Friday, September 30, 2011

Tamu Agung

0
Cerpen Musyafak

MBAH Warsa baru saja selesai senam ringan di pelataran rumah. Hanya sedikit keringat membuat lembab singlet putih yang menutupi tubuh kendurnya. Edaran spektrum sinar keemasan dari arah timur laut makin menghangatkan pagi. Begitu aktivitas rutinnya itu selesai, ia kembali duduk di beranda, menghabiskan sisa kopi yang sudah mendingin di cangkir. Matanya menerawang langit yang mulai mengilat cerah.

"Eee Bapak, bukannya cepat-cepat mandi malah ngelamun!" Sapa Rodiya, putri bungsunya, yang hendak menyapu teras rumah itu.

"Aku mandi nanti siang saja, Ro! Selepas lohor sekalian." Mbah Warsa menyunggingkan bibir.
Kening Rodiya naik hingga kemerut. Rodiya tambah heran ketika ayahnya memintanya cepat memasak.

"Ealah... Bapak ini! Itu nasinya sudah siap disantap.” Telunjuk Rodiya menuding ke dalam rumah, ke arah dapur. ”Lengkap sambal terasi dan semur lele!"

”Masakanmu itu hanya cukup untuk orang serumah saja kan? O ya, kemarin aku tak sempat pesan padamu untuk masak yang banyak hari ini. Bikin nasi tiga atau empat dandang. Beli daging yang banyak dari pasar, masak dengan kuah yang banyak pula."

Rodiya belum mengerti maksud ayahnya. Pikirannya agak terang ketika ayahnya mengatakan hari ini akan ada tamu agung. Sanak famili dan para kerabat juga akan datang, setelah lohor nanti.

”Aku ingat betul, harinya Minggu Legi. Hari ini, bukan?"

Rodiya tak habis pikir mengapa soal ini tak dikabarkan jauh-jauh hari. Memangnya tamu agung siapa?

”Cepatlah kau, Rodiya! Tak usah banyak berpikir. Kabari kakak-kakakmu, minta bantuan mereka.”

Rodiya bergegas. Ia tahu waktunya tak banyak. Dipanggilnya kakak-kakaknya. Ada yang pergi belanja ke pasar. Ada yang lekas bekerja di dapur.

***

”APA benar kita akan kedatangan tamu agung?” tanya Salim kepada Rodiya yang sibuk mencincang bumbu-bumbu dapur.

”Bapak yang bilang begitu!”

”Aneh! Tapi tak sekali-kali ayah bermain-main ucapan, bukan?”

Lelaki paro baya itu bergegas ke tukang sewa tratak di sebelah desa. Oleh pemilik tratak ia dibilang kurang waras. Mustinya kau memesan beberapa hari sebelumnya, katanya. Menjelang siang, berpasang-pasang tratak sudah mulai didirikan di halaman rumah Mbah Warsa. Para tetangga keheranan melihat kesibukan itu. Orang-orang pun mulai mengancar-ancara hajat apa yang  hendak digelar. Kasak-kusuk yang berembus ke telinga orang-orang cukup beragam. Ada yang bilang, Mbah Warsa hendak mengadakan pesta syukuran. Yang lain lagi mengatakan, Mbah Warsa akan kedatangan banyak tamu. Yang lain lagi menebak, Mbah Warsa akan menggelar pertunjukan wayang nanti malam. Pertunjukan yang akan didalanginya sendiri. Siapa tau  lelaki tua itu kangen mendalang lagi. Ya, siapa tau! Sebab dulu Mbah Warsa seorang dalang terkenal. Paling kurang, orang di bilangan propinsi ini mendengar kebekenan namanya sebagai dalang. Namun ia berhenti mendalang setelah istrinya meninggal. Kini kebanyakan waktunya dihabiskan semadi di kamar.

"Lim, memangnya akan ada hajat apa sampai pasang tratak segala?" tanya lelaki berkaus longgar warna hitam, yang sejak mula membantu mendirikan tenda.

Salim tersenyum. "Kami akan kedatangan tamu agung, lohor nanti."

"Memangnya tamu agung dari mana saja hingga trataknya sejembar ini?"

"Pokoknya!" Salim seolah tahu pasti siapa yang hendak bertamu. Padahal hatinya masih ganjal, sekaligus penasaran, pada tamu agung yang bakal datang. Penjelasan mertuanya pagi tadi tidak begitu gamblang. Malah terkesan mencegahnya bertanya.

Mbah Warsa sendiri ikut membaur dengan orang-orang yang tengah memasang tratak. Ia memberi beberapa pengarahan. Seperti tempat duduk yang tidak diperkenankannya menggunakan kursi. Cari karpet saja, katanya, biar muat banyak banyak.

