Friday, April 05, 2013

Memulihkan Kebangkrutan Etika Politik

0
Kebangkrutan etika politik mengimbas pada kemerosotan demokrasi yang kian gagap menerjemahkan kehendak publik. Minusnya etika politik menyebabkan publik mengalami keyatiman politik, sehingga suaranya semakin sumbang, samar, dan asing. Alih-alih mengelola polis (baca: negara) dan warganya, rasanya politik di negeri ini justru sibuk main sekongkol dan mengarak muslihat untuk meluluskan kepentingan-kepentingan kelompok. Etika politik, yang berarti tanggung jawab individu atau golongan terhadap keseluruhan elemen negara telah absen dari percaturan politik.

Kumpulan esai F Budi Hardiman, Robertus Robert, A Setyo Wibowo, dan Thomas Hidya Tjaya yang tergabung dalam buku Empat Esai Etika Politik ini dihadirkan dalam rangka mengatasi kebangkrutan etika politik. Menilik ulang etika politik secara filosofis guna merumuskan arah politik kebangsaan menuju keadaban yang semestinya. Ikhtiar mengintensifkan kesadaran politik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etis yang didedahkan oleh para filsuf besar Juergen Habermas, Jacques Rancière, Albert Camus, dan Emmanuel Levinas.


Kritik Demokrasi
Rancière, filsuf asal Perancis, seperti diulas Robert, menilai politik sebagai praktik penubuhan kehendak yang membelah-belah subyek hingga tercipta partisi-partisi hierarkis di dalam ruang bersama. Suatu praktik kekuasaan yang membariskan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk dikondisikan menempati peran sebagai “yang memerintah” dan “yang diperintah”.

Untuk mengatasi keterbelahan antarsubyek itu, diperlukan kekuatan “yang politis”. Yakni suatu upaya menginterupsi sensibilitas antarindividu atau kelompok dengan mengukuhkan kembali kehadiran mereka yang terusir dari pusat komunitas politis. Ikhtiar menyediakan cara bagi “yang tidak terhitung” agar muncul dan masuk sebagai bagian komunitas. Sekaligus memekarkan kapasitas-kapasitas baru atas dasar kesetaraan.

Pemikiran Habermas, filsuf sekaligus sosiolog Jerman, disasar dalam konteks lebih praktis oleh Hardiman. Habermas tidak semata mengimani formalisme demokrasi atau demokrasi instrumental yang kini mati-matian dipihaki oleh negara-negara berkembang. Demokrasi tidak musti dimaknai secara minimalis sekadar partisipasi warga negara di dalam pemilu, tetapi juga sebagai garansi hak-hak komunikasi publik secara berkelanjutan.

Hak-hak komunikasi itu membutuhkan adanya public sphere (ruang publik) yang memiliki kekuatan politis. Warga negara musti diberi ruang untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya terkait segala persoalan yang relevan di masyarakat. Sedianya suara-suara yang sensitif publik itu lantas dikelola oleh sistem politik yang ada. Ruang publik ini menjadi tempat untuk mempersepsi sekaligus mengklasifikasikan masalah-masalah sosial-politis. Selain itu berfungsi sebagai mediator yang sanggup mengelola pelbagai variabel kepentingan yang ada. Jika ruang publik dapat berfungsi secara maksimal, maka posisinya sebagai “struktur intermedier” yang menghubungkan publik dengan pemerintah semakin memiliki kekuatan politis.

Politik keterlibatan
Levinas (1906-1995) hadir dengan kredonya respondeo ergo sum; saya bertanggung jawab maka saya ada. Pandangan ini meruntuhkan totalitas subyek yang selama berabad-abad menjadi obsesi filsafat Barat modern. Kehendak bertanggung jawab pada orang lain merupakan laku “ketidakutuhan” individu sebagai subyek tunggal. Melainkan sisi kesadaran yang mengafirmasi kehadiran orang lain bukan serta-merta sebagai obyek yang seutuhnya “liyan”, tetapi bagian dari “aku” si subyek itu sendiri. Gagasan Levinas tersebut dielaborasi oleh Tjaya, bahwasanya kedirian manusia dengan segala penubuhan kehendaknya justru menyediakan kemungkinan pengungkapan tanggung jawab sebagai sebuah kebaikan bagi orang lain.

Wibowo mengetengahkan pemikiran Camus (1913-1960), seorang filsuf berhaluan absurdisme yang tenar dengan karyanya Le Mythe de Sisyphe (Mite Sisifus) atau La Peste (Sampar). Camus senantiasa mengoarkan kondisi absurditas manusia, bukan semata-mata ekspresi pesimis-nihilisnya dalam memahami kondisi-kondisi antara idealitas dan realitas yang semakin berbenturan. Justru pemikirannya hadir secara intensif dengan misi mengatasi sekaligus melawan absurditas.

Absurditas ala Camus adalah penggambaran situasi chaos (kacau) yang melahirkan berbagai kontradiksi, negasi, serta ketidakmenentuan, sehingga memunculkan persepsi bahwa segala sesuatu bergerak menuju kesia-siaan.  Harapan-harapan rakyat terpaksa bungkam di tengah derasnya kenyataan pahit yang menimpanya. Taruhlah kebijakan pemerintah yang tidak selaras harapan rakyat, juga wakil rakyat yang tidak lagi menjadi penyambung lidah rakyat. 


Absurditas politik berbangsa itu bisa diringankan dengan moral keterlibatan. Moral keterlibatan, seperti didengungkan Camus, bermakna upaya membendung terjadinya fatalisme politik. Moral keterlibatan berabstraksi dalam kehendak berperang melawan kebatilan agar tidak jatuh korban politik yang lebih banyak. Moral ini memosisikan kekuatannya secara politis di sisi para korban, sebagai bentuk pembelaan terhadap yang lemah, yang “tak bersuara”.

Etika politik yang didedah keempat filsuf tersebut dapat diretas sebagai penyelamatan politik dengan perimbangan kehendak “yang politis”. Dan, “yang politis” itu menuntut politik untuk menyediakan ruang bersama dalam rangka bertukar pendapat sekaligus saling terlibat dan bertanggung jawab satu sama lainnya dalam perkara bermasayarakat-berbangsa. Sehingga politik bukan lagi penubuhan kehendak yang berbuah tragis untuk memecah, membelah, dan menceraikan antarindividu maupun kelompok. (Musyafak)


data bukuJudul     : Empat Esai Etika Politik
Penulis  : F. Budi Hardiman, Robertus Robert, A Setyo Wibowo, Thomas Hidya Tjaya
Penerbit : www.srimulyani.net
Tahun      : I, Februari 2011
Tebal    : xxiv + 120 halaman
ISBN     : 978-6029861402

Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment