kedua setelah sawah guna memenuhi kebutuhan pangan. Tak sekadar menyempit, keberadaan pekarangan kini bahkan terancam hilang karena imbas perluasan area hunian, perusakan hutan, dan alih-guna lahan.
Budidaya pekarangan sejak masa lampau sudah tersebar hampir di seluruh pulau Indonesia. Mustofa Agung Sardjono (et all, 2003) mengklasifikasikan pekarangan sebagai model pertanian dengan sistem agrosilvopastura, yaitu pengelolaan unit lahan dengan cara mengkombinasikan komponen berkayu (kehutanan) dengan tanaman semusim (pertanian) serta binatang (peternakan). Praktek agrosilvopastura lazim di Jawa maupun di luar Jawa adalah kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan (forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens).
Dalam kasus Jawa dewasa ini, pertumbuhan sekaligus pertambahan penduduk menyebabkan pekarangan, yang biasanya terletak di samping atau belakang rumah, terdesak oleh kebutuhan papan (hunian atau rumah). Keberadaan pekarangan di masyarakat Jawa tidak terlepas dari konsep rumah tradisional Jawa yang pada umumnya mendekatkan posisi dapur dengan pekarangan yang terletak di belakang atau samping rumah. Pekarangan bisa dikatakan sebagai model cocok tanam sampingan untuk menunjang kebutuhan domestik rumah tangga.
Sementara untuk kawasan-kawasan hutan di luar Jawa, terdesaknya pekarangan lebih banyak disebabkan oleh meningkatnya aktivitas eksplorasi industri, juga pemanfaatan hutan untuk kepentingan nonpertanian. Pembalakan dan perusakan hutan pun menjadi momok bagi keberadaan varietas tanaman semusim yang biasanya tumbuh di bawah pohon-pohon hutan yang besar.
Keberadaan pekarangan di Indonesia cukup produktif menghasilkan bahan pangan skunder, seperti ubi, jagung, buah-buahan sayuran atau tanaman obat-obatan yang umumnya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Petani berani menjual hasil pekarangan apabila kebutuhan pangan di rumah tangganya sudah beres dan tercukupi. Berbeda dengan cocok tanam padi di sawah yang digarap dalam skala luas dan hasilnya bukan semata-mata untuk menunjang kebutuhan makan, tetapi meraup keuntungan ekonomis.
Mafhum jika Andreas Maryoto (2009: 175) menengarai fakta nyaris hilangnya pekarangan mungkin cukup memberi andil dalam meningkatkan kasus kekurangan gizi di tanah air. Mengingat sejak sediakala pekarangan berfungsi menunjang ketahanan pangan rumah tangga secara langsung.
Meski tak banyak disinggung, peran pekarangan cukup vital dalam mendukung keberhasilan swasembada pangan semasa Orde Baru. Lebih dari itu, pekarangan potensial menyangga gizi nasional. Pada tahun 1994/1995 digalakkan Gerakan Sadar Pangan dan Gizi (GSPG), salah satunya dengan cara pemanfaatan pekarangan. Bantuan paket teknologi pemanfaatan pekarangan sebanyak 25 ribu paket untuk 1.100 Kelompok Wanita Tani (KWT) dan penyediaan paket pembinaan kebun Sekolah Dasar (SD) pada 307 SD di 27 propinsi.
Jejak pekarangan memang belum benar-benar musnah. Di daerah pantura di Jawa, misalnya, pekarangan saat ini lebih banyak ditanami buah-buahan daripada sayur-sayuran, karena buah-buahan lebih memiliki nilai jual. Gelagat mind set ekonomis-oportunis semacam itu cukup "berbahaya" jika pekarangan masih diangankan sebagai penunjang kebutuhan gizi keluarga. Mestinya pekarangan menjadi alternatif lahan untuk mengurus pangan keluarga secara mandiri. Sehingga pilihan tanaman di pekarangan dipertimbangkan sesuai kebutuhan nutrisi dan variasi gizi yang diperlukan oleh rumah tangga yang bersangkutan.
Dulu pekarangan menjadi struktur lahan yang kompleks karena memuat banyak jenis tanaman, seperti ubi, jagung, kelapa, jati, sayur-sayuran, tanaman obat-obatan, dan lain-lain. Pergeseran kultur budidaya pekarangan yang semakin simpel seiring menyempitnya lahan, mungkin dipengaruhi oleh geliat masyarakat yang lebih memilih cara-cara praktis: menggantungkan kebutuhan dengan lari ke pasar.
Revitalisasi
Kini ancaman perubahan iklim, di samping hama yang terus meningkat, berpotensi menghambat produksi pangan. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang semakin pesat juga menambah tantangan pangan bagi bangsa Indonesia. Laju konsumsi bahan pangan yang semakin tinggi musti diimbangi upaya produksi bahan pangan secara maksimal. Ancaman ketahanan pangan, diakui atau tidak, cukup menghantui bangsa Indonesia. Krisis pangan tentu sangat mungkin menjerumuskan negara ke jurang krisis sosial-ekonomi.
Revitalisasi pekarangan menjadi jalan yang sangat rasional untuk turut menanggulangi ancaman kerapuhan pangan. Wacana sadar pangan dengan cara memaksimalkan kembali peran pekarangan perlu digarap menjadi gerakan kolektif untuk membebaskan masyarakat dari bencana kekurangan gizi. Revitalisasi pekarangan tidak semata-mata terbatas pada pemanfaatan lahan di sekitar rumah, tetapi juga pekarangan jauh dari rumah (tanah kebun) yang biasanya dibiarkan bero (tidak ditanami).
Kearifan para pendahulu mengolah pekarangan dengan cara membudidayakan tanaman alternatif untuk kebutuhan pokok sehari-hari patut diteladani. Ubi dan jagung, misalnya perlu kembali ditanam di pekarangan. Jika sewaktu-waktu padi gagal panen, kedua tanaman tersebut bisa menjadi penunjang kebutuhan pokok pangan di tingkat keluarga. Revitalisasi pekarangan sekaligus bisa dijadikan gerakan penganekaragaman tanaman pangan. Ketergantungan masyarakat pada beras bisa dikurangi secara perlahan-lahan jika pekarangan mampu mengembangkan varian-varian tanaman alternatif yang memiliki kualitas karbohidrat dan nutrisi yang memadai.
--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS), Semarang
(Analisa, 8 Februari 2012)