bersaudara itu berkolaborasi sebagai gelandang, sayap kanan dan sayap kiri. Tim kesebelasan para kuli yang mulanya dipandang sebelah mata itu serta merta diperhitungkan. Di sebuah pertandingan, tiga bersaudara itu mengobrak-abrik pertahanan tim kesebelasan Belanda. Satu gol yang dilesakkan si saudara tengah ke gawang Belanda mampu memerosotkan martabat sang kolonial. Usai pertandingan, tiga bersaudara beserta pelatihnya diangkut ke tangsi, mereka dihajar hingga babak belur.
Tragis tiga bersaudara itu terus berjalan. Politik pembuangan Belanda memisahkan tiga bersaudara itu di tempat berlainan. Hingga suatu ketika si bungsu diminta bergabung dalam tim kesebelasan Belanda demi memenangkan kompetisi dalam rangka memperingati hari lahir Ratu Belanda. Penolakan si bungsu, sebagai bentuk pembelaan terhadap dua abangnya, membuat Belanda murka. Akibatnya ia dibawa ke tangsi, disiksa dan dipecah tempurung kakinya. Karir sepak bola si bungsu yang cemerlang itu tamat di usia yang masih sangat muda.
Novel ini kuyup dengan kenangan getir penjajahan di Indonesia. Kebusukan kolonial Belanda dibocorkan dengan lugas nan tandas. Selain menindas dan mengeksploitasi Belitong, sang imperialis itu mati-matian menjaga martabatnya. Di berbagai kompetisi, orang pribumi tidak boleh mengalahkan orang Belanda. Justru itulah sepak bola dijadikan kesempatan orang pribumi untuk memartabatkan diri dan bangsanya. Sepak bola menjadi ekspresi kemerdekaan selama 2 x 45 menit. Nama Indonesia bisa sangat berjaya di lapangan hijau ketika suatu gol tercipta dari tendangan kaki anak pribumi.
Struktur narasi novel ini runut dan mudah dipahami. Di samping itu, style bahasa berkembang secara lembut dan tenang, tidak tergesa-gesa dalam mengalurkan cerita. Masa lalu, zaman getir penjajahan, didialogkan dengan masa kini si “aku-narator”. Ikal, tokoh utama novel ini, hadir sebagai anak zaman yang berikhtiar menyambung cita-cita ayahnya, pesepakbola dari tim kuli tambang yang tempurung kakinya dipecahkan oleh Belanda, untuk membela tim nasional (PSSI). Ikal juga menjadi prototipe pecinta tim PSSI. Tumpukan kekalahan dan prestasi suram PSSI tak membuat cintanya pudar. Begitulah cinta sepak bola, sebenarnya adalah cinta yang sepi dari pamrih apapun, kecuali mendukung tim favorit di tiap kesempatan.
Sebelas Patriot merupakan petanda yang memaknakan bahwa pesepakbola di negeri ini adalah para pahlawan. Di lapangan hijau, sebelas patroit itu menanggung martabat bangsa yang tak terperikan. Apapun yang terjadi, kalah atau menang, sepatutnyalah masyarakat memberi dukungan dan apresiasi kepada mereka.
Satu hal yang luput di novel ini, seperti di tetralogi Laskar Pelangi, imaji yang tidak berkembang. Novel ini mengalami kemampatan imaji di tengah bocornya fakta-fakta sejarah yang tak terbendung. Imaji tak tergarap di tengah faktualitas yang membebani teks dalam ritme pencapaian estetika. Barangkali, begitulah kelemahan novel-novel bercorak autobiografis yang bertolak dari historisitas dan faktualitas.
—Musyafak, pengkaji sastra dan budaya di Open Mind Community Semarang, redaktur majalah sastra Soeket Teki.
sepak bola..... sepak bola.....
ReplyDeletekikukukkkkkkk