Judul : 99 Cahaya di Langit Eropa
Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Juli 2011, 424 halaman
Penjelajahan historis dari Cordoba hingga Turki yang ditorehkan Hanum dan suaminya memberi penyadaran sejarah tersendiri. Ditulis dengan gaya bertutur seorang novelis.
Kebesaran Islam tidak hanya bisa dilacak di Timur Tengah. Eropa yang mayoritas masyarakatnya non-muslim juga menyisakan situs-situs sejarah kejayaan Islam. Bahkan Abad Kebangkitan atau Pencerahan (Renaissance) di “Benua Biru” itu tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan pemikir muslim pada Abad pertengahan, seperti Ibn Rusyd.
Buku ini sebenarnya adalah catatan perjalalan pengarang, Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra. Memoar pengembaraan di Eropa selama tiga tahun oleh pasutri ini diceritakan apik dengan bahasa yang mengalir bak novel. Perjalanan di empat negara --Wina (Austria), Paris (Prancis), Cordoba dan Granada (Spanyol), serta Istanbul (Turki)-- menghadirkan fantasi keindahan sekaligus kekelaman sejarah Islam di Eropa.
Mezquita di Cordoba, Spanyol (Andalusia), menjadi bukti kejayaan Islam di Eropa pada Abad pertengahan. Mulanya Mezquita adalah bangunan masjid besar. Pasca kekalahan imperium Islam, bangunan ini beralih fungsi menjadi gereja. Meski bentuk bangunannya masih seperti sediakala, percampuran simbol-simbol agama tidak bisa dihindari.
Menara Mezquita yang khas arsitektur Islam, di puncaknya diletakkan lonceng dan salib untuk menandai bangunan tersebut bukanlah masjid, melainkan katedral. Terjadi pula sedikit perusakan ukir-ukiran kaligrafi Arab di atapnya. “Ukir-ukiran yang indah itu atas nama sejarah harus dicongkel dan dihapus,” tulis mereka (halaman 260).
Cordoba, kota pertama di Eropa yang dibangun oleh imperium Islam, ternyata menyimpan jejak pluralisme umat muslim. Itu tampak dari mihrab Mezquita yang tidak tepat menghadap kiblat, sebaliknya menyerong ke arah selatan. Sengaja dibuat demikian sebab di sebelah masjid tersebut sudah ada gereja yang lebih dulu berdiri. Andai mihrab dipaksakan menghadap kiblat, mau tak mau gereja harus dirobohkan.
Sultan Al Rahman menyadari betul hak-hak ibadah umat agama lain. Para jamaah salat di Mezquita justru harus mengalah: menyerongkan badan ke arah tenggara untuk menghadap kiblat. Cordoba saat itu menjadi model pluralisme antar umat beragama: tempatnya umat muslim, Katolik, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai.
Pemandangan berbeda tampak pada Hagia Sophia di Istanbul yang menjadi ikon kemenangan Dinasti Usmaniyah atas Byzantium Romawi. Katedral agung itu beralih fungsi menjadi masjid tanpa adanya perusakan simbol-simbol Katolik di dalamnya. Demi suatu alasan keadilan, Hagia Sophia justru dijadikan museum untuk melenyapkan ketegangan sejarah antarumat beragama. Sehingga Hagia Sophia sampai kini masih dapat dinikmati oleh semua umat beragama.
Jelajah historis sang penulis dari Cordoba ke Turki memberikan penyadaran sejarah tersendiri, sejatinya peperangan antaragama tidak pernah ada. Kecuali “dosa sejarah” umat manusia untuk kepentingan perebutan kekuasaan semata. Agama dijadikan kambing hitam atau korban untuk melegitimasi hasrat berkuasa antarimperium, seperti yang terjadi pada penaklukan muslim di Cordoba maupun “Perang Salib” yang ratusan tahun meneror umat beragama di dunia.
Selain menguak sisa-sisa kejayaan Islam di Eropa, Hanum dan Rangga juga membeberkan realitas umat muslim Eropa. Subordinasi dan diskriminasi terhadap kaum muslim imigran menjadi kisah pelik tersendiri. Di Wina, misalnya, dikisahkan beberapa pemuda non-muslim yang mengejek Islam dengan cara memakan croissant, semacam roti yang berbentuk bulan sabit. Croissant, yang mirip lambang bendera Turki, menjadi senjata untuk mengolok-olok kekalahan Turki atas Eropa. Sekaligus olok-olok bagi kaum muslim pada umumnya.
Perihal diskriminasi yang lebih riil juga ditampilkan dalam fragmen cerita tentang Wina. Fatma, misalnya, tokoh dalam novel itu, tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan karena jilbab yang ia pakai. Tampak akses-akses ekonomi cukup tertutup bagi perempuan muslim, apalagi kaum imigran. Meski begitu, Fatma dan komunitas kecil muslim yang taat di sana tetap berusaha menunjukkan Islam yang ramah. Bahkan, Fatma berpesan agar setiap muslim menjadi agen yang mewartakan Islam damai dan rahmatan lil ‘alamin.
--Musyafak, penggiat di Open Mind Community Semarang
(GATRA 21 September 2011)
(GATRA 21 September 2011)
