Cerpen Musyafak
SUNGSANG. Perasaan tunggang-langgang. Harapan dan kepupusan bertukar tangkap. Menjelma perulangan kecamuk yang terbit-terbenam, menjauh-mendekat, dan maju-mundur di rongga dada yang penuh tegangan. Selebihnya adalah kecemasan-kecemasan yang terus menuntut untuk diacuhkan.
Lalu-lalang bus, orang-orang naik-turun, dengkuran mesin-mesin, teriakan klakson, suara pedagang asongan, nyanyian pengamen, seruan pegawai retribusi.
Pulogadung–Cempaka Putih–Tol–Lenteng Agung–Margonda Raya–Depok…
Yanti mengabaikan seruan kernet. Setibanya di Pulogadung rasanya ia enggan meneruskan perjalanan. Matanya menerawang pada hiruk-pikuk manusia yang bergas mencapai masing-masing tujuan. Keramaian manusia bertukar pandang dengan cepat. Tidak ada sesuatu yang menahan mereka untuk bertatapan lebih lama.
Sesekali ia mendenguskan napas. Tampak ia berupaya memenangkan diri atas pelbagai kecamuk di dadanya. Ada satu tautan perasaan yang begitu menali dirinya. Seolah tali yang kian terulur panjang, tapi kian erat pula menambatnya. Secarik kertas bertuliskan alamat rumah kerajinan kue di Depok masih digenggamnya. Makin dibacanya berulang alamat itu, justru ia kian ragu. Bahwa yang tertera di kertas itu bukanlah sebenar tujuannya. Lalu ia menginsyafi perjalanannya tidak lebih daripada sebuah pelarian.
Disadari pula pelarian yang tengah dijalankannya adalah pesakitan untuk dirinya sendiri. Terasa kepergiannya seolah memisah raga dari jiwanya. Yanti merasa jauh dari dirinya sendiri. Ia merasa kosong. Cuma tubuh yang melompong. Ia mendapati raganya telah pergi begitu jauh, tapi hatinya tetap saja tersalib di pintu rumahnya.
Senyum dua anak kecil yang lucu dan ranum. Wajah sangar seorang lelaki bercambang lebat. Sepasang orang baya yang kini mengasuh dua cucu yang terkadang sangat nakal dan manja. Rumah mungil nan cantik yang tak berpenghuni…
Nanang, Nining, ibu ingin kembali ke rumah. Ibu ingin memelukmu…
Tanpa disadarinya muncul garis bening di kedua pipinya. Beberapa orang sempat melihatnya tapi enggan memperhatikannya lebih lama.
***
“Aku nambah satu tahun lagi. Sekalian kelak aku pulang membawa cukup uang untuk modal usaha. Mumpung, Dik!”
“Nambah kok terus-terusan! Apa tidak kasihan sama anak-anak? Mereka selalu menanyakanmu, Kang!”
“Yang enak nanti juga kamu dan anak-anak, bukan?”
“Aku dan anak-anak lebih senang kamu di rumah, Kang! Daripada uang berapapun jumlahnya, tapi kita tidak bersama.”
“Tunggu saja setahun lagi!”
“Kalau kamu tidak pulang, aku juga akan pergi! Biar anak-anak tinggal sendiri di rumah.”
“Terserah kamu!”
Yanti melemparkan handphone di kasur. Di situ pula tubuhnya dijatuhkan. Dada Yanti masih panas seraya gemetaran. Pertengkaran terhebat, pikirnya. Ia kalaf hingga berani membentak Yanto cukup keras. Barangkali kekesalan yang bertumpuktimbun di hatinya meledak.
Selama ini Yanti cukup sabar menghadapi Yanto yang tidak mau lekas pulang. Lima tahun bukan waktu yang pendek baginya ditinggal suami bekerja di Singapura. Mengasuh Nanang dan Nining sendirian bukan perkara mudah.
Musti pergi! Ke mana? O ya, Jakarta. Bagaimana anak-anak? Tinggal bersama kakek-neneknya. Haruskah gertakan mengorbankan begitu banyak? Kelak kemenangan dinikmati bersama. Berapa lama? Sampai Kang Yanto pulang. Jika dia tetap tidak pulang?
Ah…
Yanti memutuskan pergi. Masa tunggu sebulan telah memberi jawaban bahwa Yanto tidak mengurusi gertakannya. Sebelum pergi ia menatap rumahnya begitu dalam. Rasa benci menyeruak. Memang belakangan ini ia tidak senang kepada rumahnya sendiri. Dikiranya, rumah justru menjadi penyebab tandusnya rumah-tangganya.
Mulanya adalah keinginan sederhana. Yanto sangat kepingin bisa membuatkan rumah berukuran sedang untuk Yanti. Sebenarnya Yanti tidak menginginkan rumah seperti yang diimpi-impikan suaminya untuk dikasihkan kepada istri macam dirinya. Pikirnya, dengan bekerja serabutan di desa, keluarganya tetap bisa cukup makan dan sandang. Ia sudah cukup tenteram tinggal di rumah kayu sederhana yang cuma berlantai tanah. Perkara hendak membangun rumah lebih bagus bisa diupayakan dengan menabung sedikit demi sedikit. Namun Yanto memaksakan diri. Mumpung masih muda, dalihnya. Hanya butuh waktu tiga tahun untuk mewujudkan impian itu.
Yanto telah lima tahun meninggalkan Yanti dan kedua anaknya. Rumah yang dulu bersusun kayu sudah berganti tembok. Lantainya berkeramik merah jambu. Ada kursi sudut merah hati yang empuk. Ranjangnya juga empuk. Dapurnya bersih dengan tempat pencucian piring di meja dapur yang di atasnya terdapat kran. Kamar mandi lengkap dengan kloset. Ada kulkas juga. Tapi Yanto tak juga pulang.
“Kang, aku pergi ke Jakarta. Anak-anak bersama kakek dan neneknya.”
“Kamu tega sama anak-anak, Dik!”
“Jika Kang Yanto mau pulang, aku juga pulang.”
Yanti menutup telepon tanpa menunggu jawaban Yanto berikutnya. Hendak ditunjukkan bahwa ancaman yang dibuatnya bukan main-main belaka. Mega hitam beriring-iring di langit mengiringi langkah Yanti. Menjelang ujung jalan gang yang sempit ditamatinya Nanang dan Nining mengawaikan tangan. Pandangannya terbagi pada penampakan rumahnya yang bercat merah muda.
Beberapa saat selepas Yanti hilang tertelan tikungan jalan, Nanang dan Nining bersiap dibawa neneknya. Lalu rumah itu benar-benar kosong.
***
Sudah seminggu Yanti berada di Jakarta. Sebuah rumah kerajinan kue setengah terpaksa memberinya tumpangan pekerjaan. Sepuluh tahun silam, ketika masih lajang, Yanti pernah bekerja di sana. Sebab itulah ia masih mendapatkan belaskasih. Namun Yanti diberi waktu sebulan untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain.
Tepung. Mentega. Gula. Telor. Ovalet. Bubuk Cokelat. Air Soda. Soda Kue. Vanili. Mesin aduk. Adonan. Cetakan kue. Loyang. Mesin panggang. Dandang kukus. Mesin Kelab. Mesin Cepres. Kemasan. Mesin Kemas. Label…
Nanang. Nining. Rumah. Yanto. Ayah. Ibu. Rumah. Singapura. Lima tahun. Rumah. Rumah. Rumah…
Kedirian Yanti tidak sepenuhnya terpusat pada pekerjaannya. Tiba-tiba handphone berdering. Yanti buru-buru cuci tangan. Sesuatu yang diam-diam ditunggu-tunggunya datang.
“Apakah kamu sudah berubah pikiran, Kang?”
“Ya!”
Yanti merasa sedikit senang. Sementara Yanto tak ingin berbasa-basi sedikitpun, “Aku sudah memperpanjang paspor kerja untuk tiga tahun ke depan.”
Dada Yanti gemeratap. Tubuhnya surut perlahan.
“Apa?! Kenapa kamu tega, Kang!”
“Kalau mau susul saja aku ke Singapura. Nanti lewat PT penyaluran yang sama denganku dulu. Biar anak-anak tinggal bersama kakek-neneknya.”
Yanti diam batu. Tenggorokannya serasa terkail kawat bergerigi.
Buat apa membuat rumah kalau akhirnya kita tinggalkan?
Yanti ingin mengatakan sesuatu yang menyeruak di dalam dirinya. Tapi ia benar-benar tidak kuasa bicara apapun. Pun ia tidak menangis. Ia hanya menunggu waktu untuk bisa berteriak sekencang-kencangnya hingga meledakkan tubuhnya sendiri.
September 2010
(Solopos 4 September 2011)
SUNGSANG. Perasaan tunggang-langgang. Harapan dan kepupusan bertukar tangkap. Menjelma perulangan kecamuk yang terbit-terbenam, menjauh-mendekat, dan maju-mundur di rongga dada yang penuh tegangan. Selebihnya adalah kecemasan-kecemasan yang terus menuntut untuk diacuhkan.
Lalu-lalang bus, orang-orang naik-turun, dengkuran mesin-mesin, teriakan klakson, suara pedagang asongan, nyanyian pengamen, seruan pegawai retribusi.
Pulogadung–Cempaka Putih–Tol–Lenteng Agung–Margonda Raya–Depok…
Yanti mengabaikan seruan kernet. Setibanya di Pulogadung rasanya ia enggan meneruskan perjalanan. Matanya menerawang pada hiruk-pikuk manusia yang bergas mencapai masing-masing tujuan. Keramaian manusia bertukar pandang dengan cepat. Tidak ada sesuatu yang menahan mereka untuk bertatapan lebih lama.
Sesekali ia mendenguskan napas. Tampak ia berupaya memenangkan diri atas pelbagai kecamuk di dadanya. Ada satu tautan perasaan yang begitu menali dirinya. Seolah tali yang kian terulur panjang, tapi kian erat pula menambatnya. Secarik kertas bertuliskan alamat rumah kerajinan kue di Depok masih digenggamnya. Makin dibacanya berulang alamat itu, justru ia kian ragu. Bahwa yang tertera di kertas itu bukanlah sebenar tujuannya. Lalu ia menginsyafi perjalanannya tidak lebih daripada sebuah pelarian.
Disadari pula pelarian yang tengah dijalankannya adalah pesakitan untuk dirinya sendiri. Terasa kepergiannya seolah memisah raga dari jiwanya. Yanti merasa jauh dari dirinya sendiri. Ia merasa kosong. Cuma tubuh yang melompong. Ia mendapati raganya telah pergi begitu jauh, tapi hatinya tetap saja tersalib di pintu rumahnya.
Senyum dua anak kecil yang lucu dan ranum. Wajah sangar seorang lelaki bercambang lebat. Sepasang orang baya yang kini mengasuh dua cucu yang terkadang sangat nakal dan manja. Rumah mungil nan cantik yang tak berpenghuni…
Nanang, Nining, ibu ingin kembali ke rumah. Ibu ingin memelukmu…
Tanpa disadarinya muncul garis bening di kedua pipinya. Beberapa orang sempat melihatnya tapi enggan memperhatikannya lebih lama.
***
“Aku nambah satu tahun lagi. Sekalian kelak aku pulang membawa cukup uang untuk modal usaha. Mumpung, Dik!”
“Nambah kok terus-terusan! Apa tidak kasihan sama anak-anak? Mereka selalu menanyakanmu, Kang!”
“Yang enak nanti juga kamu dan anak-anak, bukan?”
“Aku dan anak-anak lebih senang kamu di rumah, Kang! Daripada uang berapapun jumlahnya, tapi kita tidak bersama.”
“Tunggu saja setahun lagi!”
“Kalau kamu tidak pulang, aku juga akan pergi! Biar anak-anak tinggal sendiri di rumah.”
“Terserah kamu!”
Yanti melemparkan handphone di kasur. Di situ pula tubuhnya dijatuhkan. Dada Yanti masih panas seraya gemetaran. Pertengkaran terhebat, pikirnya. Ia kalaf hingga berani membentak Yanto cukup keras. Barangkali kekesalan yang bertumpuktimbun di hatinya meledak.
Selama ini Yanti cukup sabar menghadapi Yanto yang tidak mau lekas pulang. Lima tahun bukan waktu yang pendek baginya ditinggal suami bekerja di Singapura. Mengasuh Nanang dan Nining sendirian bukan perkara mudah.
Musti pergi! Ke mana? O ya, Jakarta. Bagaimana anak-anak? Tinggal bersama kakek-neneknya. Haruskah gertakan mengorbankan begitu banyak? Kelak kemenangan dinikmati bersama. Berapa lama? Sampai Kang Yanto pulang. Jika dia tetap tidak pulang?
Ah…
Yanti memutuskan pergi. Masa tunggu sebulan telah memberi jawaban bahwa Yanto tidak mengurusi gertakannya. Sebelum pergi ia menatap rumahnya begitu dalam. Rasa benci menyeruak. Memang belakangan ini ia tidak senang kepada rumahnya sendiri. Dikiranya, rumah justru menjadi penyebab tandusnya rumah-tangganya.
Mulanya adalah keinginan sederhana. Yanto sangat kepingin bisa membuatkan rumah berukuran sedang untuk Yanti. Sebenarnya Yanti tidak menginginkan rumah seperti yang diimpi-impikan suaminya untuk dikasihkan kepada istri macam dirinya. Pikirnya, dengan bekerja serabutan di desa, keluarganya tetap bisa cukup makan dan sandang. Ia sudah cukup tenteram tinggal di rumah kayu sederhana yang cuma berlantai tanah. Perkara hendak membangun rumah lebih bagus bisa diupayakan dengan menabung sedikit demi sedikit. Namun Yanto memaksakan diri. Mumpung masih muda, dalihnya. Hanya butuh waktu tiga tahun untuk mewujudkan impian itu.
Yanto telah lima tahun meninggalkan Yanti dan kedua anaknya. Rumah yang dulu bersusun kayu sudah berganti tembok. Lantainya berkeramik merah jambu. Ada kursi sudut merah hati yang empuk. Ranjangnya juga empuk. Dapurnya bersih dengan tempat pencucian piring di meja dapur yang di atasnya terdapat kran. Kamar mandi lengkap dengan kloset. Ada kulkas juga. Tapi Yanto tak juga pulang.
“Kang, aku pergi ke Jakarta. Anak-anak bersama kakek dan neneknya.”
“Kamu tega sama anak-anak, Dik!”
“Jika Kang Yanto mau pulang, aku juga pulang.”
Yanti menutup telepon tanpa menunggu jawaban Yanto berikutnya. Hendak ditunjukkan bahwa ancaman yang dibuatnya bukan main-main belaka. Mega hitam beriring-iring di langit mengiringi langkah Yanti. Menjelang ujung jalan gang yang sempit ditamatinya Nanang dan Nining mengawaikan tangan. Pandangannya terbagi pada penampakan rumahnya yang bercat merah muda.
Beberapa saat selepas Yanti hilang tertelan tikungan jalan, Nanang dan Nining bersiap dibawa neneknya. Lalu rumah itu benar-benar kosong.
***
Sudah seminggu Yanti berada di Jakarta. Sebuah rumah kerajinan kue setengah terpaksa memberinya tumpangan pekerjaan. Sepuluh tahun silam, ketika masih lajang, Yanti pernah bekerja di sana. Sebab itulah ia masih mendapatkan belaskasih. Namun Yanti diberi waktu sebulan untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain.
Tepung. Mentega. Gula. Telor. Ovalet. Bubuk Cokelat. Air Soda. Soda Kue. Vanili. Mesin aduk. Adonan. Cetakan kue. Loyang. Mesin panggang. Dandang kukus. Mesin Kelab. Mesin Cepres. Kemasan. Mesin Kemas. Label…
Nanang. Nining. Rumah. Yanto. Ayah. Ibu. Rumah. Singapura. Lima tahun. Rumah. Rumah. Rumah…
Kedirian Yanti tidak sepenuhnya terpusat pada pekerjaannya. Tiba-tiba handphone berdering. Yanti buru-buru cuci tangan. Sesuatu yang diam-diam ditunggu-tunggunya datang.
“Apakah kamu sudah berubah pikiran, Kang?”
“Ya!”
Yanti merasa sedikit senang. Sementara Yanto tak ingin berbasa-basi sedikitpun, “Aku sudah memperpanjang paspor kerja untuk tiga tahun ke depan.”
Dada Yanti gemeratap. Tubuhnya surut perlahan.
“Apa?! Kenapa kamu tega, Kang!”
“Kalau mau susul saja aku ke Singapura. Nanti lewat PT penyaluran yang sama denganku dulu. Biar anak-anak tinggal bersama kakek-neneknya.”
Yanti diam batu. Tenggorokannya serasa terkail kawat bergerigi.
Buat apa membuat rumah kalau akhirnya kita tinggalkan?
Yanti ingin mengatakan sesuatu yang menyeruak di dalam dirinya. Tapi ia benar-benar tidak kuasa bicara apapun. Pun ia tidak menangis. Ia hanya menunggu waktu untuk bisa berteriak sekencang-kencangnya hingga meledakkan tubuhnya sendiri.
September 2010
(Solopos 4 September 2011)