Salah kaprah jika memaknai politik radikal sebagai gerakan politik yang mengedepankan cara-cara kekerasan. “Sesat” pemahaman tersebut menjebak jamak orang pada kesilapan, sehingga substansi politik radikal kerap diluputkan di dalam diskursus politik.
Jauh-jauh hari saya membaca buku Teologi Politik Radikal (Jendela, 2000) karangan Michael Novak. Menjelaskan politik radikal sebagai upaya perubahan sosial dengan cara-cara revolusioner. Atas nama pengalaman dan moral, agen-agen bergerak memprotes kebakuan sistem yang menyingkirkan hak-hak sebagian masyarakat. Menentang ideologi, tafsir, aturan, dan bentuk politik yang mapan atas nama keutamaan: masyarakat nyata, termasuk diri mereka, yang terabaikan oleh sistem.
Kehadiran buku Teori Militansi: Esai-esai Politik Radikal karya Donny Gahral Adian, melengkapkan dan memperluas horizon pemahaman tentang politik radikal. Adian, mengurai landasan filosofis politik radikal dalam rangka memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan warga-masyarakat secara menyeluruh dan dari akarnya.
Merujuk para filsuf politik radikal seperti Chantal Mouffe, Ernesto Laclau dan Alain Badiou, buku ini memolakan perubahan sosial yang dibangun atas nama kesetaraan radikal yang harus diperjuangkan secara militan. Politik radikal mengisbatkan suatu modus politik yang beroperasi di luar politik kelembagaan, mengambil jarak dengan negara, serta bergerak di luar struktur (hlm 40).
Militansi bermakna laku bersetia pada keyakinan-komitmen politik bersama, yang ditengarai hadir-bertolak dari pembentukan identitas kolektif secara antagonistik. Antagonisme menegaskan adanya pembedaan identitas, bahkan perang posisi, dengan pihak lain yang diputuskan sebagai lawan politik.
Militansi memuat tabiat politik radikal yang memihaki politik sebagai tindakan menjatuhkan keputusan di arena politik. Militansi secara intens dan terus-menerus memutuskan batas-batas kolektif dan menciptakan pertentangan tentang siapa “kami” siapa “mereka”.
Namun militansi bukanlah kebekuan yang menjebak subyek militan pada fanatisme yang destruktif. Antagonisme dan konfrontasi dibangun di atas prinsip kesetaraan. Gagasan politik diperjuangkan menggebu-gebu, di sisi lain menghargai kehendak lawan untuk mengusung gagasan, dan menolak upaya penyingkiran.
Militansi tak lain perlawanan subyek terhadap dominasi, atau kesadaran politik antikekuasaan (hlm 70). Subyek militan lahir dari peristiwa yang membelah diri-kesadaran eksistensialnya. Subyek militan hadir karena desakan peristiwa yang sarat tegangan politik, melibatkannya dalam peristiwa yang bergolak dalam kurun terbatas. Karenanya, kesetiaan, sebagaimana pandangan Badiou, bukanlah keterikatan subyek pada masa lalu, melainkan pertaruhan akan masa depan yang serbamungkin dan tak terduga.
Menggugat Demokrasi
Tiga esai panjang bertajuk “Demokrasi”, “Militansi” dan “Subjek” di buku ini menyumbang kritik aktual bagi keberlangsungan sistem demokrasi liberal di Indonesia. Demokrasi liberal menjunjung tinggi sekaligus memberi peluang mekarnya individualitas. Sementara itu gagap memahami terbentuknya identitas kolektif dan subyek-subyek militan.
Negara dikelola untuk meloloskan kepentingan kebebasan individu-individu yang cenderung gagal memahami kehendak umum, kecuali mengedepankan kepentingan pribadinya. Alih-alih demokrasi mengikrarkan parlemen sebagai ruang mengkomunikasikan urusan-urusan publik, sebaliknya parlemen sebatas kepanjangan tangan dari keputusan-keputusan yang dibuat di sekretariat partai politik atau koalisi.
Politik radikal menuding demokrasi liberal—yang identik dengan demokrasi prosedural—senapas pasar bebas. Kompetisi politik dimenangkan melalui jor-joran pengiklanan dan survei guna mendulang popularitas. Partisipasi langsung individu-individu dianggap cukup memadai bagi penyaluran hak politik publik. Di balik itu, demokrasi menahbiskan pemilu untuk melegitimasi kekuasaan, bukannya penjaminan hak-hak publik secara berkelanjutan.
Demokrasi menghilangkan wacana kawan-lawan. Konfrontasi absen dalam ihwal mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik kolektif tertentu. Konfrontasi tergantikan dengan negosiasi-kompromi di kalangan elite yang rentan manipulasi.
Apatisme publik terhadap politik pun meningkat karena partai-partai politik maujud homogen, tidak memiliki identitas atau pemihakan ideologis yang khas. Demokrasi terperangkap menjadi pola kerja dominatif-diskriminatif yang menyingkirkan kaum minoritas dan lemah. Buku ini relevan sebagai acuan bagi kaum militan untuk memformulasikan gerakan-gerakan massa. Sekaligus menjadi alternatif wacana kiri yang getol menyuarakan perubahan.
--Musyafak, penggiat Open Mind Community Semarang
data buku
Judul : Teori Militansi: Esai-esai Politik Radikal
Penulis : Donny Gahral Adian
Penerbit: Koekoesan, Jakarta
Tahun : Cet I, Oktober 2011
ISBN : 978-979-1442-51-0
Jauh-jauh hari saya membaca buku Teologi Politik Radikal (Jendela, 2000) karangan Michael Novak. Menjelaskan politik radikal sebagai upaya perubahan sosial dengan cara-cara revolusioner. Atas nama pengalaman dan moral, agen-agen bergerak memprotes kebakuan sistem yang menyingkirkan hak-hak sebagian masyarakat. Menentang ideologi, tafsir, aturan, dan bentuk politik yang mapan atas nama keutamaan: masyarakat nyata, termasuk diri mereka, yang terabaikan oleh sistem.
Kehadiran buku Teori Militansi: Esai-esai Politik Radikal karya Donny Gahral Adian, melengkapkan dan memperluas horizon pemahaman tentang politik radikal. Adian, mengurai landasan filosofis politik radikal dalam rangka memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan warga-masyarakat secara menyeluruh dan dari akarnya.
Merujuk para filsuf politik radikal seperti Chantal Mouffe, Ernesto Laclau dan Alain Badiou, buku ini memolakan perubahan sosial yang dibangun atas nama kesetaraan radikal yang harus diperjuangkan secara militan. Politik radikal mengisbatkan suatu modus politik yang beroperasi di luar politik kelembagaan, mengambil jarak dengan negara, serta bergerak di luar struktur (hlm 40).
Militansi bermakna laku bersetia pada keyakinan-komitmen politik bersama, yang ditengarai hadir-bertolak dari pembentukan identitas kolektif secara antagonistik. Antagonisme menegaskan adanya pembedaan identitas, bahkan perang posisi, dengan pihak lain yang diputuskan sebagai lawan politik.
Militansi memuat tabiat politik radikal yang memihaki politik sebagai tindakan menjatuhkan keputusan di arena politik. Militansi secara intens dan terus-menerus memutuskan batas-batas kolektif dan menciptakan pertentangan tentang siapa “kami” siapa “mereka”.
Namun militansi bukanlah kebekuan yang menjebak subyek militan pada fanatisme yang destruktif. Antagonisme dan konfrontasi dibangun di atas prinsip kesetaraan. Gagasan politik diperjuangkan menggebu-gebu, di sisi lain menghargai kehendak lawan untuk mengusung gagasan, dan menolak upaya penyingkiran.
Militansi tak lain perlawanan subyek terhadap dominasi, atau kesadaran politik antikekuasaan (hlm 70). Subyek militan lahir dari peristiwa yang membelah diri-kesadaran eksistensialnya. Subyek militan hadir karena desakan peristiwa yang sarat tegangan politik, melibatkannya dalam peristiwa yang bergolak dalam kurun terbatas. Karenanya, kesetiaan, sebagaimana pandangan Badiou, bukanlah keterikatan subyek pada masa lalu, melainkan pertaruhan akan masa depan yang serbamungkin dan tak terduga.
Menggugat Demokrasi
Tiga esai panjang bertajuk “Demokrasi”, “Militansi” dan “Subjek” di buku ini menyumbang kritik aktual bagi keberlangsungan sistem demokrasi liberal di Indonesia. Demokrasi liberal menjunjung tinggi sekaligus memberi peluang mekarnya individualitas. Sementara itu gagap memahami terbentuknya identitas kolektif dan subyek-subyek militan.
Negara dikelola untuk meloloskan kepentingan kebebasan individu-individu yang cenderung gagal memahami kehendak umum, kecuali mengedepankan kepentingan pribadinya. Alih-alih demokrasi mengikrarkan parlemen sebagai ruang mengkomunikasikan urusan-urusan publik, sebaliknya parlemen sebatas kepanjangan tangan dari keputusan-keputusan yang dibuat di sekretariat partai politik atau koalisi.
Politik radikal menuding demokrasi liberal—yang identik dengan demokrasi prosedural—senapas pasar bebas. Kompetisi politik dimenangkan melalui jor-joran pengiklanan dan survei guna mendulang popularitas. Partisipasi langsung individu-individu dianggap cukup memadai bagi penyaluran hak politik publik. Di balik itu, demokrasi menahbiskan pemilu untuk melegitimasi kekuasaan, bukannya penjaminan hak-hak publik secara berkelanjutan.
Demokrasi menghilangkan wacana kawan-lawan. Konfrontasi absen dalam ihwal mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik kolektif tertentu. Konfrontasi tergantikan dengan negosiasi-kompromi di kalangan elite yang rentan manipulasi.
Apatisme publik terhadap politik pun meningkat karena partai-partai politik maujud homogen, tidak memiliki identitas atau pemihakan ideologis yang khas. Demokrasi terperangkap menjadi pola kerja dominatif-diskriminatif yang menyingkirkan kaum minoritas dan lemah. Buku ini relevan sebagai acuan bagi kaum militan untuk memformulasikan gerakan-gerakan massa. Sekaligus menjadi alternatif wacana kiri yang getol menyuarakan perubahan.
--Musyafak, penggiat Open Mind Community Semarang
data buku
Judul : Teori Militansi: Esai-esai Politik Radikal
Penulis : Donny Gahral Adian
Penerbit: Koekoesan, Jakarta
Tahun : Cet I, Oktober 2011
ISBN : 978-979-1442-51-0