Cerpen Musyafak
Sarah mengira Morat telah mati ketika menemukannya tergeletak bersimbah darah di bengkel. Tapi lelaki itu kini tersenyum-senyum di hadapannya. Tampak seperti menertawakan dan mengejek sesuatu. Morat mengamat-amati jari-jari tangannya yang dibalut perban. Ia sempat tertawa dalam tempo yang sangat cepat. Sementara Sarah miris membayangkan Morat tanpa kuku-kuku di jari-jari tangannya—lebih miris membayangkan bagaimana Morat mencabuti kuku-kukunya sendiri dengan tang. Sepuluhnya sudah terpindah ke jari-jari boneka yang tengah dibuat Morat. Boneka berambut ikal dan panjang yang mulanya dipindahkan dari kepala Morat pula.
“Syukurlah kau masih hidup!”
“Kenapa kau bilang begitu, Sarah?”
“Kukira, kemarin kau telah mencoba bunuh diri?”
“Bunuh diri?” Morat tertawa, tapi suaranya masih lemah. “Tidak! Aku bukan nihilis. Sama sekali aku tidak pernah berpikir konyol dan sia-sia macam itu.”
Sarah tersenyum melihat Morat. Tapi dalam hatinya masih bersisa resah tentang keganjilan yang dilakukan Morat. Ia berspekulasi dengan kemungkinan buruk, bahwa Morat tengah mengalami gangguan psikis. Barangkali pedalaman dirinya sedang gentar.
“Ini hanya langkah awal dari gagasan kreatifku, Sarah. Kelak bonekaku menjadi masterpiece dan tercatat sebagai sejarah langka di jagat kesenian,” Morat tersenyum, serta merasa menang.
Sarah mengangkat alisnya, beriring keningnya yang kemerut. Tiba-tiba ia ingin meludah.
“Hah, Morat, Morat! Ingat, ini Indonesia! Orang-orang tidak akan tertarik dengan karya-karyamu yang absurd itu. Selera masyarakat kita lain dengan standar estetikamu yang sukar dipahami itu. Malah mereka akan takut melihat tampakan-tampakan bonekamu yang seram dan gelap.”
Morat menggeleng-gelengkan kepala seraya meringkik kecil. “Ini karya seni tingkat dunia, Sayang. Lihatlah, kelak itu akan menjadi karya yang orisinalitasnya melampaui karya-karya yang pernah ada.”
“Ya! Ya! Tapi dunia ini lebih nyata ketimbang imajinasimu. Lebih baik kau cari kerja saja!”
Senja telah lolos dari sebalik kaca jendela di sisi barat kamar klinik. Sarah pamit pergi bekerja. Hari ini jatahnya shift malam. Sepanjang perjalanan, tempurung kepala Sarah disesaki bayangan Morat. Masih saja berayun-ayun kekhawatiran di pikirannya. Ia waswas, sekali-kali obsesi Morat pada penciptaan boneka akan menimbulkan gangguan psikisnya lebih kacau. Ia khawatir Morat tidak bisa lagi membedakan antara obsesi dan kenyataannya.
Coba ditepis-tepiskan bayangan Morat dari kepalanya. Kini Sarah bersiap di meja bartender. Bar besar tempatnya bekerja itulah yang memberinya upah lumayan besar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan Morat. Sebenarnya gajinya bisa ditabung untuk masa depannya. Tapi Morat yang tidak bekerja dan waktunya dihabiskan di bengkel untuk membuat patung dan boneka justru menjadi tanggungannya. Sebab lelaki itu jarang tidur, maka jatah gula dan kopi, dan yang paling banyak adalah rokok, makin menelan uang belanja hingga begitu bengkak.
Sarah berharap Morat bisa menginsyafi keadaan. Ia sangat ingin lelaki itu bekerja. Apa sajalah, yang penting bisa menambah penghasilan agar rencana memiliki anak lekas terselenggara. Morat telah berkali-kali menolak, bahkan membatalkan, rencana punya anak dengan alasan ia belum berpenghasilan. Patung-patung dan boneka buatannya belum dilirik penikmat seni rupa hingga hanya memenuhi bengkelnya. Morat berdalih pula, belum saatnya punya anak sebab keberadaan dirinya belum patut dibanggakan sebagai seorang ayah. Barangkali ia ingin terkenal dulu melalui karya-karyanya yang bernilai jual tinggi hingga merasa patut untuk dibanggakan, baik sebagai seorang seniman, suami, maupun ayah.
Ah, Morat!—Sarah menggelengkan kepala.
***
Sarah mendatangkan seorang psikiater cukup ternama dari sebuah panti rehabilitasi. Psikiater itu mengatakan jiwa Morat terganggu oleh obsesinya yang berlebihan. Tak ada cara menghentikan obsesi Morat, kecuali menghentikan imajinasinya pula. Morat perlu dijauhkan dari patung-patung dan boneka-boneka buatannya. Dipingit dari bengkelnya.
Sarah menurut saran psikiater itu. Hari berikutnya ia mengisolasi Morat di dalam kamar. Segala hidup Morat dikendalikan, waktu makannya diatur, dijadwal juga kapan Morat keluar rumah untuk menghirup udara segar. Putusan itu dibayar Sarah cukup mahal dengan cuti selama berhari-hari guna mengontrol keadaan Morat.
Seminggu sudah bengkel boneka itu mati. Pintunya terkunci gembok besar.
Sekarang Morat pendiam. Tampak sekali ia tidak memiliki gairah. Belakangan Sarah insyaf perbuatannya justru membuat Morat depresi. Ia menyadari hidup Morat tidak bisa dipisahkan dari kesenangannya, boneka dan boneka. Itu sama halnya menceraikan Morat dari dirinya—diri yang seniman, diri yang merdeka, diri yang lepas dari kekangan. Maka Sarah mengajaknya kembali ke bengkel. Morat berseri-seri ketika merasakan udara kebebasan, udara yang melengkapkan keberadaannya, udara yang tidak membatasi kehendaknya.
“Sayang… Kau boleh di sini lagi. Tapi kau hanya boleh membuat patung atau boneka. Bukan berbuat konyol menyakiti tubuhmu.”
Morat mengangguk. Namun ia tidak begitu sadar atas anggukannya. Sarah agak heran mendapati Morat begitu penurut. Perempuan itu tersenyum bahagia ketika Morat menyambut uluran jari kelingkingnya sehingga kedua jari mungil saling bertaut.
“Janji, Sayang…” kata Morat.
Morat kembali merasakan hidup yang sebenarnya di bengkel. Namun Sarah masih hendak mengawasinya dengan rutin meneleponnya saat bekerja. Karenanya Morat musti banyak mengendalikan diri, dan membatasi imajinasinya sendiri. Suatu tuntutan yang menyakiti dirinya.
Mungkin bukan kesalahan Sarah tidak menyingkirkan satu boneka yang pernah merenggut kuku-kuku dan rambut Morat. Suatu pagi, ketika Morat memasuki bengkelnya, ia terkejut ada suara menyeru-nyeru namanya. Diturut-turutkannya suara itu, hingga didapatinya suara itu berasal dari sebuah boneka. Boneka yang di jari-jari tangannya tertempel kuku Morat. Sekian waktu Morat masih tidak percaya boneka itu bisa berbicara.
“Morat, ayo selesaikan aku! Aku sangat tersiksa karena kau hanya membuatku separuh jadi seperti ini. Ayo, Morat…! Aku adalah obsesi besarmu yang harus kau wujudkan sempurna. Aku karya besarmu! Mengapa kau diam saja, Morat?”
Morat bergegas menyentuh boneka itu. Seolah ada getaran nyata pada boneka itu. Morat masih saja menimbang-nimbang kesadarannya, barangkali ia tertipu oleh halusinasi. Sementara boneka itu terus merajuk pada Morat. Hingga boneka itu memenangkan kesadaran Morat.
“Baiknya kau memberiku sebuah nama!” pinta boneka itu.
Morat mengernyitkan kening. “Kau kan cuma boneka, mengapa menginginkan nama?”
Boneka itu tertawa ringan. Morat menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum.
“Nama adalah sebuah penandaan yang mendukung eksistensi. Tentunya kau hanya akan menjadi obyek umum dan kabur jika tanpa nama. Nama ‘Morat’ yang kau sandang telah mereposisi keberadaanmu menjadi subyek yang otentik. Barangkali demikian pencapaian eksistensial paling rendah,” kata boneka.
Sejenak Morat berpikir. Seraya ia menyepakati alasan boneka itu, pikiran Morat mencari-cari nama untuk boneka itu.
“Bagaimana jika kunamai kau ‘Marit’?”
“Morat… Marit… Ya ya ya, nama yang berpasangan. Dan sejak saat ini eksistensi kita saling bergantungan. Kau ada aku ada, aku nihil kau nihil. Bukan begitu?” kata boneka itu.
Morat mencerna kata-kata Marit: kau ada aku ada, aku nihil kau nihil. Diraba-rabanya pikirannya sehingga ia mengelak. Bukankah aku individu yang mandiri? Bukankah aku telah Ada sejak awal? Bukankah aku yang meng-Ada-kan kehadiran Marit? Bukankah Morat akan tetap Ada andaipun Marit nihil?
“Mengapa pertanyaanku tak kau jawab, Morat? Baiklah, boleh saja saat ini kau menampiknya. Tapi, kujamin kelak kau mengakuinya!” Marit tertawa mengolok-oloknya.
***
Harusnya malam ini Sarah berada di rumah. Tapi ia mendapat jatah lembur dadakan. Teman kerja yang shift setelahnya terserang migran dan demam sehingga tidak bisa datang. Baginya, malam ini adalah waktu yang kurang tepat untuk lembur. Tidak lain karena ia tidak bisa mengawasi Morat sejak pagi hingga larut malam nanti. Sebab itulah perasaannya waswas. Apalagi dua hari terakhir ia mendapati Morat menampakkan keanehan. Keanehan yang didengarnya melalui igauan. Morat menyebut-nyebut nama yang nyaris persis dengan namanya sendiri. Nama yang dikata-katakan Morat sebagai monumen terbesar abad ini. Sarah mengira Morat sebenarnya menyebut namanya sendiri. Kiranya gangguan dalam dirinya membuatnya salah melafalkan namanya.
Morat belum bergeser sedikitpun dari bengkel sejak pagi tadi. Ia telah masuk begitu ceruk ke dalam kekacauan pikirannya. Sebuah dorongan ambisius yang sulit dikendalikannya datang berangsur-angsur dan bertubi-tubi. Marit tidak henti-henti membisikinya sesuatu yang harus diwujudkan.
“Cepatlah, Morat! Waktumu tidak panjang. Sementara dunia di luar sana terus berkembang. Jika aku tidak lekas kau selesaikan, kau hanya akan terberkati penyesalan tak kepalang. Barangkali banyak orang akan mendahuluimu menciptakan karya besar sepertiku.”
Morat masih saja menabrak kebuntuan pikirannya. Serupa dinding tebal lagi kebal hingga sulit tertembus. Ia mengalami keputusasaan yang seolah tidak tertolong ketika lorong kesadarannya tak lagi bisa diperhitungkan. Sejenis keinginan yang begitu entah masih menguasainya. Hasrat yang mengombangambingkannya di pendulum kebimbangan.
“Bagaimana aku memulainya, Marit?”
“Bukan saatnya lagi untuk memulai, Morat. Tapi melanjutkan!”
Selanjutnya adalah momentum pertaruhan, ketika Morat lelah bercakap dengan Marit. Lantaran kesadaran kecil berupa keengganan didikte Marit lebih banyak, Morat memutuskan melalui pertimbangannya yang cukup kabur. Baginya, masalahnya kini bukan lagi soal mengawali atau melanjutkan. Melainkan mengakhiri!
Morat menghitung-hitung bagian apa dari dirinya yang bisa menyempurnakan Marit. Ia meneruskan kesadaran idenya menjadi kesadaran tubuh. Menurutnya yang musti ditampakkan oleh patung bagi orang-orang yang kelak memandangnya adalah realitas visual. Tentu, seperti dirancang Morat, visualisasi Marit harus benar-benar beda dari kebanyakan produksi kesenian yang klise dan kisthc.
Lalu waktu menjelma sebagai kecepatan yang tidak bisa ditahan dan dihitung ulang. Kerumitan menjadi sebuah lintasan sederhana nan cepat seperti kilat yang melesat. Ketika Morat tidak bisa mejelaskan apa yang baru saja dilakukannya sehingga perih membuatnya mengeram menahan teriakannya sendiri. Saat itulah ia menghadapi bola matanya tergeletak di telapak tangannya. Kepalanya sebelah kiri terasa sangat berat oleh tumbukan rasa nyeri yang bertubi-tubi. Kini mata sebelah kanannya tidak bisa terbuka dengan leluasa. Dari pandangannya yang menciut Morat melihat senyum Marit mengembang. Berkali-kali.
“Benar sekali apa yang kau lakukan, Morat!” kata Marit.
***
Malam begitu larut hingga menyusut. Kepulangan Sarah menjadi kecolongan yang begitu telak!
Morat menggelepar dengan tubuh yang sesekali mengejang. Terasa ada eraman berat di dalam tubuh itu. Sementara darah melumuri sebagian wajah, leher, juga baju Morat. Sarah mencari-cari sumber lelehan darah itu dengan penuh rasa gugup. Degup di dadanya seolah mau meledak ketika didapatinya darah itu berujung pada kelopak mata kiri Morat yang terkatup rapat. Katupan yang dirasanya ganjil tanpa bukit kecil yang lazimnya mencuat. Kebingungan Sarah mencapai puncak sehingga ia tidak lagi terpusat pada Morat. Ia menggerakkan pandangannya mengelilingi ruangan bengkel itu. Tiba-tiba gerakan kerongkongannya begitu pejal ketika dilihatnya sebuah mata mendelik di suatu bagian kepala boneka.
Sarah tidak kuat bertatapan dengan mata boneka itu!
Agustus-September 2010
(Tatapan Mata Boneka, TBJT 2011)
Sarah mengira Morat telah mati ketika menemukannya tergeletak bersimbah darah di bengkel. Tapi lelaki itu kini tersenyum-senyum di hadapannya. Tampak seperti menertawakan dan mengejek sesuatu. Morat mengamat-amati jari-jari tangannya yang dibalut perban. Ia sempat tertawa dalam tempo yang sangat cepat. Sementara Sarah miris membayangkan Morat tanpa kuku-kuku di jari-jari tangannya—lebih miris membayangkan bagaimana Morat mencabuti kuku-kukunya sendiri dengan tang. Sepuluhnya sudah terpindah ke jari-jari boneka yang tengah dibuat Morat. Boneka berambut ikal dan panjang yang mulanya dipindahkan dari kepala Morat pula.
“Syukurlah kau masih hidup!”
“Kenapa kau bilang begitu, Sarah?”
“Kukira, kemarin kau telah mencoba bunuh diri?”
“Bunuh diri?” Morat tertawa, tapi suaranya masih lemah. “Tidak! Aku bukan nihilis. Sama sekali aku tidak pernah berpikir konyol dan sia-sia macam itu.”
Sarah tersenyum melihat Morat. Tapi dalam hatinya masih bersisa resah tentang keganjilan yang dilakukan Morat. Ia berspekulasi dengan kemungkinan buruk, bahwa Morat tengah mengalami gangguan psikis. Barangkali pedalaman dirinya sedang gentar.
“Ini hanya langkah awal dari gagasan kreatifku, Sarah. Kelak bonekaku menjadi masterpiece dan tercatat sebagai sejarah langka di jagat kesenian,” Morat tersenyum, serta merasa menang.
Sarah mengangkat alisnya, beriring keningnya yang kemerut. Tiba-tiba ia ingin meludah.
“Hah, Morat, Morat! Ingat, ini Indonesia! Orang-orang tidak akan tertarik dengan karya-karyamu yang absurd itu. Selera masyarakat kita lain dengan standar estetikamu yang sukar dipahami itu. Malah mereka akan takut melihat tampakan-tampakan bonekamu yang seram dan gelap.”
Morat menggeleng-gelengkan kepala seraya meringkik kecil. “Ini karya seni tingkat dunia, Sayang. Lihatlah, kelak itu akan menjadi karya yang orisinalitasnya melampaui karya-karya yang pernah ada.”
“Ya! Ya! Tapi dunia ini lebih nyata ketimbang imajinasimu. Lebih baik kau cari kerja saja!”
Senja telah lolos dari sebalik kaca jendela di sisi barat kamar klinik. Sarah pamit pergi bekerja. Hari ini jatahnya shift malam. Sepanjang perjalanan, tempurung kepala Sarah disesaki bayangan Morat. Masih saja berayun-ayun kekhawatiran di pikirannya. Ia waswas, sekali-kali obsesi Morat pada penciptaan boneka akan menimbulkan gangguan psikisnya lebih kacau. Ia khawatir Morat tidak bisa lagi membedakan antara obsesi dan kenyataannya.
Coba ditepis-tepiskan bayangan Morat dari kepalanya. Kini Sarah bersiap di meja bartender. Bar besar tempatnya bekerja itulah yang memberinya upah lumayan besar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan Morat. Sebenarnya gajinya bisa ditabung untuk masa depannya. Tapi Morat yang tidak bekerja dan waktunya dihabiskan di bengkel untuk membuat patung dan boneka justru menjadi tanggungannya. Sebab lelaki itu jarang tidur, maka jatah gula dan kopi, dan yang paling banyak adalah rokok, makin menelan uang belanja hingga begitu bengkak.
Sarah berharap Morat bisa menginsyafi keadaan. Ia sangat ingin lelaki itu bekerja. Apa sajalah, yang penting bisa menambah penghasilan agar rencana memiliki anak lekas terselenggara. Morat telah berkali-kali menolak, bahkan membatalkan, rencana punya anak dengan alasan ia belum berpenghasilan. Patung-patung dan boneka buatannya belum dilirik penikmat seni rupa hingga hanya memenuhi bengkelnya. Morat berdalih pula, belum saatnya punya anak sebab keberadaan dirinya belum patut dibanggakan sebagai seorang ayah. Barangkali ia ingin terkenal dulu melalui karya-karyanya yang bernilai jual tinggi hingga merasa patut untuk dibanggakan, baik sebagai seorang seniman, suami, maupun ayah.
Ah, Morat!—Sarah menggelengkan kepala.
***
Sarah mendatangkan seorang psikiater cukup ternama dari sebuah panti rehabilitasi. Psikiater itu mengatakan jiwa Morat terganggu oleh obsesinya yang berlebihan. Tak ada cara menghentikan obsesi Morat, kecuali menghentikan imajinasinya pula. Morat perlu dijauhkan dari patung-patung dan boneka-boneka buatannya. Dipingit dari bengkelnya.
Sarah menurut saran psikiater itu. Hari berikutnya ia mengisolasi Morat di dalam kamar. Segala hidup Morat dikendalikan, waktu makannya diatur, dijadwal juga kapan Morat keluar rumah untuk menghirup udara segar. Putusan itu dibayar Sarah cukup mahal dengan cuti selama berhari-hari guna mengontrol keadaan Morat.
Seminggu sudah bengkel boneka itu mati. Pintunya terkunci gembok besar.
Sekarang Morat pendiam. Tampak sekali ia tidak memiliki gairah. Belakangan Sarah insyaf perbuatannya justru membuat Morat depresi. Ia menyadari hidup Morat tidak bisa dipisahkan dari kesenangannya, boneka dan boneka. Itu sama halnya menceraikan Morat dari dirinya—diri yang seniman, diri yang merdeka, diri yang lepas dari kekangan. Maka Sarah mengajaknya kembali ke bengkel. Morat berseri-seri ketika merasakan udara kebebasan, udara yang melengkapkan keberadaannya, udara yang tidak membatasi kehendaknya.
“Sayang… Kau boleh di sini lagi. Tapi kau hanya boleh membuat patung atau boneka. Bukan berbuat konyol menyakiti tubuhmu.”
Morat mengangguk. Namun ia tidak begitu sadar atas anggukannya. Sarah agak heran mendapati Morat begitu penurut. Perempuan itu tersenyum bahagia ketika Morat menyambut uluran jari kelingkingnya sehingga kedua jari mungil saling bertaut.
“Janji, Sayang…” kata Morat.
Morat kembali merasakan hidup yang sebenarnya di bengkel. Namun Sarah masih hendak mengawasinya dengan rutin meneleponnya saat bekerja. Karenanya Morat musti banyak mengendalikan diri, dan membatasi imajinasinya sendiri. Suatu tuntutan yang menyakiti dirinya.
Mungkin bukan kesalahan Sarah tidak menyingkirkan satu boneka yang pernah merenggut kuku-kuku dan rambut Morat. Suatu pagi, ketika Morat memasuki bengkelnya, ia terkejut ada suara menyeru-nyeru namanya. Diturut-turutkannya suara itu, hingga didapatinya suara itu berasal dari sebuah boneka. Boneka yang di jari-jari tangannya tertempel kuku Morat. Sekian waktu Morat masih tidak percaya boneka itu bisa berbicara.
“Morat, ayo selesaikan aku! Aku sangat tersiksa karena kau hanya membuatku separuh jadi seperti ini. Ayo, Morat…! Aku adalah obsesi besarmu yang harus kau wujudkan sempurna. Aku karya besarmu! Mengapa kau diam saja, Morat?”
Morat bergegas menyentuh boneka itu. Seolah ada getaran nyata pada boneka itu. Morat masih saja menimbang-nimbang kesadarannya, barangkali ia tertipu oleh halusinasi. Sementara boneka itu terus merajuk pada Morat. Hingga boneka itu memenangkan kesadaran Morat.
“Baiknya kau memberiku sebuah nama!” pinta boneka itu.
Morat mengernyitkan kening. “Kau kan cuma boneka, mengapa menginginkan nama?”
Boneka itu tertawa ringan. Morat menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum.
“Nama adalah sebuah penandaan yang mendukung eksistensi. Tentunya kau hanya akan menjadi obyek umum dan kabur jika tanpa nama. Nama ‘Morat’ yang kau sandang telah mereposisi keberadaanmu menjadi subyek yang otentik. Barangkali demikian pencapaian eksistensial paling rendah,” kata boneka.
Sejenak Morat berpikir. Seraya ia menyepakati alasan boneka itu, pikiran Morat mencari-cari nama untuk boneka itu.
“Bagaimana jika kunamai kau ‘Marit’?”
“Morat… Marit… Ya ya ya, nama yang berpasangan. Dan sejak saat ini eksistensi kita saling bergantungan. Kau ada aku ada, aku nihil kau nihil. Bukan begitu?” kata boneka itu.
Morat mencerna kata-kata Marit: kau ada aku ada, aku nihil kau nihil. Diraba-rabanya pikirannya sehingga ia mengelak. Bukankah aku individu yang mandiri? Bukankah aku telah Ada sejak awal? Bukankah aku yang meng-Ada-kan kehadiran Marit? Bukankah Morat akan tetap Ada andaipun Marit nihil?
“Mengapa pertanyaanku tak kau jawab, Morat? Baiklah, boleh saja saat ini kau menampiknya. Tapi, kujamin kelak kau mengakuinya!” Marit tertawa mengolok-oloknya.
***
Harusnya malam ini Sarah berada di rumah. Tapi ia mendapat jatah lembur dadakan. Teman kerja yang shift setelahnya terserang migran dan demam sehingga tidak bisa datang. Baginya, malam ini adalah waktu yang kurang tepat untuk lembur. Tidak lain karena ia tidak bisa mengawasi Morat sejak pagi hingga larut malam nanti. Sebab itulah perasaannya waswas. Apalagi dua hari terakhir ia mendapati Morat menampakkan keanehan. Keanehan yang didengarnya melalui igauan. Morat menyebut-nyebut nama yang nyaris persis dengan namanya sendiri. Nama yang dikata-katakan Morat sebagai monumen terbesar abad ini. Sarah mengira Morat sebenarnya menyebut namanya sendiri. Kiranya gangguan dalam dirinya membuatnya salah melafalkan namanya.
Morat belum bergeser sedikitpun dari bengkel sejak pagi tadi. Ia telah masuk begitu ceruk ke dalam kekacauan pikirannya. Sebuah dorongan ambisius yang sulit dikendalikannya datang berangsur-angsur dan bertubi-tubi. Marit tidak henti-henti membisikinya sesuatu yang harus diwujudkan.
“Cepatlah, Morat! Waktumu tidak panjang. Sementara dunia di luar sana terus berkembang. Jika aku tidak lekas kau selesaikan, kau hanya akan terberkati penyesalan tak kepalang. Barangkali banyak orang akan mendahuluimu menciptakan karya besar sepertiku.”
Morat masih saja menabrak kebuntuan pikirannya. Serupa dinding tebal lagi kebal hingga sulit tertembus. Ia mengalami keputusasaan yang seolah tidak tertolong ketika lorong kesadarannya tak lagi bisa diperhitungkan. Sejenis keinginan yang begitu entah masih menguasainya. Hasrat yang mengombangambingkannya di pendulum kebimbangan.
“Bagaimana aku memulainya, Marit?”
“Bukan saatnya lagi untuk memulai, Morat. Tapi melanjutkan!”
Selanjutnya adalah momentum pertaruhan, ketika Morat lelah bercakap dengan Marit. Lantaran kesadaran kecil berupa keengganan didikte Marit lebih banyak, Morat memutuskan melalui pertimbangannya yang cukup kabur. Baginya, masalahnya kini bukan lagi soal mengawali atau melanjutkan. Melainkan mengakhiri!
Morat menghitung-hitung bagian apa dari dirinya yang bisa menyempurnakan Marit. Ia meneruskan kesadaran idenya menjadi kesadaran tubuh. Menurutnya yang musti ditampakkan oleh patung bagi orang-orang yang kelak memandangnya adalah realitas visual. Tentu, seperti dirancang Morat, visualisasi Marit harus benar-benar beda dari kebanyakan produksi kesenian yang klise dan kisthc.
Lalu waktu menjelma sebagai kecepatan yang tidak bisa ditahan dan dihitung ulang. Kerumitan menjadi sebuah lintasan sederhana nan cepat seperti kilat yang melesat. Ketika Morat tidak bisa mejelaskan apa yang baru saja dilakukannya sehingga perih membuatnya mengeram menahan teriakannya sendiri. Saat itulah ia menghadapi bola matanya tergeletak di telapak tangannya. Kepalanya sebelah kiri terasa sangat berat oleh tumbukan rasa nyeri yang bertubi-tubi. Kini mata sebelah kanannya tidak bisa terbuka dengan leluasa. Dari pandangannya yang menciut Morat melihat senyum Marit mengembang. Berkali-kali.
“Benar sekali apa yang kau lakukan, Morat!” kata Marit.
***
Malam begitu larut hingga menyusut. Kepulangan Sarah menjadi kecolongan yang begitu telak!
Morat menggelepar dengan tubuh yang sesekali mengejang. Terasa ada eraman berat di dalam tubuh itu. Sementara darah melumuri sebagian wajah, leher, juga baju Morat. Sarah mencari-cari sumber lelehan darah itu dengan penuh rasa gugup. Degup di dadanya seolah mau meledak ketika didapatinya darah itu berujung pada kelopak mata kiri Morat yang terkatup rapat. Katupan yang dirasanya ganjil tanpa bukit kecil yang lazimnya mencuat. Kebingungan Sarah mencapai puncak sehingga ia tidak lagi terpusat pada Morat. Ia menggerakkan pandangannya mengelilingi ruangan bengkel itu. Tiba-tiba gerakan kerongkongannya begitu pejal ketika dilihatnya sebuah mata mendelik di suatu bagian kepala boneka.
Sarah tidak kuat bertatapan dengan mata boneka itu!
Agustus-September 2010
(Tatapan Mata Boneka, TBJT 2011)