Saturday, April 14, 2012

Tragedi Kutang

0
Sekilas kutang tampak hanya barang biasa, pakaian dalam perempuan untuk menyangga buah dada. Namun, keberadaan kutang saat ini bukan semata-mata karena nilai guna itu. Kutang telah ditahbiskan sebagai simbol femininitas atau identitas perempuan yang mengukuhkan citra sosial. Manusia modern pun menjelmakan kutang sebagai simbol kecantikan dan erotisme.

Orang Indonesia juga mengenalnya sebagai bra (brassiere) atau BH (buste hounder). Linda Hamalian (2005) mencatat, bra modern seperti dikenakan jamak perempuan terkini diciptakan pada 1910 oleh Caresse Crosby (1891-1970), seorang sosialita Amerika yang bernama kecil Mary Phelps Jacob. Meski cikal-bakal bra sendiri telah ada sejak jauh-jauh zaman sebelumnya, misal korset di Eropa, dudou di China atau kalasiris di Mesir.

Kutang telah mendominasi cara berpakaian perempuan Indonesia hari ini. Tanpa kutang identitas perempuan dianggap seolah tak genap. Sebab kutang juga telah diarak di tengah pernik simbol moralitas. Taruhlah, perempuan dewasa tak berkutang yang rentan dicap sebagai kurang adab.

Belum diketahui persisnya kapan para perempuan pribumi mulai mengenal dan mengenakan kutang. Sementara sebelumnya sebagian masyarakat, khususnya perempuan di Jawa atau Bali, telah mengenal kemben, yakni sejenis kain atau selendang yang dililitkan menutupi dada.

Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007: 227) karya Remy Sylado, menghadiahi satu jejak historis perkenalan perempuan pribumi dengan kutang. Pada abad ke-19 banyak budak laki-laki dan perempuan dipekerjakan dalam proyek pembangunan jalan Pos Anyer-Panarukan. Kala itu, para lelaki maupun perempuan terbiasa ngligo atau bertelanjang dada. Don Lopez comte de Paris, seorang mandor proyek tersebut, menyuruh para perempuan untuk menutup payudaranya. Ia memotong-motong kain putih dan memberikannya kepada salah seorang budak perempuan belia. “Tutup bagian berharga itu,” katanya. Beberapa kali Don Lopez mengulang kata “coutant” (Perancis: berharga) untuk menunjuk payudara perempuan. Orang-orang pribumi kebingungan memahami maksud sang mandor, lantas mengira “coutant” adalah penutup payudara, dan dilafalkan dengan “kutang”.

Tampaknya, perkenalan perempuan pribumi dengan kutang tidak serta-merta mengikis kebiasaan ngligo di pedesaan maupun perkotaan hingga menginjak abad ke-20. Meski sebagian mereka mulai meniru kebiasaan para perempuan Belanda yang memakai kutang.

Film pendek Virgin of Bali garapan William M Pizor pada tahun 1932, memaparkan perempuan-perempuan Bali masih bertelanjang dada. Lain dengan Goona-goona karya Andre Roosevelt, juga terbit di tahun yang sama, menunjukkan para perempuan bangsawan-kerajaan sudah memakai kemben. Kedua film dokumenter tersebut menggambarkan bahwa kemben saat itu hanya dipakai oleh perempuan dari golongan elit.

Elitisme kutang terbetik dalam kisah Entrok (2010), novel anggitan kan Okky Madasari yang berlatar pertengahan abad ke-20. Alkisah, Marni, gadis yang payudaranya mulai mekar, sangat ingin memiliki entrok (kutang) agar saat berlari atau melompat tidak terguncang dan menggangu. Entrok hanya mampu dijangkau orang-orang kaya, sementara Marni hanyalah anak seorang buruh pengupas ubi di Pasar Singget. Demi itu, Marni bekerja keras sebagai kuli angkut hingga ia berhasil membeli entrok. Lantas entrok menjadi atribut bagi Marni sebagai perempuan yang “berbeda” dari sebelumnya.

Produksi kutang dewasa ini pun semakin gencar menyasar pada nilai citrawi. Misalnya Victoria’s Secret, perusahaan pakaian dalam perempuan tersohor dari Amerika, membuat kutang berenda berlian atau permata seharga jutaan dolar. Perempuan papan atas atau artis memakainya sebagai simbol kecantikan sekaligus pengukuh status sosial dalam gaya berpakaian yang menampakkan kutang di acara pesta, pertunjukan, maupun ketika tampil di ruang publik. Media massa seperti televisi, film, majalah dan internet menjadi lahan yang subur untuk meluapkan erotisme kutang.

Gaya berpakaian yang cenderung “memamerkan” kutang telah menjerumuskan pakaian dalam itu sebagai simbolitas erotik. Praktis pemakaian kutang menandai adanya ironi seksualitas. Dulu, di masyarakat primitif yang belum mengenal pakaian atau kutang, payudara yang terbuka tidak mengabstraksikan suatu kecelaan seksual. Lelaki dan perempuan bergumul di ruang-ruang publik dengan bertelanjang dada tanpa menimbulkan efek seksual yang negatif. Ketika masyarakat telah menutupi payudara dengan pakaian atau kutang, sejak itulah payudara dianggap sesuatu yang tabu. Akibatnya, ketersingkapan payudara di mata khalayak saat ini berpretensi memantik berahi.

Mardi Luhung, dalam cerpennya yang berjudul Tukang Cuci (Kompas, 19 Juli 2009), menyinggung nasib kutang yang kehilangan tempat persembunyian. Kisahnya, seorang lelaki sedang mencuci kutang istrinya, membayangkan seandainya benda itu bisa bicara, mungkin begini keluhannya: “Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau dikata, roda terus berputar. Yang di atas kini di bawah. Dan yang rapat pun kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi.”

Maka tak aneh jika hari ini sebagian orang berkata bahwa kutang bukan lagi pakaian dalam. Begitulah tragedi kutang terjadi di tengah pamrih berpakaian yang merayakan keterbukaan tubuh untuk merebut citra kecantikan.

--Musyafak, pengkaji budaya di Open Mind Community, anggota staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
(Kompas, 13 Maret 2012--versi asli dari penulis yang lebih panjang)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment