Baca puisi menjadi ikhtiar menghadirkan puisi ke haribaan publik dengan jalan pelisanan. Pelbagai event kesusasteraan atau kesenian kerap memberi ruang dan peluang bagi perayaan baca puisi, di samping festival-festival baca puisi yang di gelar oleh institusi-institusi kebudayaan. Dinamika baca puisi kini pun mengalami rupa-rupa bentuk seperti deklamasi, musikalisasi puisi, penembangan puisi (poetry singing) atau pembacaan puisi (poetry reading).
Sebagian kalangan menggelar baca puisi sebagai kerja apresiasi sastra. Kalangan lain menerima baca puisi sebagai bentuk seni otonom atau pentas tersendiri. Sebab baca puisi menghadirkan suatu estetika kebunyian yang dipadu unsur teatrikal yang tidak teraba secara nyata dalam teks puisi. Laju bahasa dalam teks puisi dimutasikan menjadi obyek bunyi kongkret yang sarat imbangan intonasi, aksentuasi, ritme, irama, jeda, ornamen musikal, unsur teatrikal, dsb.
Sebagian kalangan menggelar baca puisi sebagai kerja apresiasi sastra. Kalangan lain menerima baca puisi sebagai bentuk seni otonom atau pentas tersendiri. Sebab baca puisi menghadirkan suatu estetika kebunyian yang dipadu unsur teatrikal yang tidak teraba secara nyata dalam teks puisi. Laju bahasa dalam teks puisi dimutasikan menjadi obyek bunyi kongkret yang sarat imbangan intonasi, aksentuasi, ritme, irama, jeda, ornamen musikal, unsur teatrikal, dsb.
Peristiwa baca puisi menghadirkan keserentakan teks puisi dengan gerak tubuh yang menandakan keseluruhan penghayatan si pembaca atas karya yang dibacakannya. Dami N Toda, Apakah Sastra? (2005: 97-98), menyebut baca puisi sebagai seni pentas puisi. Lapis-lapis puisi yang ditubuhkan penyair di dalam jaringan diksi (teks) puisi harus ditemukan dan dinyawakan oleh aktor atau pembaca puisi. Kerja ini meniatkan agar lapis-lapis nilai puitik itu menjadi “makhluk” hidup audiovisual yang dapat dicerapkan dengan jernih dan rancak bersehayat dengan penonton atau pendengar.
Budaya Akar
Baca puisi ditengarai sebagai budaya akar pentas sastra Nusantara yang berkembang secara oral. Keberhasilan WS Rendra, pada dekade awal 1970-an, mengangkat keajekan seni deklamasi puisi menjadi pementasan yang sangat memperhitungkan unsur acting, set panggung dan lighting, mengabarkan kebangkitan tradisi akar sastra Nusantara yang berciri pada pelakonan. Yakni tradisi sastra yang bukan membaca teks (untuk) seorang diri, melainkan melisankannya di hadapan publik penonton atau pendengar. Kebangkitan pelisanan-pementasan puisi pada dekade 1970-an juga dapat ditilik dari geliat pembacaan puisi oleh para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi AG yang mendekatkan teks puisi kepada khalayak secara oral—yang ditubuhkan bersama elemen musikal dan teatrikal (Toda, 2005: 93-95).
Daya pikat baca puisi menjadi alternatif strategis dalam rangka “memasarkan” puisi (lebih luasnya sastra) kepada publik. Sastra, yang dalam debatan klasik diklaim kurang membumi di masyarakat, melalui baca puisi coba didekatkan seintim mungkin dengan masyarakat agar menjadi bagian hidup—selain memenuhi kebutuhan kesenian, tak jarang puisi diangankan mampu menginspirasi proses transformasi atau perubahan sosial. Pembacaan puisi di ruang-ruang publik atau sanggar-sanggar kesenian bisa dikatakan sebagai “gerakan” pemanggungan-pelisanan yang berjalan mengiringi gairah penerbitan buku sastra (puisi, kumpulan cerpen, roman, novel), dan menyemarakkan pelbagai perhelatan kesusasteraan. Launching atau bedah buku sastra, misalnya, kerap menyertakan agenda pembacaan atau musikalisasi puisi. Komunitas-komunitas yang bertumbuhkembang di pelbagai daerah pun semakin meningkatkan intensitas baca puisi.
Baca puisi niscaya menjadi medium komunikasi puitik yang meniscayakan berkembangnya ranah komunikasi yang lebih luas, seperti komunikasi sosial, politik dan budaya. Namun, tradisi pelisanan puisi ini secara samar-samar mengabarkan “kecemasan” kultur keberaksaraan.
Dilema Keberaksaraan
Sapardi Djoko Damono, dalam esainya Kelisanan dalam Keberaksaraan: Kasus Puisi Indonesia Mutakhir memandang kecenderungan pembacaan puisi sebagai bukti masyarakat ingin kembali ke kultur kelisanan, atau bahkan menyiratkan bahwa kita belum pernah sepenuhnya masuk ke dalam tradisi keberaksaraan. Sekaligus menimbulkan kecurigaan, proses kreatif penyair di Indonesia masih belum beranjak jauh dari tradisi lisan.
Esai tersebut mengingatkan, pelisanan rawan menyeret puisi ke lingkaran konvensi yang lazim, menjebak puisi pada keumuman. Khalayak pendengar pelisanan puisi adalah orang yang hidup dalam tradisi urban dan industri. Masyarakat macam itu, menyitir penyair Inggris W B Yeats, digambarkan sebagai masyarakat “tanpa kenangan keindahan dan kehalusan emosional”. Menghadapinya, penyair tidak merasa perlu menawarkan kualitas artistik yang kompleks seperti lazim dipautkan dalam puisi. Justru penyair mengatur idenya sejalan dengan harapan pendengarnya. “Agar bisa mudah dipahami, kelisanan mensyaratkan puisi yang sangat ritmis, memiliki keseimbangan pola, penuh pengulangan dan antitesis, menggunakan aliterasi dan asonansi, disusun dalam ungkapan dan peribahasa yang klise, dan menampilkan latar tematik yang baku” (Damono, Kalam edisi 13, 1999: 4).
Respon kritis memang acap absen di balik riuh tepuk tangan pendengar-penonton. Karena peristiwa baca puisi kurang menyediakan momentum untuk mengusut puisi secara lebih jauh ke kompleksitas struktur atau perangkat puitik suatu teks. Bahkan, acara baca puisi tak jarang dimanfaatkan untuk memamerkan kecentilan sang aktor atau pembacanya. Berbeda, membaca puisi dalam kesendirian yang menghadapkan pembaca pada struktur dan tipografi real suatu teks. Di situ, puisi bergerak dalam rajutan bahasa yang bersedia bebas dari jeratan kelaziman konvensi. Pembaca bisa mencapai pengembaraan makna atau pencerapan puitik sampai titik terjauh. Sedang sang penyair, niscaya lebih bisa membebaskan diri dari kebekuan konvensi yang diberlakukan publik.
Ini mengisbatkan, pelisanan puisi berada dalam tegangan kultur literasi. Perayaan baca puisi menyisakan pelbagai ambiguitas dan serentet pertanyaan terkait masa depan keberaksaraan di tengah masyarakat yang masih sangat doyan pelisanan.
—Musyafak, pengkaji budaya dan sastra di Open Mind Community, Semarang
(Seputar Indonesia, 1 Januari 2012--versi asli dari penulis yang lebih panjang)