Sekitar satu sepertiga abad silam, seorang anak yang kelak menamai diri sebagai “Mandor Klungsu” lahir di Mayong, Jepara. Ia adalah putra Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Konon, sejak masih bocah ia cerdas dan diberkahi daya linuwih membaca masa depan.
Hari ini orang mengenalnya sebagai Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak Raden Ajeng Kartini. Bukan hanya seorang bangsawan, Sosrokartono adalah abdi rakyat yang setia berderma untuk kaum bawah yang daif. Gerak hidupnya memancarkan spirit kepemimpinan adiluhung, meski ia bukanlah seorang pemimpin yang dipayungi kekuasaan politik.
Pemimpin Klungsu
Dalam beberapa serat yang ditulisnya, Sosrokartono menyebut diri sebagai “Mandor Klungsu”. Secara semantis, “mandor” berarti kepala atau pemimpin regu, dan “klungsu” adalah biji asam (yang sifatnya keras dan padat). Julukan simbolis itu memendam maksud terselubung yang secara eksistensial hendak dicapai Sosrokartono. Ia mencitakan diri menjadi pemimpin tangguh bagi kaum yang kuat lagi tangguh.
Indy G Khakim (2008), menafsiri julukan tersebut sebagai kehendak Sosrokartono menjadi kepala regu dari kaum yang diibaratkan sebagai kerumunan klungsu-klungsu, yakni kaum yang berfaedah bagi orang lain di manapun berada. Julukan itu juga sematan doa terhadap diri Sosrokartono sendiri, agar ia bisa menjelma biji asam, bahkan kemudian tumbuh mekar sebagai pohon asam yang bisa dimanfaatkan semua bagiannya.
Di Dar-Oes-Salam, Bandung, Sosrokartono mengabdikan segala kemampuan dan pengetahuannya untuk membantu orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. Hidup bergumul dengan orang-orang daif dan papa tak membuatnya gentar. Ia justru menemukan kekuatan dan ketegaran dalam menjalankan darma kemanusiaannya.
Cita humanitas Sosrokartono menemukan ruang-waktu yang kontekstual untuk diteladani dalam kepemimpinan bangsa hari ini. Situasi ketidakpastian arah politik bangsa kini butuh setiran seorang pemimpin bertabiat klungsu: pemimpin kuat, tangguh dan tegar. Bukan pemimpin yang doyan mengeluh dan mengaduh. Pemimpin berwatakklungsu akan senantiasa mengedarkan semangat dan kemauan keras dalam mengerjakan segala sesuatu untuk kesejahteraan dan kebaikan hidup bersama. Wataknya relatif tahan terhadap serangan maupun jebak-rayu dari luar. Sehingga tidak plin-plan atau suka “menelan ludah kembali” tersebab dorongan orang-orang di kiri-kanan.
Melebur Jarak
Tak bisa dinafikan politik adalah “jarak” tersendiri. Terkadang rakyat dan pemimpin adalah entitas “yang lain”, bukan sesuatu yang manunggal. Senantiasa muncul gap di antara keduanya yang sebenarnya adalah bentukan sosial.
Bukan berarti “jarak” itu tak bisa dijembatani sama sekali. Sosrokartono menyerukan manusia untuk berlaku sebagaimana pohon pring (bambu). Dalam Kempalan Serat-serat Drs. R.M.P. Sosrokartono (Suxmantojo, 1971), Sosrokartono menulis, “Pring padha pring/ Weruh padha weruh/ Eling tanpa nyanding (Bambu sama-sama bambu/ Tahu sama-sama tahu/ Ingat tanpa mendekat).” Manusia ditamsilkan sebagai pohon bambu yang mesti sama-sama tahu. Bukan sekadar melihat, tetapi juga kehendak merasakan kondisi yang dialami oleh liyan: suatu laku empatik dalam melihat dan merasai nasib orang lain di sekeliling.
Meski masing-masing manusia tidak selalu berdampingan, tetapi sikap selalu sama-sama melihat sekaligus mengingat adalah etika sosial yang perlu dipancangkan di dalam kedirian pemimpin. Muaranya, sebagaimana pernyataan Sosrokartono, “Susah padha susah/ Seneng padha seneng/ Eling padha eling/ Pring padha pring (Susah sama-sama susah/ Senang sama-sama senang/ Ingat sama-sama ingat/ Bambu sama-sama bambu).”
Sosrokartono menggambarkan sosok pemimpin yang sedikitnya melampaui batas-batas primordial (suku atau agama). Pemimpin hanya diikat oleh eksistensi manusia secara universal. Jiwanya harus selalu bersanding dengan rakyat yang berada di lain-lain wilayah dan lapisan sosial yang beragam.
Sebagaimana diinsafi bersama, jagat kepemimpinan Indonesia kini disesaki oleh gelaran ironi. Bahwasanya ketamakan sedang dikontestasikan oleh para pemegang kekuasaan. Ketamakan semacam korupsi telah menyumbat rasa “sama-sama tahu dan sama-sama merasakan”. Sebab itu dilakoni dengan merampas hak-hak orang lain. Ketamakan jenis ini acap lahir dari keterpukauan terhadap dunia material atau kehartaan.
Kaya Jiwa
Sosrokartono menyerukan suatu antitesis bagi pandangan hidup yang materialistik itu: sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta). Sekilas memang terasa janggal dan bertolakbelakang dengan logika positivistik yang menakar kekayaan dari kuantitas harta kepemilikan. Tetapi logika intuitif bisa menjangkau maknanya, bahwa ada kekayaan yang lebih tinggi harganya yang mengakar di kedalaman diri manusia.
Sugih tanpa bandha berlaku sebagai etika kejiwaan untuk self liberation (pembebasan diri). Bukan kekayaan sebagai pengejaran diri atas kesenangan dan kenikmatan duniawi yang wadag. Mafhum jika kemudian Khakim menyebut Sosrokartono mugkur ing kadonyan, menimbang sikap hidupnya bersahaja dan penuh laku tirakat.
Sugih dalam ajaran Sosrokartono bukannya diberangkatkan dari bandha. Melainkan diantonimkan dengan mentalitas “fakir” yang kerap membelenggu kesadaran seseorang: (selalu merasa) kurang. Kaya dalam logika demikian adalah merasa cukup terhadap berkah yang telah dilimpahkan Tuhan. Jiwa yang merasa cukup inilah yang akan menang dalam mengeringkan benih-benih ketamakan di dalam diri.
Ajaran sugih yang menyasar kekayaan jiwa sekaligus bersedia berbagi dengan orang lain memang nyaris menjadi klise di zaman kini. Namun sedikitnya Sosrokartono telah memaklumatkan, yang selalu merasa kurang dan tamak bukanlah corak pemimpin yang layak. (*)
Musyafak, esais
(dari http://www.kompi.org edisi 26 Januari 2013)
(dari http://www.kompi.org edisi 26 Januari 2013)