Barangkali tak ada ruang yang lebih gaduh kecuali televisi--juga koran dan radio, barangkali. Saban detik berita diarak ke ruang ramai. Entah disimak dengan rasa muak atau semarak. Komentar-komentar diputar, suara-suara diterakan secara masif dan berganda-ganda.
Media massa seolah sekadar panggung untuk mengkontestasikan komentar-komentar dan pendapat-pendapat. Televisi memberi ruang lapang bagi pejabat maupun politisi untuk melakonkan diri. Adu komentar dan argumentasi dengan segenap gairah, juga nalar kuasa. Waktu senggang kita dirampas oleh agenda perdebatan yang rutin dan banal itu.
Televisi mengolah dialog-dialog berita menjadi aksi-reaksi psikologis yang penuh intensi ketegangan. Pemirsa dibikin ternganga, sesekali tertawa. Jadilah berita-dialog di televisi itu semacam sinetron model anyar. Berita, dialog atau diskusi, menjelma suatu drama yang mengusung pelbagai propaganda agar diimani publik.
Jelas sudah, kini bangsa kita terperangkap dalam peradaban mulut. Tiap-tiap orang berbicara, berkomentar, ramai-ramai berpendapat. Tapi cuma menambah gaduh belaka. Saban detik rasanya kita kena teror suara-suara itu. Silih ganti pemimpin, pejabat atau politisi, bicara untuk menekan, menuntut, mengaduh, bahkan mengiba-iba. Curhat pun menjadi prototipe paling dekat dengan kebiasaan para pemimpin kita.
Muara semua suara itu tak lain propaganda kepentingan. Mengingatkan kita pada Hannah Arendt, sang filsuf asal Jerman itu. Menurutnya, teror terhadap massa itu berbentuk propaganda untuk meraih dominasi. Propaganda didapuk sebagai alat tak tertandingi untuk membuat tekanan dalam jumlah besar, tapi tak kasat mata (Rieke Diah Pitaloka: 2010).
Teror mulut menjadi ikhtiar untuk mengisolasi manusia. Membikin manusia seolah objek nirsadar yang rasa percayanya didapat dari suara yang paling keras dan kerap sampai di telinganya. Menentukan kebenaran dari seberapa kuat dan sering suatu propaganda menawan alam bawah sadar manusia.
Jean Francois Lyotard pernah melontarkan paradoks kebenaran di tengah gaduhnya teknologi informasi. Performativitas, suatu kekerapan kehadiran, menjadi otoritas bagi penentuan kebenaran. Informasi yang digandakan lantas dikonsumsi masyarakat secara masif dan berulang, itulah yang berpotensi dianggap sebagai "yang benar". Begitu, produksi, replikasi dan penggandaan suatu informasi meniscayakan sesuatu itu dianggap sebagai kelumrahan atau kewajaran. Terhadap "yang lumrah" dan "yang wajar" itu, diam-diam kita melakukan pembenaran.
Sosok Duke of York, King George VI, di film King"s Speech itu laik kita refleksikan. Raja itu gagap bicara hingga mengecewakan rakyatnya, sebab suaranya yang diandaikan sebagai panutan selalu gagal muncul. Tapi Duke of York itu paham keinginan rakyatnya. Akhirnya, dengan usaha kerasnya ia bisa berpidato dengan memukau.
Kita berhak menyana, lebih mengecewakan seorang pemimpin yang gagap memahami keadaan atau keinginan rakyat, ketimbang pemimpin yang gagap bicara. Sebab itu kita kerap terpukul, ketika, misalnya, Ketua MPR Marzuki Ali bilang, rakyat biasa tak usah diajak membahas pembangunan gedung baru DPR. Hanya orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan soal itu.
Perkara mulut sebetulnya paling dekat dengan diri kita sendiri. Hasrat ingin bicara selalu terpelihara dan bocor di tiap kesempatan. Kerja mulut (bicara) lumrahnya mengarak kepentingan diri untuk dimengerti, dipahami bahkan menekan orang lain. Ya, kerja mulut tampaknya lebih terobsesi untuk berebut agar dimengerti. Bukan memberikan kabar tentang kebenaran itu sendiri.
Barangkali pelajaran mendengar belum khatam, tapi kita telah ingin terlalu banyak bicara. Padahal, mendengar merupakan laku pertama untuk menyerap pengetahuan, mengerti dunia, memahami orang lain.
Maka patut kita belajar diam. Menahan diri untuk tidak menekan dan "mengintimidasi" orang lain, sekaligus menyilakan orang lain bicara. Tapi ikhtiar itu tentu amat sulitnya. Wajar jika Hamka bilang, "Kita hanya butuh dua tahun untuk belajar bicara. Tapi kita butuh waktu seumur hidup untuk belajar diam." Di tengah kebisingan suasana, memang perlu kita menahan mulut seraya melebarkan telinga. Menyilakan "yang lain", yang tak punya suara itu, untuk bicara.
--Musyafak, pengkaji budaya, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang
(Analisa, 3 Januari 2012)