Friday, September 30, 2011

Cerita-cerita dari Kampung Seberang

0
Cerpen Musyafak

IMING-iming itu memang menggoda dan memanjakan angan. Jalan cadas nan terjal akan dilapis aspal. Takkan lagi lobang-lobang jalan beranakpinak dan didiami tahi sapi hingga membusuk. Orang-orang Kampung Sendang takkan malas pelesiran sebab jalan jadi mulus dan tidak becek. Sebagian mereka mengimpikan pekerjaan tetap yang menjanjikan upah rutin perbulan jika bisa menjadi buruh di pabrik itu. Upah yang dikira lebih menjamin penghidupan ketimbang bercocoktanam yang mulai kurang menguntungkan. Sebagian lainnya berangan membuka kios di Pasar Wedanan bermodal uang ganti untung dari pembebasan lahannya.

Mulanya, mereka pikir mustahil gunung kehabisan air. Mata air bakal terus mencuarkan air dari dalam bumi. Ketika pabrik semen itu meluas dan penambangan makin menerobos ke ceruk tanah, pohon-pohon ditumbangkan lebih banyak. Ketika gunung mulai botak-botak, bahkan hingga plontos, mereka mulai butuh mesin pendingin udara, hingga mereka sibuk memilih mesin baling-baling di toko-toko elektronik di pusat kota. Air berangsur-angsur menyusut. Di musim kemarau, saluran air sendang biasa mampat beberapa jam saja di siang hari. Keperluan mandi, mencuci, dan memasak masih bisa diatasi. Perlahan, dari tahun ke tahun, saluran air lumrah mampat selama setengah hari hingga mereka kelabakan ketika mau mandi. Air hanya cukup untuk istri-istrinya mengurus dapur. Lalu pipa-pipa besi dijulurkan dari pusat kota, menembus ke jantung-jantung rumah. Mereka harus ajeg perbulan membayar air kepada parusahaan negara yang menyalurkan air itu.
Kini mereka insyaf. Mereka telah banyak kehilangan. Kehilangan cerita-cerita yang menurun dan memanjang dari silsilah nenek moyang. Kehilangan cerita-cerita masa depan yang sempat tersusun di angan-angan, cerita-cerita yang mengelok menjadi simpangan yang menyesatkan.

Bidadari Sendang Widodaren

Telinga kita kerap diselusupi dongeng tentang bidadari yang tiap malam mandi di Sendang Widodaren. Sendang di sudut dusun yang tepinya adalah susunan batu yang bertebing-tebing. Kita selalu menunggu sepi ketika mau mandi agar bisa berenang seenaknya hingga sendang jadi keruh tak keruan.

Konon ayah yang paling sering menjumpai bidadari itu. Sebab ayah memang sengaja mengintip bidadari itu. Lantas ayah menceritakan pada banyak orang ketika selesai salat jamaah di surau kalau semalam ia melihat bidadari itu mandi telanjang di sendang. Jika ayah mengatakan wajah bidadari itu sangat cantik, pastilah ia bohong. Ia tak pernah melihat muka bidadari itu karena selalu mengintipnya dari belakang. Matanya hanya mampu menampak tengkuk bidadari itu landai dan bersih. Tubuhnya yang kuning langsat itu gemulai dan sintal. Aduhai pinggul bidadari itu, kata ayah, cukup lebar. Serasi dengan bentuk pinggangnya yang membentuk kelokan tajam ke bagian atas tubuhnya. Ayah paling suka ketika bidadari itu duduk di tubir sendang, saat bidadari itu memeras rambutnya hingga bercuruan air dari ujung rambutnya yang dipelintir. Lalu dikibas-kibaskannya rambutnya yang basah. Gerakannya seperti belarak kelapa dibelai angin selepas hujan.

Berulangkali ibumu, ibuku pula, tak segan-segan menyergah ayah ketika mendengar cerita itu. “Ah! Dasar tukang ngibul!” katanya, serta bersungut-sungut. Sementara ibuku, ibumu pula, hanya tersenyum-senyum seraya mengguncang-guncangkan kepalanya.

Bukit Londo

Dor! Dor! Dor! Bum! Bum! Drudududududududuududud! Druuuuud! Debum! Mampus kau! Mampus! Pergi dari tanah kami! Belanda, pergi kau!

Masih bisakah kau teriakkan kata-kata itu? Ah, pun bibirku sendiri sudah kaku. Telah lama kita tak main tembak-tembakan di Bukit Londo. Bukit yang berjeda 2000-an kaki dari rumah kita. Bukit yang dulu menjadi tempat kakekmoyang kita bertempur habis-habisan untuk mempertahankan dusun dari perebutan paksa tentara Belanda.

Kita musti menyisir dari sisi kiri Sendang Widodaren, menelusuri jalan setapak dan menanjak. Pokok-pokok besar yang rindang melindungi kita dari sengat matahari. Kita terus berjalan dengan pundak menyongsong senapan mainan dari pelepah pisang. Terselip juga bedil kecil dari kayu di ikat pinggang kita. Anak-anak sepantaran kita mengiring dari belakang. Sesampai di bukit kita terbagi menjadi dua kelompok. Selalu, aku dan kau mengepalai kelompok. Karenanya kita musti berhadapan untuk suit jari. Jika kau kalah, kelompokmu jadi tentara Belanda dan kusebut kompeni, yang berperan sebagai penjahat karena berusaha menjajah orang pribumi. Aku yang menang serta-merta menyulap kelompokku sebagai orang pribumi yang harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanahnya, negerinya. Kau lebih kerap menjadi kompeni hingga menggerutu, sebab rasanya lebih bangga menjadi tentara pribumi yang ketika mati akan dikatakan syahid atau pahlawan yang konon berhak masuk surga.

Sedikit banyak kita telah memanipulasi cara peperangan. Mustinya orang pribumi memakai bambu runcing, tombak, atau gobang, tapi kita sepakat dua belah pihak tetap memakai tembak, senapan, dan bedil. Kita menyusun strategi sendiri-sendiri untuk memenangkan perang. Lalu kita mengacungkan senapan seraya mulut-mulut kita tidak henti mencuarkan suara-suara yang kita reka persis desing dan deru senapan, bedil, atau tembak. Sesekali kulemparkan bulatan tanah merah: Bum! Anak buahmu menggelepar, kejang-kejang, lalu mati—tapi beberapa saat hidup lagi dan ikut perang kembali. Begitu juga anak buahku ketika terkena peluru atau granatmu.

Setelah memenangkan perang aku berserta kelompokku dengan lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya, beriringan dengan lagu Maju Tak Gentar, seraya membusungkan dada tinggi-tinggi. Setelahnya kita kembali menjadi anak-anak dusun yang rukun. Meninggalkan Bukit Londo, menuruni jalan setapak seraya menyanyikan lagu-lagu patriotik itu. Aku, kau, juga teman-teman lain merasakan kesenangan, kepuasan, dan kebanggaan yang tak terkira-kira di sela-sela hari sekolah itu.

Satu Lelaki Dua Perempuan

Barangkali, kau masih benci cerita yang satu ini. Tentang rumah yang pernah kau bilang sebagai neraka. Ada satu lelaki baya dan dua perempuan yang usianya berselisih beberapa tahun. Awalnya, lelaki itu hanyalah suami ibumu. Sejak seorang perempuan muda yang lima tahunan lebih muda dari ibumu dibawa pulang ke rumah, lelaki itu menjadi suami ibuku pula.

Kita lahir dalam tempo yang cukup dekat. Kau mendahuluiku satu bulan, dan sejak mula kupanggil kau kakak, pun kau menganggapku adik. Sejak bocah, di mataku kau adalah seorang pemberani. Kau yang membuatku merasa aman. Kau selalu membelaku, bahkan menuntut balas ketika ada seseorang menjahiliku. Tapi kadang pembelaanmu tidak jernih dan emosional, kau tidak peduli bahwa sesekali aku yang salah telah lebih dulu mericuhi bocah lain.

Beranjak remaja, kau mulai tidak menyenangi rumah. Ya, ketika itulah kau mulai memaknai hidup, memaknai nasib yang kau bilang sebagai kegetiran, selain kebohongan manusia-manusia dewasa yang cabul. Seorang lelaki baya yang mulanya kau panggil ayah, tapi lantas kau anggap ia lelaki cabul belaka. Kau pikir, mustinya, ayah tidak pernah mengawini ibuku, apalagi mengajaknya tinggal serumah dengan ibumu.

Sebagai istri muda, kau kira ibuku lebih banyak menerima perhatian dan kasih sayang ayah. Sementara ibumu tersiakan. Beberapa kali kau memergoki ibumu menagis di kamar, lantas kau sangka ayah tidak pernah membahagiakan ibumu. Itulah alasanmu membenci ayah dan tak pernah lagi memanggilnya dengan kata ayah, melainkan hanya menyeru namanya: Darna. Pun ibuku juga kau panggil namanya belaka.

“Bagaimana bisa aku memiliki dua ibu? Mustahil!” katamu membentak ayah.

Tapi aku tak berubah, tetap memanggil Ibu pada ibumu. Anehnya, kau tetap berlaku baik padaku, sebagaimana mulanya seorang kakak yang tak kurang kasih sayang dan penjagaan.

Aku selalu mencoba memahamimu. Hingga aku sering menurutkanmu menggelandang pergi dari rumah. Pada akhirnya kita putuskan pergi ke luar kota yang jauh dari rumah. Merantau sekaligus merancang cita-cita melanjutkan sekolah. Dengan ijazah SMA kita nekat kuliah di sebuah perguruan tinggi. Pada akhirnya kita terlampau rutin hidup di jalanan hingga terbiasa oleh asuhah sentimentalia-sentimentalia yang agresif.

Gadis Sendang

Masa dewasa yang matang adalah masa kita termakan sumpah. Pernah kita ucapkan takkan kawin dengan gadis dusun. Kita bertahan hidup di kota saja, katamu. Kujawab, Ya! Dusun akan membuat akal kita terkurung. Tapi kita pulang sementara waktu, paling tidak untuk menunjukkan ijazah sarjana pada ibu. Kau tak membagi sedikitpun kebahagiaan itu pada ayah, juga pada ibuku. Meski begitu ayah dan ibuku bilang sangat bahagia memiliki dua putra yang gigih dan bisa berdiri di kaki sendiri.

“Aku kangen sekali sama sendang.”

“Baiklah kita ke sana.”

Kita agak kecewa sebab sendang tak seindah dulu. Air sendang tak lagi penuh. Kita sangat terkejut ketika di Bukit Landa telah berdiri pabrik besar. Pabrik semen yang mengeruk tanah sampai ke kecuramannya. Eksplorasi industri itu membuat kawasan hutan tidak lagi begitu rindang. Konon, binatang buas beberapa kali turun ke pemukiman dan memangsa hewan ternak.

Hari berikutnya kita memaksakan diri untuk menikmati sendang. Mata kita menaut seorang gadis tengah mandi dengan berpinjung jarik. Kita yang mengerti malu lantas sepakat menunggu gadis itu di jalan masuk sendang saja. Lalu kita temu gadis periang dengan pipi cembung seolah belahan apel itu. Matanya lebar, tapi amat beningnya. Hidungnya sedang, dan menjorok agak runcing ke depan. Kau memaksanya berkenalan hingga kita tahu namanya: Rosida.

Sejak itu kita mulai memiliki rahasia. Diam-diam kau bergerilya untuk mendekati gadis itu. Kau mulai merayunya. Kau main surat. Belakangan, kau tahu aku melakukan hal serupa padanya. Ketika berhadapan, kita saling diam. Tapi di belakang layar, kita mencoba saling mengalahkan untuk mendapatkan gadis itu. Hingga kita benar-benar berseteru. Akhirnya kau anggap dirimu kalah ketika Rosida secara terang-terangan memilihku. Aku tahu kau begitu sakit hati.

“Jangan pernah berlaku cabul seperti ayah! Kau musti hanya memiliki Rosida dan membahagiakannya!” katamu suatu malam.

Kurasa itu pernyataan yang sangat jantan dan membuatku menaruh hormat lebih tinggi padamu. Tapi pagi harinya tak kutemukan kau. Kau pergi tanpa pamit dan tak kembali sampai kini. Mungkinkah aku adalah saudara muda yang terlalu tak tahu diri, sementara kau sengaja mengalah hingga mengasingkan diri begitu jauh. Sejauh jarak yang tak pernah bisa kutemui.

AKU yakin, kau tak pernah melupakannya. Meski enggan mengingat-ingatnya.

Tahukah kau? Dua perempuan yang ketika kau kecil semuanya kau anggap ibu kini telah baya. Rambutnya putih abu-abu. Gadis sendang yang membuatmu pergi dari rumah tanpa pesan kini telah mengkurniakan padaku seorang putri cantik. Ia sudah bisa berjalan, bahkan berlari. Kuceritakan padanya bahwa ia memiliki seorang paman yang baik hati. Sedang ayah menjadi makin perkasa. Aku yakin, suatu saat kau akan membanggakannya—daripada mengata-ngatainya sebagai lelaki cabul.

Ialah lelaki tua yang kini mati-matian berkehendak menutup pabrik semen itu. Ia selalu berada di belakangku, tepatnya bersamaku, bersama oang-orang dusun yang hidupnya terancam, melakukan protes di depan pabrik dan pemerintah.

Udara di kampung sudah kelewat gerah. Pohon-pohon nyaris habis oleh eksplorasi lahan industri, sebagiannya meranggas dan mati kering di tempatnya berdiri. Air gunung habis. Tinggal setetes-setetes yang kiranya hanya cukup untuk cebok anak-anak kecil. Tanah dusun telah lebih banyak menjadi lahan eksplorasi pabrik. Malah rencananya warga direlokasi ke lain pemukiman.

Barangkali cerita-cerita tentang sendang akan benar-benar hilang. Kini, kisah bidadari mandi telanjang di Sendang Widodaren tak lagi menelusup ke telinga anak-anak. Mereka tak mengenal sendang, kecuali cerukan tanah berisi rongsokan bebatuan. Tak ada lagi area jembar di tepi hutan yang bisa digunakan anak-anak main perang-perangan atau bola tendang. Anak-anak sekarang kerap lari ke kota untuk memesrai permainan mesin. Permainan yang menjebak mereka untuk menguras kantong orangtuanya, lantas direcehkan menjadi pecahan koin untuk dimasukkan ke mulut-mulut mesin yang rakus itu.

Kudengar cerita dari orang dusun sebelah yang pulang dari merantau di pulau seberang, bahwa kau telah menjadi orang besar di kota itu. Kukira kini kau punya kuasa untuk membuat sesuatu menjadi lebih mungkin.

Kuceritakan beberapa kisah itu sebagai pengingat untukmu. Barangkali cerita-cerita itu bisa menemukanmu, dan membisikimu tentang harapanku agar kau kembali ke Kampung Sendang, meski hanya sementara waktu. Barangkali kau bisa membuat barisanku tambah rapat dan kuat. Demi Kampung Sendang tetap ada. Demi semua cerita-cerita masa lalu, juga kisah-kisah manis masa depan, tak dilintang-pukang zaman.

Oktober 2010
(Lelaki yang Dibeli, Obsesipress 2011)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment