Tuesday, August 09, 2011

Wong Jawa Kena Goda

0

Wong Jawa tak pernah berhenti memerangi hawa nafsu. Obsesinya terhadap mistik dan spiritualitas membuat wong Jawa menyisihkan hawa nafsu. Wong Jawa berikhtiar keras meninggalkan perkara “daging” dan wadag itu. Memagari diri secara ketat agar tidak terjerat di dalam nikmat semu yang melenakan.

Para leluhur mewanti-wanti wong Jawa untuk memenangkan diri atas hawa nafsunya, kehendak yang sarat hasrat dan syahwat itu. Wong Jawa musti menginsyafi sangkan-paraning urip, kesejatian hidup yang memuat pandangan bagaimana mestinya menempatkan diri di tengah alam dan di dalam masyarakat.

Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Imam Anom pada tahun 1884, Pupuh Dhandhanggula “Brhamara Ngisep Sari” (1993: 3), meriwayatkan perjalanan awal Sunan Kalijaga dalam menapaki sangkan-paran, ilmu hakikat. “Ling lang ling lung sinambi angabdi, saking datan anawi sabala, kabeka dene nepsune, marmannya datan kerup, dennya amrih wekasing urip, dadya nepsu ingobat, kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon perang lan nepsu neki, sumendhe kersaning Hyang” (Ling lang ling lung (hati bimbang pikir bingung) masih tetap mengabdi, walaupun tanpa ada yang membantu, selalu tergoda oleh nafsunya, karena tidak mampu mengatasinya, berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi atau mengobati nafsunya, jangan sampai telanjur telantur, puas makan dan tidur, sebab hatinya kalah dengan nafsunya, hanya Allah tempat berserah diri).

Harmonitas Kosmologis 

Hawa nafsu merupakan arena penuh godaan, menyediakan risiko bahaya yang tak ringan. Kekalahan diri dari hawa nafsu bisa mendamparkan seseorang pada keruntuhan martabatnya. Keburukan yang bersengkarutan dari dan oleh hawa nafsu, oleh wong Jawa tidak dimafhumi sebagai solah-tingkah yang kelak mendapatkan denda akhirat. Terminologi “kehidupan masa depan” masuk dalam kesadaran religius wong Jawa setelah persentuhannya dengan Islam atau Kristen. Karenanya, istilah “dosa” tidak menempati peranan penting dalam mengolah watak wong Jawa. Keinsyafan religius wong Jawa memandang keburukan, kejahatan, dan kekejian yang merupakan buah hawa nafsu, semata-mata pada bingkai kehidupan masa kininya. Secara kosmologis, kontestasi hawa nafsu berikut keburukan-keburukannya dipandang wong Jawa sebagai laku yang dapat mengoyak harmonitas jagad cilik dan jagad gede. Bukan sekadar ancaman disharmonisasi hubungan manusia dengan penguasa semesta, relasi sosial antarmanusia di suatu komunitas berada di bawah bayang-bayang kerusakan.

Perkara pengendalian hawa nafsu diinsyafi sebagai kunci bagaimana wong Jawa memartabatkan diri, sekaligus mengarak kemuliaannya di ruang bersama. Sadar hawa nafsu mencakup pandangan dunia tentang norma dan kebajikan yang memihaki keselarasan hidup.

Franz Magnis Suseno (2003: 139) menengarai, hawa nafsu merupakan suatu hal yang mengancam hidup Wong Jawa, menggagalkan seseorang untuk menempatkan sikap batin dan laku yang tepat. Hawa nafsu disebut sebagai perasaan-perasaan kasar sebab mengurungkan kontrol diri manusia dan membelenggunya untuk menghamba buta pada dunia lahir. Godaan atas kenikmatan lahir itu memperlemah manusia karena memboroskan kekuatan-kekuatan batin nirfaedah. Perayaan hawa nafsu merupakan bahaya besar karena manusia tidak lagi menuruti akal budinya.

Godaan Pamrih
Wong Jawa menyebutnya goda. Godaan hidup yang menggilai dunia lahir, merayakan kenikmatan duniawi, dan jauh dari perjalanan batin yang sunyi dan meditatif. Pujangga Ranggawarsita telah memaklumatkan zaman edan (gila harta, tahta, dan wanita) yang merupakan buah kegagalan manusia dalam mengolah hawa nafsunya.

Kegilaan-kegilaan tersebut kini semakin kasat di mata, nyata, dan menjadi bagian sehari-hari wong Jawa. Banyak orang bekerja karena kepentingannya untuk sekadar menjadi kaya. Orang-orang mati-matian mengejar pangkat karena pamrihnya berkuasa atas orang lain dan harta. Aji mumpung mendapatkan pembenaran dalam caranya memandang peluang kenikmatan duniawi. Akibatnya, korupsi atau nyeleweng dari amanat yang seolah hantu berparas cantik itu membuat selalu tergoda. Sejak kecil anak-anak diajari bersekolah agar bisa meraih pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat mengatrol prestisnya. Jadinya, sekolah menjadi fragmen karir. Gairah bersekolah terpusat pada pamrihnya atas pangkat dan pekerjaan. Bukan gairah untuk melepaskan diri dari belenggu kedunguan dan sempitnya cakrawala memandang dunia.

Godaan-godaan hidup kini meruah karena pamrih manusia pada keduniaan berlebihan. Matinya kontrol diri dan sikap batin yang salah menambah runyam keadaan sebab setiap individu menonjolkan dan memerjuangkan pamrihnya sendiri. Niels Mulder (1983: 39) menerjemahkan pamrih sebagai “kepentingan diri”, mencakup ambisi-ambisi pribadi. Pamrih merupakan pagar penghalang tercapainya kemurnian hidup dan kebaikan dunia. Sikap hidup demikian bertolakbelakang dengan nilai luhur Jawa: “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sepi ing pamrih menjadi kunci spiritual untuk terus berkesadaran melawan hawa nafsu demi mencapai ketenangan hati dan kebijaksanaan. Sementara rame ing gawe mendorong manusia untuk berderma kepada orang lain.

Pamrih merupakan penubuhan egoisme dan menyisihkan kepentingan bersama. Padahal, di dalam kepentingan bersama itulah terdapat prinsip “kemanunggalan” yang menjadi lema kunci pencarian hidup wong Jawa. Wong Jawa mesti insyaf akan diri dan nilai-nilainya. Godaan, hasrat, dan syahwat, selalu di depan mata, seolah bidadari telanjang menari di pelupuk mata. Kita perlu selalu eling lan waspada!

—Musyafak, essais, aktif di Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment