RAMADAN kembali hadir, menjanjikan limpahan berkah, sekaligus menegaskan kembali harapan-harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa datang. Ramadan pun memicu ekspektasi bangkitnya kesadaran kolektif. Bulan puasa menumbuhkan harapan-harapan akan pencerahan di tengah kondisi sosial yang dihantui pelbagai ancaman: ketidakjujuran, kerakusan, dan ketidakpedulian.
Sedianya Ramadan merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan segala gejala dalam diri maupun gejala di luar diri (realitas sosial). Sejumlah keganjalan atau kekeliruan dalam kehidupan bermasyarakat-berbangsa mesti diurai bersama, dan dari situ bertolak kesadaran bersama untuk melakukan perbaikan-perbaikan.
Korupsi yang merupakan persekongkolan antara kerakusan dan ketidakjujuran, misalnya, mesti diinsyafi bukan semata-mata musuh negara atau pemerintah. Tetapi, secara asasi hal itu mesti disadari sebagai musuh diri dari masing-masing pribadi manusia. Tidak ada tempat di dalam diri manusia untuk membenarkan perilaku khianat tersebut.
Pembebasan Diri
Nurcholis Madjid, dalam Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur (2000) mengatakan, puasa adalah laku menunda kesenangan. Sesuai kata dasarnya, shiyam atau shawm, puasa berarti menahan. Yakni menahan diri dari desakan diri yang selalu ingin melayani kebutuhan biologis yang menjelma sebagai dorongan hawa nafsu. Penundaan atas kesenangan itu niscaya menjadi gerak produktif di dalam diri manusia. Karena di balik ikhtiar menahan diri itu orang yang berpuasa tengah melakoni pelatihan (riyadlah) dan pengembaraan spiritualitas.
Pengembaraan rohani itu akan sampai pada fase pembebasan diri. Yakni, pembebasan dari segala kebutuhan ragawi yang secara berlebihan senantiasa mencengkeram dan menawan diri, seperti: kebutuhan makan, minum, dan seks. Pembebasan itu tentu laku sukarela melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tubuh yang bersifat wadag dan sementara. Adapun puncak puasa, yang menjadi ritus personal antara manusia dengan Tuhan, adalah keinsyafan mendalam akan hadirnya Tuhan dalam setiap gerak-laku manusia.
Logika kehadiran Tuhan dalam hidup adalah sumber moralitas yang tinggi atau budi pekerti luhur (al-akhlaq al-karimah). Kesadaran tersebut mendorong seseorang menghindari perilaku yang sekiranya tidak diberi izin (ridla) oleh-Nya. Kesadaran pribadi ini sangat mungkin menjelma kesadaran kolektif di lingkungan orang-orang yang menjalankan puasa, sehingga menjadi kesadaran sosial. Di sini terjadi transformasi religius yang produktif, yaitu bergeraknya akhlak pribadi menjadi social ethic atau akhlak sosial (Madjid, 2000: 37).
Sirah Pembebasan
Selain pembebasan diri, puasa memiliki jangkauan dan potensi lebih luas sebagai instrumen pembebasan sosial. Selain “mengingkari" makan, minum, atau seks, puasa memerlukan prasyarat lain seperti: berlaku jujur, beramal baik, dan bersedekah. Itu menunjukkan bahwa ritus puasa tidak semata diukur dari seberapa tahan seseorang dari aktivitas mengasingkan diri terhadap kebutuhan biologisnya. Tetapi, puasa lebih dilihat dari seberapa mampu seseorang berbagi kebaikan dengan sesamanya.
Jadilah puasa meniscayakan menguatnya kepekaan individu terhadap orang-orang di sekelilingnya. Sebuah langkah awal bagi tumbuhnya solidaritas sosial untuk membebaskan masyarakat yang belum merdeka, baik ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.
Misi pembebasan puasa dapat dirunut dari sirah (perjalanan) Nabi Muhammad SAW yang merupakan sejarah pelurusan ketimpangan sosial yang didera manusia. Asghar Ali Engineer (1990) memetakan tiga macam pembebasan yang diperjuangkan Sang Nabi. Pertama, pembebasan sosiokultural. Nabi Muhammad diutus di tengah kondisi masyarakat Arab yang amat kental dengan feodalisme, paternalistik, dan selalu melahirkan penindasan--sehingga disebut jahiliyyah.
Kedua, pembebasan ekonomi. Saat itu masyarakat Arab terbagi dua kelas yang saling bertentangan, yaitu kelas terhormat yang menindas (syarif/the oppressor) dan budak serta orang miskin yang tertindas (mustadh'afin/the oppressed). Al Quran sendiri menekankan upaya pemerataan kesejahteraan dan keadilan umat manusia, selain menentang penimbunan atau monopoli kekayaan (QS 59: 7), sehingga Al Quran memerintahkan orang-orang berpunya (aghniya) menyedekahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS 2: 219).
Ketiga, membumikan sikap keadilan terhadap agama lain. Islam memandang, elemen kebebasan paling pokok adalah keterbukaan, toleransi, dan menghormati pemeluk agama lain. Itulah mengapa Al Quran menegaskan: tidak ada pemaksaan dalam beragama (QS 2: 256/109: 6). Tuhan memerintahkan penghormatan kepada semua Nabi yang diturunkan-Nya (QS 4: 150-51). Sebab, Nabi mana pun dengan misi profetiknya telah memberi kontribusi besar dalam pembebasan manusia (humanum).
Tantangan
Menjadikan puasa sebagai gerakan pembebasan manusia tentu tidak mudah, serta menghadapi pelbagai tantangan. Tantangan utama adalah nalar muslim yang masih sangat kental dengan nuansa teosentrisme dalam menjalankan ibadah. Pemikir muslim kontemporer Mohammad Arkoun menyebutnya sebagai nalar teologis. Yaitu pemusatan segala aktivitas peribadatan pada Tuhan tanpa menghiraukan problem kemanusiaan.
Puasa merupakan ibadah multidimensi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dimensi teosentris ibadah puasa menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Ini merangkum kesalehan individu (hablun min al-Lah). Sedangkan dimensi antroposentris puasa menyangkut kesalehan sosial sebagai peletak dasar hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitar atau (hablun min al-nas).
Jadi, mesti ada keseimbangan antara dimensi teosentris dan antroposentris. Sebab, misi profetik semua agama adalah untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Maka, selain prinsip ketuhanan, penting kiranya memaknai ibadah pada aspek antroposentris seperti ditekankan oleh Farid Essack (1997). Antroposentrisme akan membawa implikasi bagi kehidupan agama maupun sosial. Yakni, pembacaan makna agama yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara universal.
Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS), Semarang
(Jurnal Nasional, ...)
