Friday, February 22, 2013

Bandit

0
Situasi kehidupan serba pelik di setiap kurun zaman telah melahirkan orang-orang yang menyebal keluar dari tata-norma. Orang-orang yang menyimpangi tertib sosial itu muncul akibat desakan kekuasaan yang memencilkan mereka dari akses politik maupun ekonomi. Di antara kelompok sosial yang muncul dari para penyebal itu adalah bandit. Saban penguasa punya ragam sebutan miring untuk mengkonstruksi identitas mereka secara negatif: berandal, garong, kecu, benggol, atau gali.

Bandit telah hidup sejak zaman tradisional di nusantara. Kisah para wali penyebar Islam di Jawa (Walisongo) memunculkan tokoh bandit berjuluk Berandal Lokajaya. Ialah Raden Sahid muda, putra Adipati Tuban, yang kelak masyhur bergelar Sunan Kalijaga. Di mata penguasa, Berandal Lokajaya adalah sosok sekaligus ikon pengacau yang doyan merampas harta para bangsawan atau orang-orang kaya. Sebaliknya bagi rakyat jelata, kehadiran Berandal Lokajaya adalah pahlawan yang memberkahi mereka sekelumit harta guna mempertahankan hidup sekadarnya.

Legenda Berandal Lokajaya tak ubahnya hikayat Zorro di Amerika atau Robin Hood di Inggris. Keduanya menggunakan kedigdayaan fisik, terkadang berbau mistis dan takhayul, untuk merampok harta orang-orang kaya yang kemudian didermakan kepada orang-orang tak berpunya. Keduanya eksis di dalam tegangan penilaian antara saleh atau jahat, antara pahlawan atau pengacau. Citranya tak tunggal, sekaligus ambigu.

Bandit Revolusioner
Revolusi sosial semasa perjuangan kemerdekaan di daerah-daerah pedalaman Indonesia diwarnai aksi-aksi kontroversial para bandit. Anton E Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989) meriwayatkan gejolak sosial di Brebes, Tegal dan Pemalang selama Oktober-Desember 1945. Para lenggaong (bandit) merupakan salah satu kelompok sosial yang menggerakkan Peristiwa Tiga Daerah itu. Perannya tak kalah penting dari kelompok komunis, nasionalis dan Islamis.

Bandit-bandit desa memelopori perlawanan terhadap elite-birokrat yang dinilai korup. Mereka melakukan aksi-aksi dombreng, yaitu menggerebek pejabat korup lalu mengaraknya di hadapan warga untuk dipermalukan. Kelompok bandit juga menjarah timbunan kekayaan kolonial yang notabene hasil upeti yang memeras rakyat, untuk dibagikan kembali kepada rakyat. Penurunan bendera Jepang di beberapa kantor pemerintahan yang kemudian diganti dengan sang saka merah-putih pun dilakukan para bandit.

Di antara bandit masyhur dalam peristiwa itu adalah Kutil dari Talang, Tegal. Kesaktian kanuragan serta kebaikannya kepada masyarakat setempat menjadi modal Kutil mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Organisasi yang dimakmumi bandit-bandit dan para pedagang-petani miskin ini bertujuan membagi kekayaan, memburu sisa-sisa orang Jepang untuk dilucuti, juga menumpas mata-mata NICA.

Perbanditan yang tumbuh di dalam perkelindanan politik kolonial juga bisa ditilik di Banten dan Batavia sejak abad 19 hingga paroh abad 20. Suhartono W Pranoto (2010) mencatat gerakan bandit Mas Jakaria dari Banten, Kaiin Bapa Kayah dari Tangerang, atau Entong Gendut dari Jatinegara. Gerakan bandit yang berbau kriminal serta melanggar hukum itu bermunculan seiring terpuruknya kehidupan ekonomi rakyat bawah akibat penindasan penjajah.

Gerakan bandit merepresentasikan resistensi publik terhadap kekuasaan yang tak adil, rakus dan culas. Merebaknya bandit hingga mampu melakukan konsolidasi politis antikolonial, termasuk melawan elite-pribumi, merupakan percaan fakta sakit hati rakyat pribumi. Bandit lahir dari situasi keterbelitan ekonomi yang mengancam hidup. Mempertahankan hidup ditempuh dengan cara mencuri atau menjarah kekayaan orang-orang berpunya. Selingkung dengan nasib masyarakat sekelilingnya yang memprihatinkan, bandit punya sisi sosialitas untuk turut membantu mereka dengan membagi-bagikan hasil jarahannya. Bandit jenis ini kerap diistilahkan sebagai “bandit sosial”. Berbeda dengan bandit biasa yang maling, memeras atau merampok tanpa landasan ideologis-politis.

Meski begitu banyak pula bandit yang obsesinya hanya memperkaya diri pribadi.  Bandit jenis ini ditakuti sekaligus dimusuhi wong cilik karena mereka umumnya menjadi kaki-tangan pabrik-pabrik milik pemerintah kolonial untuk memenangkan urusan lahan pertanian atau perkara irigasi.

Bandit Politik
Kini Indonesia sudah kokoh dengan peranti hukum, juga aparatur keamanan yang tumpah-ruah. Apakah bandit-bandit musnah? Melihat kriminalitas yang trennya makin hari kian naik, rasanya bandit-bandit masih berkelindan di masyarakat.

Kini rakyat pun sudah punya dugaan, di lingkaran-lingkaran pusat kekuasaan di mana negara dijalankan telah muncul perbanditan yang lebih menggiriskan. Rakyat bisa membayangkan sosok bandit-bandit necis berjas-dasi yang mahir retorika “politik atas nama rakyat”, sementara di belakang panggung mereka berkomplot menjarah harta rakyat.

Zaman berubah tetapi kemiskinan yang diderita rakyat tak banyak berubah. Alih-alih lenyap, perbanditan pun hanya berubah: terorganisir rapi, tanpa takhayul, dan profesional. Mungkin saja saat ini bandit-bandit itu sedang asik menyusun rencana.



--Musyafak, esais

(Seputar Indonesia, 10 Februari 2013) 
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment