Monday, October 03, 2011

Agama dalam Selubung Budaya Pop

0

Judul : Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi
Penulis : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Mizan, Jakarta
Tahun : I, Mei 2011
Tebal : liii+371 halaman

Ramalan matinya agama memang belum terbukti, bahkan jamak orang memuhalkannya. Namun, pelbagai fakta kebangkrutan agama tampak semakin kentara.

Ritual-ritual agama yang mulanya menjadi ajang perayaan untuk memperbarui sekaligus menguatkan hubungan manusia dengan Tuhan, telah bergeser menjadi selebrasi yang mementingkan keramaian dan kesenangan belaka.

Budaya populer ditengarai punya andil besar dalam proses pendangkalan iman manusia modern. Budaya populer mengolah simbol-simbol agama ke dalam citraan artifisial yang menggiring manusia pada kesadaran palsu. Yakni nalar yang memuja bentuk daripada isi, logika fetistik yang mengagungkan citra daripada makna. Agama kini telah asyik-masyuk dalam skema imajinasi populer sehingga ia memihaki realitas yang dangkal dan bersifat permukaan.

Buku Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, karya Yasraf Amir Piliang, hadir menggumuli realitas keberagamaan modern dengan pendekatan cultural studies. Menawarkan "jalan baru" dalam menafsirkan realitas agama dengan mengambil jarak dari wilayah teologis. Mengajak pembaca masuk ke labirin posmodernisme yang penuh lika-liku teoretis, mulai simulasi, hiper-realitas, semiotika, pos-strukturalisme dan dekonstruksi. Menjadi semaian ideologi kritis untuk memaknai ritus keberagamaan manusia modern. Sekaligus membaca masa depan agama dan peluangnya untuk direkonstruksi di tengah ancaman pendangakalan iman dan vulgaritas ritual yang banal.

Dewasa ini ideologi popularisme berpengaruh dalam mengubah derajat religiusitas. Membiaknya imajinasi-imajinasi populer telah mengaburkan batas antara imanensi dengan transendensi, melenyapkan jarak antara yang profan dengan yang sakral. Modernisasi yang diusungkan oleh teknologi informasi menggiring umat beragama pada alam skizofrenia. Semacam kesadaran yang labil, tidak konsisten, dan terus berubah sesuai produksi simbol-simbol yang mengelabui ritual-ritual suci agama menjadi kerja pembebasan hasrat (liberation of desire).

Saban agama memuat simbol-simbol yang sensitif, yaitu simbol yang terpatri di ruang asali nan mendalam di dalam diri manusia. Simbol agama bisa meniscayakan kegembiraaan sekaligus kemurungan, mendorong euforia sekaligus kebrutalan yang nyinyir. Medan simbol inilah inilah yang dimainkan oleh ideologi popularisme yang berselingkuh dengan kapitalisme.

"Budaya populer juga berkaitan dengan relasi ekonomi-politik, yaitu kebudayaan yang dibentuk berdasarkan pola-pola produksi industri dan komoditas," tulis Yasraf (hlm 177).

Bagaimanapun motif utama penciptaan produk-produk budaya populer adalah keuntungan kapitalistik. Simbol diproduksi sesuai selera massa, lantas ditarungkan guna meraih dominasi dan iman publik. Akhirnya, perayaan simbol-simbol tersebut setali tiga uang menjebak umat beragama pada nalar konsumerisme: memanjakan hasrat dengan euforia belanja.

Banyak tamsil bisa dinukil, taruhlah Ramadan yang kini sesak oleh pernak-pernik simbol lahiriah seperti demam jilbab atau "baju muslim". Imajinasi tentang kesalehan religius terdikte oleh sinetron, ceramah ustaz gaul, dan iklan televisi yang lebih membeberkan citra daripada pesan. Jadilah puasa justru ajang merayakan kesenangan, seperti busana-busana baru atau menu-menu berbuka yang istimewa. Puasa bukan lagi menjadi riyadlah-meminjam istilah Nurcholis Madjid (2000: 6)-yakni momentum pelatihan ruhaniah untuk menunda kesenangan, menahan diri dari gejolak konsumsi, serta menumbuhkan empati sosial terhadap sesama.

Selain menguliti nalar popularisme beragama yang kian menggurita, buku ini juga mengorak problem penafsiran agama. Imajinasi kreatif-kritis perlu diberi peluang untuk menafsirulang teologi dan praktik-praktik agama melalui pendekatan kultural atau cultural studies. Tentunya, hal ini memungkinkan terjadinya multiplisitas atau keragaman penafsiran agama yang semakin menambah ketagangan umat. Namun tidak menutup kemungkinan munculnya tafsir-tafsir yang prospektif, berguna bagi rekonstruksi agama ke depan.

Motodologi yang ditawarkan di antaranya pembacaan poststrukturalisme, semiotika, dan dekonstruksi. Metode dekonstruksi, misalnya, merupakan telaah yang memberi kebebasan untuk merayakan imajinasi produktif dan tidak terbatas. Dekonstruksi menyilakan upaya menyingkap, mendedah, mencairkan bahkan meruntuhkan teks dengan meleburkan batas-batasnya. Namun, untuk mencegah timbulnya imajinasi anarkis, perlu ada pembatasan relatif atas imajinasi dalam menafsirkan teks, bahasa, dan simbol-simbol agama. Karenanya, kebebasan berimajinasi menuntut satu prasarat lain, yaitu kebebasan bertanggung jawab yang peka terhadap ideologi dan sistem keyakinan golongan lain.

--Musyafak, essais, bergiat di Open Mind Community Semarang
(Jurnal Nasional, 02 Oktober 2011)

Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment