Hari ini candu maupun jenis narkoba lainnya telah ditahbiskan sebagai musuh bersama di Indonesia. Pertarungan melawan penyalahgunaan candu atau narkotika berbahaya ditempuh pemerintah melalui gerakan antinarkoba yang mendapat sokongan luas dari masyarakat. Apa boleh buat, efek candu ataupun narkoba mengancam longsornya mentalitas serta moralitas generasi bangsa.
Kalau diusut ke belakang, ternyata candu punya sejarah panjang di nusantara. Selama berabad-abad, di Jawa candu pernah menjadi komoditas perdagangan yang diperebutkan oleh kalangan imperialis karena menjanjikan keuntungan besar.
Candu atau yang akrab disebut opium masyhur di kalangan para pecandu jauh-jauh abad sebelum maraknya narkotika. Tanaman opium sendiri punya nama beken “bunga poppy” (papaver somniverum) yang bukan asli tanaman Indonesia. Konon bunga poppy ini berasal dari Turki dan Persia yang dibawa masuk oleh pedagang Arab ke Jawa.
Ketika Belanda pertama kali menjejakkan kaki di pesisir Jawa pada akhir abad 16, candu sudah menjadi komoditas penting di tingkat internasional. Meski sistem perdagangan candu belum terbentuk secara formal hingga tahun 1809, para pedagang Tionghoa bersama EIC (Kongsi Dagang Inggris) telah memproduksi dan menjual candu di Jawa sejak dua abad sebelumnya.
Babak baru monopoli Belanda atas perdagangan candu di Jawa bermula ketika Amangkurat II, Raja Mataram, memberi hak monopoli perdagangan candu kepada VOC (Kongsi Dagang Belanda) pada tahun 1677. Peredaran candu baru diperbolehkan secara masif di kawasan pantai selatan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta pada permulaan abad 19. Ekspansi Belanda dijalankan sejak tahun 1830 dengan membuat sistem cocoktanam dan pendirian kantor perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman.
Sejak itulah peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di masyarakat. Henri Louis Charles TeMechelen, seorang Asisten Residen di Juwana Jawa Tengah yang sekaligus Kepala Regi Opium, mencatat bahwa pada tahun 1880-an satu dari duapuluh orang Jawa punya kebiasaan mengisap candu. Selain masyarakat pribumi, orang-orang Tionghoa juga merupakan konsumen utama candu. Sedikit sekali orang Tionghoa kaya yang bebas dari jeratan candu. Apalagi mengisap candu juga menjadi gaya hidup tersendiri. Sebuah kebanggan bagi para tamu yang berkunjung ke rumah orang-orang Tionghoa atau elite Jawa jika mereka dijamu dengan candu (halaman 30).
Orang-orang Tionghoa sendiri sebenarnya lebih banyak menjadi bandar atau cukong candu, selain para elite politik Jawa. Bandar-bandar di wilayah lokal ditunjuk Belanda melalui lelang: barang siapa berani menyetor pajak terbesar maka dinobatkan menjadi bandar. Perbandaran candu itu juga berimplikasi pada organisasi-organisasi petani yang kala itu justru didominasi oleh para pedagang Tionghoa. Sedang orang-orang pribumi kebanyakan hanya menjadi mata-mata atau pesuruh, selain menjadi target konsumen candu itu sendiri.
Begitulah analisis historis-sosiologis James R Rush, sejarawan asal Amerika, dalam bukunya Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910. Buku ini memaparkan napak tilas candu di Jawa, serta menelaah taktik kononial Belanda dalam memonopoli perdagangan candu di Indonesia demi menggendutkan pundi-pundi negaranya.
Rush cukup detail mengungkap persoalan perdagangan gelap atau penyelundupan candu di Jawa ketika hampir setengah abad candu mencapai popularitas tertingginya. Selain itu, segi patologi sosial candu juga ditelisik Rush secara mendalam. Orang-orang pribumi yang rata-rata berpenghasilan rendah telah menjadi korban perdagangan candu. Mereka terus-menerus mengeluarkan uang untuk mengisap candu meski harus mengesampingkan kebutuhan rumah tangga yang lebih vital.
Efek adiktif candu yang ditengarai berpotensi mematikan akhirnya memaksa Belanda harus membatasi konsumsi candu agar tidak berlebihan. Belum lagi munculnya banyak kritik terhadap pemerintah yang lebih mementingkan tujuan ekonomis perdagangan candu sehingga perdagangan candu menuai kontroversi panjang. Perdebatan tentang kebijakan pengendalian candu sebenarnya berkisar pada problem untuk menyelaraskan antara tujuan finansial dan tujuan etis (halaman 154).
Buku ini menggambarkan bahwa candu dicari sekaligus dicaci. Candu ibarat madu dan racun sekaligus. Memang perdagangan candu menjanjikan berkah ekonomis yang melimpah. Itulah mengapa ketika peredaran candu diperketat para bandar Tionghoa bangkrut, juga pendapatan pajak Belanda yang menyusut. Tetapi babak kepailitan perdagangan candu secara nasional itu di sisi lain menandai episode baru pemulihan sosial masyarakat dari efek-efek negatif candu yang tidak terhindarkan sebelumnya.
Musyafak, pengelola Open Mind Community Semarang, staf di Balai Litbang Agama Semarang
data bukuJudul : Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910
Penulis : James R Rush
Penerbit : Komunitas Bambu
Terbit : Cet I, Juni 2012
ISBN : 978-602-9402-10-0
Tebal : xvi + 280 hlm
Kalau diusut ke belakang, ternyata candu punya sejarah panjang di nusantara. Selama berabad-abad, di Jawa candu pernah menjadi komoditas perdagangan yang diperebutkan oleh kalangan imperialis karena menjanjikan keuntungan besar.
Candu atau yang akrab disebut opium masyhur di kalangan para pecandu jauh-jauh abad sebelum maraknya narkotika. Tanaman opium sendiri punya nama beken “bunga poppy” (papaver somniverum) yang bukan asli tanaman Indonesia. Konon bunga poppy ini berasal dari Turki dan Persia yang dibawa masuk oleh pedagang Arab ke Jawa.
Ketika Belanda pertama kali menjejakkan kaki di pesisir Jawa pada akhir abad 16, candu sudah menjadi komoditas penting di tingkat internasional. Meski sistem perdagangan candu belum terbentuk secara formal hingga tahun 1809, para pedagang Tionghoa bersama EIC (Kongsi Dagang Inggris) telah memproduksi dan menjual candu di Jawa sejak dua abad sebelumnya.
Babak baru monopoli Belanda atas perdagangan candu di Jawa bermula ketika Amangkurat II, Raja Mataram, memberi hak monopoli perdagangan candu kepada VOC (Kongsi Dagang Belanda) pada tahun 1677. Peredaran candu baru diperbolehkan secara masif di kawasan pantai selatan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta pada permulaan abad 19. Ekspansi Belanda dijalankan sejak tahun 1830 dengan membuat sistem cocoktanam dan pendirian kantor perdagangan candu di berbagai daerah pedalaman.
Sejak itulah peredaran dan konsumsi candu meluas cepat di masyarakat. Henri Louis Charles TeMechelen, seorang Asisten Residen di Juwana Jawa Tengah yang sekaligus Kepala Regi Opium, mencatat bahwa pada tahun 1880-an satu dari duapuluh orang Jawa punya kebiasaan mengisap candu. Selain masyarakat pribumi, orang-orang Tionghoa juga merupakan konsumen utama candu. Sedikit sekali orang Tionghoa kaya yang bebas dari jeratan candu. Apalagi mengisap candu juga menjadi gaya hidup tersendiri. Sebuah kebanggan bagi para tamu yang berkunjung ke rumah orang-orang Tionghoa atau elite Jawa jika mereka dijamu dengan candu (halaman 30).
Orang-orang Tionghoa sendiri sebenarnya lebih banyak menjadi bandar atau cukong candu, selain para elite politik Jawa. Bandar-bandar di wilayah lokal ditunjuk Belanda melalui lelang: barang siapa berani menyetor pajak terbesar maka dinobatkan menjadi bandar. Perbandaran candu itu juga berimplikasi pada organisasi-organisasi petani yang kala itu justru didominasi oleh para pedagang Tionghoa. Sedang orang-orang pribumi kebanyakan hanya menjadi mata-mata atau pesuruh, selain menjadi target konsumen candu itu sendiri.
Begitulah analisis historis-sosiologis James R Rush, sejarawan asal Amerika, dalam bukunya Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910. Buku ini memaparkan napak tilas candu di Jawa, serta menelaah taktik kononial Belanda dalam memonopoli perdagangan candu di Indonesia demi menggendutkan pundi-pundi negaranya.
Rush cukup detail mengungkap persoalan perdagangan gelap atau penyelundupan candu di Jawa ketika hampir setengah abad candu mencapai popularitas tertingginya. Selain itu, segi patologi sosial candu juga ditelisik Rush secara mendalam. Orang-orang pribumi yang rata-rata berpenghasilan rendah telah menjadi korban perdagangan candu. Mereka terus-menerus mengeluarkan uang untuk mengisap candu meski harus mengesampingkan kebutuhan rumah tangga yang lebih vital.
Efek adiktif candu yang ditengarai berpotensi mematikan akhirnya memaksa Belanda harus membatasi konsumsi candu agar tidak berlebihan. Belum lagi munculnya banyak kritik terhadap pemerintah yang lebih mementingkan tujuan ekonomis perdagangan candu sehingga perdagangan candu menuai kontroversi panjang. Perdebatan tentang kebijakan pengendalian candu sebenarnya berkisar pada problem untuk menyelaraskan antara tujuan finansial dan tujuan etis (halaman 154).
Buku ini menggambarkan bahwa candu dicari sekaligus dicaci. Candu ibarat madu dan racun sekaligus. Memang perdagangan candu menjanjikan berkah ekonomis yang melimpah. Itulah mengapa ketika peredaran candu diperketat para bandar Tionghoa bangkrut, juga pendapatan pajak Belanda yang menyusut. Tetapi babak kepailitan perdagangan candu secara nasional itu di sisi lain menandai episode baru pemulihan sosial masyarakat dari efek-efek negatif candu yang tidak terhindarkan sebelumnya.
Musyafak, pengelola Open Mind Community Semarang, staf di Balai Litbang Agama Semarang
data bukuJudul : Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910
Penulis : James R Rush
Penerbit : Komunitas Bambu
Terbit : Cet I, Juni 2012
ISBN : 978-602-9402-10-0
Tebal : xvi + 280 hlm
