social change), meski kesahihannya kerap dipertanyakan, bahkan digugat. Pasalnya mahasiswa kini kurang mengaktualisasikan peran sosialnya di masyarakat. Setali tiga uang, gerakan mahasiswa pun menunjukkan gelagat kelesuan. Masih maraknya gelaran demonstrasi tak bisa dijadikan ukuran, sementara mahasiswa seolah tidak terlibat dalam arena produksi wacana sosial-kebangsaan.
Kelesuan gerakan mahasiswa, salah satunya disebabkan oleh melempemnya militansi. Lemahnya kesetiaan untuk memihaki keyakinan-komitmen bersama, telah mengaburkan orientasi kelompok gerakan mahasiswa. Matinya militansi menjadi kabar buruk terkuburnya semangat perubahan kolektif, tergantikan pengejaran kepentingan-kepentingan individual atau kelompok mahasiswa.
Ragam faktor eksternal turut memengaruhi melemahnya militansi. Peristiwa politik-ekonomi yang terjadi di ruang sosial, gagal dijadikan api pemantik kesadaran revolusioner mahasiswa. Ketidakhadiran dan minimnya keterlibatan mahasiswa di dalam peristiwa-peristiwa sosial, bisa jadi ancaman utama bagi keberlangsungan gerakan mahasiswa. Karena ketidakterlibatan membuat mahasiswa tidak sadar posisi dan peran yang diembannya.
Agen Militan
Peristiwa politik selalu bersifat kolektif dan melibatkan jamak orang. Reformasi 1998, misalnya, mempertemukan mahasiswa dengan agen politik maupun intelektual pendukung gerakan penggulingan rezim Orde Baru. Krisis ekonomi saat itu adalah jelmaan peristiwa politik yang menggugah kesadaran mahasiswa untuk melakukan perubahan secara radikal-revolusioner.
Roger Trigg, seorang Profesor Emeritus Filsafat di Universitas Warwick, Inggris, menyatakan sekurang-kurangnya militansi memiliki dua komponen dasar: keyakinan dan dedikasi personal (Donny Gahral Adian, 2011: 107). Relasi keduanya bertimbal balik: seseorang yang tidak memiliki keyakinan terhadap ide-ide perubahan mustahil mengabdikan dirinya untuk gerakan perubahan.
Pertemuan antarsubyek mahasiswa yang memiliki militansi niscaya membentuk agen militan yang sadar perubahan ketika peristiwa politik mengabaikan hak-hak masyarakat luas, termasuk mahasiswa. Agen militan inilah yang bekerja di luar politik kelembagaaan seperti partai, atau mengambil jarak dari negara, untuk memprotes kekuasaan yang memonopoli akses-akses politik-ekonomi.
Agen militan melakukan aksi politik dengan cara menciptakan konfrontasi dan antagonisme. Yakni menentukan pihak atau kelompok lain sebagai "musuh" yang harus dilawan. Namun, konfrontasi dan antagonisme semacam ini perlu dikelola dengan arif agar tidak terjebak pada fanatisme buta yang berimbas pada penihilan atau penyingkiran kelompok lain. Satu sisi, agen militan memang harus mati-matian memperjuangkan gagasan perjuangan-perubahannya, tetapi di sisi lain memberi hak bagi lawan untuk mengusung gagasannya.
Tampaknya, mahasiswa terkini gagal mendefinisikan musuh politik yang harus dilawan. Di tengah situasi bangsa-negara yang disesaki dengan problematika korupsi, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, ironis jika mahasiswa merasa "dunia sedang baik-baik saja".
Di sisi ruang, masing-masing kelompok mahasiswa gagal mentransformasikan kepentingan sektoralnya menjadi kepentingan nasional yang selaras dengan kepentingan kelompok-kelompok atau elemen-elemen masyarakat lainnya. Jangkauan gerakan mahasiswa terbatasi oleh lingkaran yang diciptakannya sendiri, serta luput merangkul agen-agen sosial lain di sekitarnya. Gerakan mahasiswa lebih berorientasi pada kepentingan sektoral kelompoknya dan mengenyahkan kepentingan publik lebih luas.
Romantisisme
Gelagat romantisisme mahasiswa terhadap masa lalu juga patut diwaspadai. Agen militan rentan terjebak pada sejarah gerakan-gerakan generasi sebelumnya yang sebenarnya telah usang. Peristiwa-peristiwa masa lalu, seperti Malari tahun 1974 atau Reformasi 1998, memang menciptakan sedimen-sedimen positif serta menyediakan dorongan historis-emosional bagi gerakan mahasiswa. Namun, strategi-strategi gerakan masa lalu tidak bisa dimutlakkan sebagai model perjuangan saat ini. Mahasiswa musti menghayati pengalaman kekiniannya yang tentu memiliki banyak selisih atau perbedaan dengan pengalaman generasi sebelumnya.
Alain Badiou, seorang filsuf asal Perancis, berpandangan bahwa militansi atau kesetiaan bukanlah keterikatan subyek pada masa lalu, melainkan sebuah pertaruhan akan cita-cita masa depan yang tidak terduga (Adian, 2011: 70). Artinya, agen militan harus mengambil jarak secara tepat agar tidak terseret dalam romantisisme masa lalu yang mendongengkan kejayaannya. Agen militan mustinya lebih peka dalam memahami dan menilai realitas pengalaman kekiniannya, kemudian memutuskan cita politik masa depan yang akan diperjuangkan secara militan.
Godaan politik tidak bisa dielakkan. Pragmatisme yang bersifat oportunistik niscaya melemahkan gerakan mahasiswa dari dalam. Mahasiswa perlu mengambil jarak dari pusat kekuasaan dominan yang eksis di lembaga-lembaga politik. Prasyarat gerakan militan yang mencitakan perubahan radikal adalah tindakan-tindakan politik yang menuntut melalui aksi-aksi di luar politik kelembagaan atau partai politik. Mahasiswa, jika memang masih layak dikatakan sebagai agen militan yang pro-perubahan, adalah mereka yang sadar potensi kolektifnya untuk melawan kekuasaan struktural yang lalim dan semena-semena.
--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS), Semarang
(Analisa, 20 Desember 2011)