***

Halaman rumah sudah beres. Empat tangkup tratak terpasang berlekatan dengan gelaran karpet merah. Rodiya dan beberapa perempuan masih sibuk mengurus dapur.

Mbah Warsa memandangi satu per satu wajah anaknya, juga menantunya, dengan tatapan dalam dan sendu. Mereka yang tidak biasa dipandangi Warsa dengan cara demikian menjadi agak kikuk.

Semua pekerjaan selesai menjelang lohor. Salim beserta saudara dan iparnya rehat sejenak. Mereka duduk menyelonjorkan kaki di beranda rumah. Salim bersiul-siul kecil. Bayu yang sejuk mengekas perlahan. Mbah Warsa menduduki kursi di teras, tak jauh dari anak-anak dan menantunya. Roman mukanya berseringai. Juga sorot matanya yang berpinar-pinar. Tampak sekali lelaki itu tengah bersuka menyambut kedatangan tamu agung yang takkan lama lagi.

"Anak-anakku, aku mau rehat sebentar di kamar. Kalian teruskan pekerjaan jika ada yang belum rampung."

Rodiya melemparkan senyum ke muka ayahnya yang hari ini tampak rewel dengan banyak permintaan.

”Memangnya tamu agung siapa sih, Pak?” Salim memberanikan diri.

Mbah Warsa hanya tersenyum. ”Nanti kalian tau sendiri.”

Mbah Warsa merapatkan gorden jendela kamarnya. Tak lagi cahaya matahari menerabas ke biliknya. Kamar itu terasa hening ketika ia menebarinya dengan wewangian yang cukup menyengat. Wangi itu sangat disukainya. Wangi bunga-bunga yang selalu mengingatkannya pada istrinya, juga mengingatkannya pada Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sebelum merebah dengan kepala di ujung utara, ia menatap arah barat. Selembar kain polos berwarna putih diselimutkan di tubuhnya.

Ia memusatkan pikiran, sekaligus mengosongkannya. Perlahan-lahan tubuhnya terasa tak memerikan apa-apa. Ia rasakan pula jiwanya tenggelam begitu dalam, tak terselam. Rasanya, seolah ia tengah berjalan jauh. Jauh sekali.

***

Lohor telah lewat. Rodiya sedang bersolek. Dikenakannya pakaian yang dikiranya paling pantas agar ia terlihat menawan ketika menyambut tamu agung dan sanak famili serta kerabat nanti. Begitu juga saudara-saudara dan iparnya, mereka memacak diri sepatut mungkin. Salim mengingatkan Rodiya untuk membangunkan ayahnya.

Begitu Rodiya menguak pintu kamar Mbah Warsa, hidungnya menyesap bau yang aneh. Tapi ia merasa pernah mencium wangi macam itu. Perhatiannya segera beralih pada sebujur tubuh yang tertampak di hadapannya. Sebuah pembaringan yang tampak sunyi menampung seorang tua yang tengah lelap begitu antap. Rodiya menyadari cara tidur ayahnya lain dari biasanya. Tak pernah dijumpainya Warsa tidur berselimut di siang hari. Ia juga tak pernah melihat ayahnya memiliki selimut berwarna putih polos.

Berangsur-angsur Rodiya mendekat. Ditamatinya wajah ayahnya yang amat lengang. Sayang jika tidur yang sedemikian lelap itu dibangunkan, pikirnya.

”Bapak, bangun, Bapak...” Rodiya menggoncangkan tubuh itu, ”Lohor sudah lewat!”

Tapi Mbah Warsa tak bergerak sedikitpun, meski berulang kali digoncang-goncang tangan Rodiya.

***

Anak-anak dan para menantu berkelimun di kamar Mbah Warsa. Diamatinya wajah lelaki tua yang tampak seolah tak berhenti tersenyum itu.

”Subhanallah...” seru Salim, ”Ayah tidur dengan cantik.” Selebihnya ia mengucapkan kalimat tarjik berulang.

Rodiya menerbitkan butir-butir bening dari kedua sudut matanya. Rasanya bukan tangis kesedihan ketika itu. Kecuali rasa haru yang berlebihan. Barangkali di antara mereka terkesima pada hadirnya kematian yang begitu istimewa. Kematian yang dijemput dan dipersiapkan dengan indah. Kematian yang datang dengan kelembutan dan keanggunan. Kini mereka bersiap menerima kedatangan para sanak famili, kerabat maupun tetangga yang sebentar lagi berduyun-duyun melayat.

Semarang, 2009
(Kedaulatan Rakyat 25 September 2011)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment