M Nazaruddin terus berada di dalam sorotan. Kaburnya keluar negeri sama “menggemaskan” dengan mulutnya yang tak henti membocorkan berbagai informasi terkait keterlibatan kader Partai Demokrat dalam kasus suap Wisma Atlet di Palembang yang memosisikan dirinya sebagai terdakwa. Terlepas dari benar atau tidaknya, bocoran Nazaruddin itu dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk membongkar jaringan koruptor di negeri ini. Bisa ditengarai kasus suap yang diduga melibatkan para punggawa partai tersebut adalah upaya gelap memburu dana Pemilu 2014 mendatang.
Barangkali sudah menjadi rahasia umum, proyek negara menjadi lahan empuk bagi para politisi untuk meraup untung. Tidak mengherankan jika para politisi banyak yang mendapat embel-embel “pialang” atau “broker” karena keterlibatannya sebagai perantara di dalam proyek-proyek pemerintah. Di samping itu, politisi acap terlibat langsung di dalam pelaksanaan proyek negara. Realitas itu menjadi celah bagi impelementasi proyek sarat nuansa korupsi.
Bancakan
Pembangunan menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pembangunan infrastruktur fisik seperti gedung, jalan, jembatan, atau pengadaan fasilitias di instansi-instansi pemerintahan. Juga pembangunan suprastruktur nonfisik seperti pengadaan buku, penelitian, pelatihan, seminar, bantuan, perekrutan pegawai, hingga perancangan Undang-undang.
Pembangunan menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pembangunan infrastruktur fisik seperti gedung, jalan, jembatan, atau pengadaan fasilitias di instansi-instansi pemerintahan. Juga pembangunan suprastruktur nonfisik seperti pengadaan buku, penelitian, pelatihan, seminar, bantuan, perekrutan pegawai, hingga perancangan Undang-undang.
Segala pekerjaan negara kini telah menjadi proyek. Pemerintah cukup menyediakan anggaran, maka hajat-hajatnya akan rampung dikerjakan pihak-pihak swasta maupun lembaga-lembaga pemerintah di bawahnya. Setelah pekerjaan proyek selesai, pemerintah tinggal menunggu laporan pertanggungjawaban. Tetapi, usut punya usust, semakin hari proyek-proyek negara semakin dipenuhi kecurangan. Banyak proyek fisik dikerjakan dengan kualitas kurang memadai dan di bawah standar. Gedung dan jalan hasil proyek, misalnya, yang acapkali cepat rusak salah satunya disebabkan penyunatan anggaran bahan baku material.
Ahmad Tohari menggambarkan realitas proyek yang sarat penyelewengan di dalam novelnya Orang-orang Proyek (2002). Alkisah, proyek pembangunan Jembatan Cibawor ya ng diborong Insinyur Dalkijo, seorang pemborong sekaligus kader partai yang pragmatis. Anggaran proyek jembatan itu dibocorkan untuk kepentingan partai politiknya, sebagiannya tentu untuk menggandakan keuntungannya pribadi. Agar proyek tetap rampung, maka siasat curang pun dijalankan dengan cara pembelian bahan baku bangunan di bawah standar mutu, bahkan material bekas. Sementara itu, Insinyur Kabul, ketua pelaksana proyek sekaligus mantan aktivis kampus yang idealis, menuntut proyek dijalankan sesuai aturan agar kualitas bangunan bisa dipertanggungjawabkan. Sebab Insinyur Dalkijo tidak mengindahkan permintaannya, Insinyur Kabul mengundurkan diri daripada mengikuti sistem korup yang niscaya semakin memelaratkan rakyat. Dan benar, baru berumur setahun, Jembatan Cibawor itu pada akhirnya runtuh karena bahan baku bangunan seperti pasir dan besi yang tidak memenuhi baku mutu.
Kendati novel itu merupakan kritik terhadap Orde Baru, namun kritik itu masih relevan dengan kekinian. Pelaksanaan proyek apapun kerap mengalami penyelewengan anggaran sehingga hasil pekerjaan proyek dipertaruhkan. Ironisnya hal itu sudah menjadi kebiasaan, sehingga korupsi di era reformasi pun semakin ramai. Makna proyek pun bergeser. Alih-alih sebagai pelaksanaan program pembangunan demi kemajuan masyarakat, proyek justru menjadi lahan “bancakan” uang negara.
Tidak hanya pembangunan fisik yang mengalami kecurangan. Pembangunan nonfisik pun tidak lepas dari perilaku curang semacamnya. Taruhlah proyek penelitian yang dilaksanakan oleh para akademisi, tidak semuanya bersih. Banyak di antara mereka mengerjakan penelitian dengan tidak serius. Peneliti, misalnya, tidak sungguh-sungguh terjun ke lapangan dan memaksimalkan observasi sehingga hasil penelitiannya pun menjadi taruhan.
Kultur Ketidakjujuran
Kultur Ketidakjujuran
Setiap pelaksanaan proyek menjadi taruhan moral yang penuh risiko. Ikhtiarnya, memang, proyek ditujukan sebagai upaya pelayanan pemerintah kepada warganya. Namun karena praktiknya dipenuhi kecurangan, proyek pembangunan justru berbalik menjadi perusakan moral bangsa. Proyek menyuburkan dan mentradisikan watak ketidakjujuran.
Tragis jika pada akhirnya proyek-proyek pemerintah hanya menjadi ajang penghambur-hamburan anggaran negara. Para pemborong dengan sadar memanfaatkan celah itu dengan cara menurunkan kualitas proyek yang dikerjakannya. Begitu juga para politisi yang menjadi makelar proyek, selalu memanfaatkan jabatan politisnya untuk meraup keuntungan untuk didistribusikan kepada kelompoknya.
Jika kultur pelaksanaan proyek yang tidak jujur terus dilestarikan, maka negara ini akan bangkrut dan lelah melayani agenda pembangunan. Pemerintah perlu memperketat jalannya proyek sejak pelelangan sampai pelaksanaan dan pelaporannya. Kebocoran anggaran harus diantisipasi dengan teliti dan terperinci. Jika tidak, bisa-bisa negara ini pun akan diproyekkan!
--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
(Radar Lampung 13 Agustus 2011)