Friday, April 05, 2013

Menjumpai Islam di Perahu Nelayan

0
Islam tidak hanya bisa dijumpai di masjid, tetapi juga dapat ditemui di perahu. Kedua tempat itu, bagi komunitas nelayan muslim di Mandar, merupakan medan di mana agama dan budaya lokal saling bergumulan.

Telah lama Indonesia masyhur sebagai bangsa maritim sebab aktivitas kehidupan masyarakatnya tidak lepas dari laut. Sejak zaman nenek moyang, laut menyediakan sumber penghidupan yang melimpah. Selain itu juga membentangkan banyak risiko. Gelombang dan badai, misalnya, kerap mengancam keselamatan para pelaut ketika mencari nafkah.

Sebagai bangsa religius, masyarakat berpandangan bahwa laut bukan hanya fenomena naturalistik, tetapi juga spiritualistik. Laut diciptakan oleh zat adikodrati, juga dijaga oleh roh-roh berkekuatan luar biasa yang niscaya mengganggu.

Perkecimpungan manusia dengan laut yang penuh risiko itu lantas melahirkan berbagai ekspresi spiritualitas yang khas di komunitas nelayan muslim. Wujudnya adalah ritual-ritual yang pada dasarnya merupakan hasil perjumpaan antara ajaran Islam dengan tradisi lokal masyarakat. Hasil dari integrasi keduanya itulah yang kemudian disebut sebagai Islam lokal (hlm 6). Dalam kerangka wacana itulah buku Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal yang ditulis oleh Arifuddin Ismail hadir. Ragam ekspresi spiritualitas masyarakat nelayan Mandar di buku ini menggambarkan berlangsungnya “pribumisasi Islam” di dalam proses dialektika budaya.

Kemenarikan buku ini bukan saja terletak pada narasi berlangsungnya dialog antara ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal sehingga saling berintegrasi. Tetapi lebih kepada analisis yang bersifat antropologis-agamis atas pelaksanaan ritual di komunitas nelayan. Seluk-beluk, prosesi dan tujuan ritual ditonjolkan, di samping simbol atau mantra yang digunakan. Makna ritual pun diusut dengan menekankan perspesktif emik guna memahami perilaku keagamaan dari sudut pandang pelakunya.

Salah satu ritual nelayan Mandar adalah kuliwa yang digelar sebelum melaut. Biasanya dilakukan di perahu dengan menggunakan sejumlah makanan tradisional dan bernuansa simbolistis. Misalnya sokkol (ketan), tallo manu (telor burung), loka manurung (pisang kepok), loka tira (pisang raja), loka warangan (pisang ambon warangan), cucur miana (kue pelang) dan ule-ule (bubur). Sokkol dan tallo manu merupakan simbol pengharapan keselamatan, sementara loka, cucur dan ule-ule adalah simbolisasi pengharapan rezeki (hlm 154). Ritual ini diisi pembacaan Barzanji, doa dan makan bersama yang ikuti oleh kiai/ ustadz, juragan perahu, nahkoda perahu, nelayan dan masyarakat sekitar.

Ritual-ritual lain dilaksanakan sebelum menebang kayu untuk pembuatan perahu, atau ritual ketika pembuatan perahu segera dikerjakan. Terdapat pula ritual untuk mengungkapkan rasa syukur setelah nelayan mendarat dengan selamat serta membawa hasil memuaskan, yaitu mabbaca-baca dan mappabuka. Ritual-ritual tersebut tidak semata-mata bernuansa religius, tetapi juga mengandung nilai kedermawanan yang berfungsi memelihara kohesi sosial.


Aktivitas kebaharian nelayan tidak bisa dilepaskan dari unsur mistik. Kepercayaan terhadap “penjaga laut” masih cukup kental. Tetapi hal itu diselaraskan dengan ajaran Islam, terbukti dengan masuknya beberapa nama nabi di dalam mantra-mantra mereka. Khususnya Nabi Khidir, atau bisa disebut Nabi Heler, yang menurut kepercayaan mereka diberi wewenang oleh Allah untuk menjaga laut.

Begitu pula ketika berada di atas perahu, perilaku nelayan diikat oleh norma-norma mistik yang berbentuk pemali atau larangan. Pemali itu sebenarnya bersifat etis, yang disangkutkan dengan penghormatan kepada makhluk-makhluk gaib di laut agar tidak mengganggu keselamatan. Ketika melaut nelayan dilarang, misalnya, bicara kotor atau bertengkar, membuang sisa makanan ke laut seenaknya, menyebut kata-kata yang bermakna pesimistik, dan sebagainya.

Corak religiusitas nelayan Mandar cenderung sufistik. Misalkan pandangan soal mengenai rezeki, mereka lebih memilih rezeki yang berkah, ketimbang hanya melimpah. Falsafah hidup itu dikenal dengan istilah barakkaq (berkah), yang melandasi spirit mappaccingi alawe, yakni pembersihan diri dari rezeki yang tidak halal (hlm 221).

Buku ini memberikan paparan cukup berarti dalam mewacanakan Islam lokal yang sebenarnya merupakan corak khas wajah Islam Indonesia. Di tengah menguatnya gerakan-gerakan puritanisme keagamaan yang secara serentak “memusuhi” tradisi-tradisi lokal, wacana Islam lokal perlu terus didorong ke permukaan. (Musyafak)

data buku
Judul Buku    : Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal
Penulis        : Dr. Arifuddin Ismail
Penerbit    : Pustaka Pelajar
Tahun        : Cetakan I, Juni 2012
Tebal        : xvi + 242 hlm
ISBN        : 978-602-229-049-0

Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment