Friday, April 05, 2013

Sejarah Revolusi dan Potret Wajah Kiri

0
Narasi tentang sejarah revolusi di Indonesia belum benar-benar rampung tergarap. Jacques Leclerc, sejarahwan Perancis yang menaruh perhatian khusus terhadap perpolitikan Indonesia, menerbitkan catatan-catatan yang memperkaya, sekaligus sebagai bandingan, tentang riwayat revolusi dan sepak terjang kaum revolusioner. Di antaranya dihimpun dalam buku Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka. Asupan kritis untuk membaca riwayat politik keindonesiaan di tengah penggambaran para tokoh kiri atau komunis yang selama ini menjadi korban stigmatisasi.

Istilah “kiri” dalam perbendaharaan politik dunia, merupakan ekor ideologis dari Revolusi Perancis. Penahbisan identitas tersebut bermula sejak keberadaan para wakil rakyat di Parlemen Perancis yang duduk di sisi sebelah kiri ketua parlemen. “Kiri” mewakili gagasan “kedaulatan bangsa” yang hendak merontokkan “kedaulatan raja”. Ikhtiar membangun kedaulatan dari bawah dan menumpas otoritarianisme dalam rangka menegakkan demokrasi (hlm 23). Istilah “kiri” kian populer di Eropa beriringan dengan munculnya istilah “sosialisme” dan “komunisme”. Ketiga istilah tersebut kemudian saling mengait.

Himpunan catatan Leclerc paling tidak memaparkan tiga hal; pertama, identifikasi gerakan kiri beserta tokoh-tokohnya yang mengemuka, dan membedakan ideologi serta taktik gerakan mereka dengan lainnya. Kedua, pembacaan posisi dan peran kaum kiri di dalam upaya memperjuangkan kebebasan rakyat dari cengkeraman kolonial. Ketiga, penggambaran konstelasi politik Indonesia di masa awal kebangkitan nasional sejak permulaan abad ke-20 hingga Orde Lama, di samping menyingkap kompetisi politik yang terjadi antara kaum komunis, nasionalis dan kanan.

Kaum kiri memiliki kontribusi penting bagi kesadaran berbangsa di awal abad ke-20. Berdirinya Sindikat Buruh Kereta Api (Vereeniging Van Spooren Tramweg Personeel) pada tahun 1908 merupakan cikal-bakal gerakan kiri berhaluan sosialis-komunis di Indonesia. Momentum itu nyaris bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo, yang selama ini dinyatakan para sejarawan sebagai tonggak kesadaran nasional yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional setiap 20 Mei.

Kemunculan keduanya merupakan wujud dari kebutuhan baru warga Hindia-Belanda atas gerakan pembebesan secara terorganisir. Di tahun-tahun selanjutnya, propaganda dan perlawanan sindikat buruh terus bermetamorfosis menyelaraskan agenda perjuangan. Pada 23 Mei 1920, terbentuk Perserikatan Komunis di India, yang kemudian berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi politik inilah yang pertama kali menggunakan istilah “partai”, sebagai penegas akan kebutuhan pergerakan yang mustinya menerapkan disiplin politik untuk mencapai tujuannya.
Tokoh-tokoh kiri yang kentara hingga kurun 1920-an di antaranya Semaun, Winanta, dan Darsono. Di periode-periode berikutnya, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Musso, DN Aidit dan Njoto, adalah para penerus gerakan sosialis-komunis yang berada di bawah bayang-bayang krisis ideologis dan praksis, di samping represi kolonial yang selalu berupaya mengubur komunisme.

Amir adalah sosok pejuang kemerdekaan yang secara politik tersingkirkan, bahkan ia dihukum tembak pada 19 Desember 1948 oleh militer. Ia tampil dalam babak-babak gerakan kiri yang dilematis dalam upayanya mempertemukan revolusi dengan negara. Sebagaimana diimani kaum sosialis-komunis, revolusi adalah perjuangan melawan negara, di mana negara cenderung berwatak kooperatif dan diplomatis. Tetapi di masa-masa awal kemerdekaan, Amir mau tidak mau memakai strategi diplomasi sebagai taktik mempertahankan kemerdekaan, di samping meneguhkan kedaulatan negara di mata dunia. Sebab itu ia diserang oleh berbagai golongan kiri yang mengukuhi prinsip-prinsip politik radikal atau ekstrem.

Itu menyiratkan pandangan Amir tentang revolusi, bahwa revolusi bukanlah peristiwa perubahan politik yang pecah dan selesai pada satu momentum. Justru revolusi adalah kesinambungan yang terus-menerus. Pada Kongres Pemuda ke-2 di Yogyakarta, Amir menyeru pemuda untuk meneruskan revolusi yang telah dimulai oleh para pendahulu, termasuk dirinya, agar tidak jatuh ke tangan calo-calo politik yang berjiwa korup (hlm 68).

Dari Leclerc kita bisa membaca, “kiri” di Indonesia bukan wajah tunggal tentang komunisme. “Kiri” juga label kaum nasionalis yang mengimani ideologi sosialisme, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ideologi Marhaenisme merupakan bentuk dari pribumisasi sosialisme-komunisme yang digagas kaum nasionalis dan kaum komunis.

Kontribusi Amir dalam pemerintahan Indonesia yang masih muda terlacak dalam kombinasi “empat sekawan”, yakni Amir, Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Keempatnya, di satu sisi, memerankan suatu kerja sama politik untuk menegakkan kedaulatan Indonesia. Di sisi lain, berada dalam lingkaran rivalitas politik penuh intrik yang mendesak salah satu dari mereka menjadi “korban”. (Musyafak)
data buku
Judul        : Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka
Penulis    : Jacques Leclerc
Penerbit    : Marjin Kiri, Tangerang
Cetakan    : I, Oktober 2011
Tebal        : xvii + 178 hlm
ISBN        : 978-979-1260-12-1

Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment