Thursday, September 29, 2011

Jalan Baru Politik Buku

0
Saya pernah geram karena seorang kawan bilang internet itu sampah. Kualitas teks-teks dan bacaan di internet jongkok. Blog, misalnya, selain berisi hal-hal remeh-temeh cuma membikin kultur orang narsis dan lebay. Ia memihaki buku secara mutlak sebagai sumber sekaligus penuntun pengetahuan dan peradaban manusia.

Tentu pandangan itu keliru bagi saya. Barangkali, sebetulnya ia tidak benar-benar memahami internet meski sudah beberapa tahun memanfaatkan e-mail. Ia bukan “anak zaman” yang lahir dengan paradigma lengkap dalam menilik teknologi informasi. Pandangan internet adalah sampah merupakan produk dari pengelolaan rasio biner dalam menyandingkan internet dan buku.
Bila dibalikkan secara dekonstruktif, buku pun bisa dibilang sampah. Kultur buku terkini tidak selalu berawal dari semangat pencerahan. Semangat kapitalisasi memenjarakan buku dalam arena produksi tanpa jaminan mutu. Produksi buku juga bisa jadi sangat kontraproduktif dalam ranah persemaian gagasan-gagasan baru, sekaligus pendalaman gagasan yang telah ada. Orang harus bayar mahal demi sebuah jilidan kompilasi kutipan dari buku-buku lain. Notasi ilmiah, daftar pustaka atau bibliography menjadi tameng dan label keilmiahan buku, meski buku itu lahir dari cara “memulung”.

Fanatisme pada buku pun akan dimentahkan oleh kenyataan perilaku konsumsi buku masyarakat saat ini. Di tengah maraknya  buku panduan praktis (how to), sebaliknya buku sastra atau filsafat berangsur-angsur “dilupakan” masyarakat. Jadilah peradaban masyarakat buku perlahan kehilangan imajinasi dalam memandang hidup. Perkara-perkara yang digulati adalah cara-cara hidup pakem dan terukur menurut buku panduan.

Pilihan
Memasuki internet ibarat memasuki toko buku. Di dalamnya tersedia bermacam-macam teks dan pelbagai informasi. Orang hadir di dalamnya membawa “sejarah diri” dan “horizon kepala” masing-masing: pengalaman membaca dan latar intelektualnya. Sama di toko buku, orang hadir di internet dengan pelbagai rencana pencarian, meski kadang semua kepentingannya tak terpenuhi.

Pada akhirnya, sampah atau tidak, berkualitas atau tidak, buku maupun internet sangat bergantung bagaimana cara orang memilah bahan dan mendayagunakannya. Keduanya menyediakan berbagai kemungkinan apakah manusia menjadi beradab atau tidak, baik dari cara pikir maupun laku.

Berkah
Sintesis buku dan internet, sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Lahirnya buku elektronik (e-book) merupakan jalan baru bagi perpolitikan buku. Internet memberi kemudahan orang untuk mengakses kebutuhannya dengan modal yang tidak begitu banyak. Books.google.com, misalnya, menyediakan koleksi ribuan buku yang bisa dibaca online. Situs-situs penyedia e-book pun marak dan tak henti membagi berkah, taruhlah library.nu yang mengoleksi sekitar 5.000-an buku yang bisa diunduh gratis.

Warta tentang berkah internet dapat disimak dari Goenawan Mohammad (GM). Suatu hari ia ingin mengutip sebuah sajak Toto Sudarto Bachtiar yang terbit di tahun 1955, tapi buku tersebut tak dimilikinya lagi. Lantas ia mencari di internet dan mendapatkannya di sana. Karena itulah GM terdorong membuat situs dengan angan turut memudahkan orang untuk mendapatkan naskah atau bacaan di internet (www.goenawanmohamad.com). Di blog atau situs pribadi, orang bisa saling berbagi tanpa tegangan motif materalistis tertentu. Kita bisa berbagi dengan siapa saja meski tidak dikenali.

Bagi saya sendiri, mengenal internet dan e-book adalah berkah. Buku-buku yang tidak bisa saya beli atau stok di toko sudah habis, ternyata bisa didapatkan di internet. Saya menemukan e-book kumpulan puisi Sutardji Chalzoum Bachri mulai dari O, Amuk, dan Kapak. Juga puisi Amir Hamzah (Buah Rindu, Nyanyi Sunyi), Chairil Anwar (Derai-derai Cemara), WS Rendra (Demi orang-orang Rangkasbitung, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak), Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni), Puisi-puisi Wiji Thukul dan juga ratusan naskah drama, novel atau kumpulan cerpen. Buku-buku luar negeri pun saya akses dengan leluasa di library.nu, seperti Colonial and Postcolonial Literature (Elleke Boehmer), Devils and Rebels: The Making of Hawthorne’s Damned Politics (Larry J. Reynolds), Bridge or Barrier: Religion, Violence and Visions for Peace (Gerrie ter Haar and James J Busuttil, ed), The Archeology of Knowledge (Michel Foucault), Islamic History and Civilization: Studies and Texts (Wadad Kadi and Rotraud Wielandt, ed), dsb.

Jadilah nternet bukan sekadar tempat membuang umpatan, keluhan, juga kecengengan sehari-hari. Jikapun memang fakta demikian ada, paling tidak internet memberi situasi hidup tertentu bagi orang-orang tertentu untuk menyuarakan dan mengeskpresikan diri—yang kita memang tidak bisa menihilkannya.

Di ruang maya manusia bisa membangun keadabannya, di samping sokongan buku cetakan di tangannya. Tak pelak, jalan baru politik buku era terkini tidak bisa menutup mata dengan internet. Ruang itu bisa dikelola untuk kepentingan keberadaban umat manusia: berpikir produktif dan berbagi pengetahuan tentang dunia yang multikultur.

Musyafak, pegiat di Open Mind Community Semarang
(Radar Surabaya 17 September 2011)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment