Syahwat kekerasan membuncah kembali di Sampang. Serangan terhadap komunitas Syiah di Karang Gayam, Sampang, Madura, merupakan tragedi kekerasan berselubung agama yang kesekian kalinya menimpa komunitas muslim yang menyebut diri mazhab ahl al-bait itu. Dalam tragedi itu, sejumlah orang korban luka, rumah-rumah dibakar, dan dua orang tewas.
Ironisnya, libido aniaya itu tersalurkan ketika atmosfer lebaran yang penuh kasih dan maaf masih mengelimuni masyarakat muslim. Sebelumnya, pada pengujung Desember tahun 2011 silam, komplek madrasah dan rumah ibadah serta kediaman pemuka Syiah di daerah yang sama juga dibakar.
Serta-merta citra agama kembali hadir seolah tampakan yang ngeri nan miris, meski latar seteru berdarah itu ditengarai banyak pihak bukanlah konflik agama. Menteri Agama Suryadharma Ali, misalnya, menilai kerusuhan di Sampang bukan masalah agama. Melainkan konflik keluarga antara Tajul Muluk yang menganut paham Syiah dengan Roisul Hukama penganut Suni. Saling tikai dua bersaudara yang berlarut-larut itu akhirnya melibatkan dua kelompok keagamaan Syiah dan Suni.
Secara tersirat penilaian tersebut memaklumkan bahwa kerusuhan di Sampang merupakan konflik komunal yang timbul dari picuan seteru individu. Franz Magnis-Suseno, seorang mahaguru di STF Driyarkara, mendefiniskan konflik komunal sebagai konflik yang berlangsung antarkomunitas. Ciri khasnya bisa bersifat kesukuan, kedaerahan, kebudayaan atau keagamaan.
Dalam risalahnya “Kekerasan Atas Nama Agama" (Jurnal Ma‘arif Vol 5 No 2 2010) Suseno menerangkan terjadinya konflik komunal ketika konflik antarindividu atau beberapa orang melibatkan komunitas primordial yang terdiri dari individu-individu lain sebagai anggotanya. Konflik komunal berciri agama jarang berkaitan dengan ekstremisme dan radikalisme religius, kecuali dengan rasa solidaritas primordial keumatan. Walhasil “fanatisme primordial" bisa dijadikan kata kunci dalam memahami konflik Suni-Syiah di Sampang.
Prasangka Sesat
Namun kompleksitas variabel menandakan bahwa kerusuhan di Sampang tidak sesederhana konflik komunal yang mendapatkan sulutan perkara perorangan. Apalagi selama ini sebetulnya ada konflik laten yang mengendap dalam balutan “prasangka sesat‘ yang dituduhkan kaum mayoritas kepada Syiah di Indonesia.
Kasus Sampang yang kembali mencuat selama dua tahun belakangan ini merupakan representasi gesekan antara Suni dan Syiah di Madura juga telah berlangsung lama. Tahun 2006, sekitar 50 Ulama Madura mengeluarkan maklumat atas ajaran Syiah yang disebarkan Tajul Muluk tergolong Ghulah (Rifadlah) karena sebagian doktrin yang membenci dan merendahkan Sahabat Nabi atau khulafa‘ ar-rasyidin, selain berlebih-lebihan dalam memuliakan ahl al-bait (keturunan nabi).
Munculnya desakan banyak pihak di Jawa Timur agar MUI setempat mengeluarkan fatwa tentang Syiah sejak Desember 2011 lalu menegaskan pekatnya warna keagamaan di dalam konflik Sampang. Ujungnya, 21 Januari 2012 MUI Jawa Timur menerbitkan keputusan fatwa bernomor Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012. Isinya: menetapkan bahwa ajaran Syiah, khususnya Imamiyah Itsna Asyariyah serta ajaran-ajaran yang memiliki kesamaan dengannya sebagai paham yang sesat dan menyesatkan.
Begitulah “prasangka sesat" tidak bisa dinafikan telah menempati lokus khusus dalam konflik komunal berciri agama di Sampang. Prasangka minus dalam berteologi-agama semacam itu celakanya menjadi “dalih suci" bagi kaum mayoritas untuk menyerang kelompok minoritas yang dianggap sesat.
Tudingan sesat semacam itu sudah diwanti-wanti oleh sebagian ulama agar tidak terjadi. Misal Al-Syatibi, pakar ilmu fikih dari Spanyol pada abad ke-8 H yang masyhur dengan teori maqashid al-syari‘ah, mengingatkan dalam bukunya Al-Muwafaqat agar suatu kelompok tidak menuding sesat kepada kelompok lain dengan tujuan agar tidak menimbulkan perpecahan dan disharmoni di kalangan umat muslim.
Itulah mengapa fatwa-fatwa sesat MUI sering kali dikritisi oleh pelbagai kalangan yang prokebebasan berkeyakinan dan beragama, atau kalangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia di atas klaim-klaim “kesucian agama".
Dominasi Komunal
Kesan janggal tampak dalam Fatwa MUI Jawa Timur Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012. Bilamana memang fatwa itu secara khusus menyasar kepada ajaran Syiah yang dianut oleh kelompok Tajul Muluk yang sejak mula disinyalir sebagai Syiah Ghulah (Rifadlah), mengapa ketetapan fatwa itu justru menunjuk bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah sebagai sesat dan menyesatkan?
M Quraish Shihab dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep dan Pemikiran, menjelaskan bahwa Itsna Asyariyah merupakan paham yang dianut oleh mayoritas Syiah. Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari penduduk Irak dan Iran, selain menjadi bagian dari komunitas muslim di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, dan beberapa negara bekas Uni Soviet (Shihab, 2007: 83). Dinyatakan, Itsna Asyariyah tergolong Syiah yang sahih: meski memiliki perbedaan sekaligus persamaan dengan Suni, secara fundamental tauhid dan keimanan Syiah tidak rusak dan cedera.
Sementara Syiah Ghulah yang teridentifikasi sebagai ekstremis, yang juga menyebal menjadi beberapa kelompok seperti Rifadlah, Al-Sabaiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Manshuriyah, dan sebagainya, hampir dikatakan telah punah (Shihab, 2007).
Tidak heran bilamana tumbuh kecurigaan bahwa fatwa-fatwa tentang Syiah merupakan upaya sistematis-politis untuk mendiskreditkan semua kelompok Syiah di Indonesia--bukan hanya ajaran yang dipeluk Tajul Muluk dan pengikutnya di Sampang. Upaya semacam itu bila diusut-usut sudah berlangsung sejak 1980-an.
Tonggaknya adalah terbitnya Fatwa MUI, 7 Maret 1984, yang menerangkan perbedaan pokok-pokok ajaran antara Syiah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Fatwa itu sekaligus mengimbau umat muslim Indonesia agar meningkatkan kewaspadaan akan masuknya paham Syiah.
Kecurigaan terhadap fatwa-fatwa yang ada pada tahap selanjutnya bisa saja menyentuh level yang lebih substansial: jangan-jangan sesat dan tidaknya paham/ajaran hanya tergantung kedudukannya sebagai minoritas atau mayoritas. Betapa kecurigaan semacam itu lagi-lagi mengingatkan bahwa agama rentan jatuh di bawah dominasi komunal bernama mayoritas.
--Musyafak, staf di Balai Litbang Agama Semarang
(Jurnal Nasional, 31 Agustus 2012)
Ironisnya, libido aniaya itu tersalurkan ketika atmosfer lebaran yang penuh kasih dan maaf masih mengelimuni masyarakat muslim. Sebelumnya, pada pengujung Desember tahun 2011 silam, komplek madrasah dan rumah ibadah serta kediaman pemuka Syiah di daerah yang sama juga dibakar.
Serta-merta citra agama kembali hadir seolah tampakan yang ngeri nan miris, meski latar seteru berdarah itu ditengarai banyak pihak bukanlah konflik agama. Menteri Agama Suryadharma Ali, misalnya, menilai kerusuhan di Sampang bukan masalah agama. Melainkan konflik keluarga antara Tajul Muluk yang menganut paham Syiah dengan Roisul Hukama penganut Suni. Saling tikai dua bersaudara yang berlarut-larut itu akhirnya melibatkan dua kelompok keagamaan Syiah dan Suni.
Secara tersirat penilaian tersebut memaklumkan bahwa kerusuhan di Sampang merupakan konflik komunal yang timbul dari picuan seteru individu. Franz Magnis-Suseno, seorang mahaguru di STF Driyarkara, mendefiniskan konflik komunal sebagai konflik yang berlangsung antarkomunitas. Ciri khasnya bisa bersifat kesukuan, kedaerahan, kebudayaan atau keagamaan.
Dalam risalahnya “Kekerasan Atas Nama Agama" (Jurnal Ma‘arif Vol 5 No 2 2010) Suseno menerangkan terjadinya konflik komunal ketika konflik antarindividu atau beberapa orang melibatkan komunitas primordial yang terdiri dari individu-individu lain sebagai anggotanya. Konflik komunal berciri agama jarang berkaitan dengan ekstremisme dan radikalisme religius, kecuali dengan rasa solidaritas primordial keumatan. Walhasil “fanatisme primordial" bisa dijadikan kata kunci dalam memahami konflik Suni-Syiah di Sampang.
Prasangka Sesat
Namun kompleksitas variabel menandakan bahwa kerusuhan di Sampang tidak sesederhana konflik komunal yang mendapatkan sulutan perkara perorangan. Apalagi selama ini sebetulnya ada konflik laten yang mengendap dalam balutan “prasangka sesat‘ yang dituduhkan kaum mayoritas kepada Syiah di Indonesia.
Kasus Sampang yang kembali mencuat selama dua tahun belakangan ini merupakan representasi gesekan antara Suni dan Syiah di Madura juga telah berlangsung lama. Tahun 2006, sekitar 50 Ulama Madura mengeluarkan maklumat atas ajaran Syiah yang disebarkan Tajul Muluk tergolong Ghulah (Rifadlah) karena sebagian doktrin yang membenci dan merendahkan Sahabat Nabi atau khulafa‘ ar-rasyidin, selain berlebih-lebihan dalam memuliakan ahl al-bait (keturunan nabi).
Munculnya desakan banyak pihak di Jawa Timur agar MUI setempat mengeluarkan fatwa tentang Syiah sejak Desember 2011 lalu menegaskan pekatnya warna keagamaan di dalam konflik Sampang. Ujungnya, 21 Januari 2012 MUI Jawa Timur menerbitkan keputusan fatwa bernomor Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012. Isinya: menetapkan bahwa ajaran Syiah, khususnya Imamiyah Itsna Asyariyah serta ajaran-ajaran yang memiliki kesamaan dengannya sebagai paham yang sesat dan menyesatkan.
Begitulah “prasangka sesat" tidak bisa dinafikan telah menempati lokus khusus dalam konflik komunal berciri agama di Sampang. Prasangka minus dalam berteologi-agama semacam itu celakanya menjadi “dalih suci" bagi kaum mayoritas untuk menyerang kelompok minoritas yang dianggap sesat.
Tudingan sesat semacam itu sudah diwanti-wanti oleh sebagian ulama agar tidak terjadi. Misal Al-Syatibi, pakar ilmu fikih dari Spanyol pada abad ke-8 H yang masyhur dengan teori maqashid al-syari‘ah, mengingatkan dalam bukunya Al-Muwafaqat agar suatu kelompok tidak menuding sesat kepada kelompok lain dengan tujuan agar tidak menimbulkan perpecahan dan disharmoni di kalangan umat muslim.
Itulah mengapa fatwa-fatwa sesat MUI sering kali dikritisi oleh pelbagai kalangan yang prokebebasan berkeyakinan dan beragama, atau kalangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia di atas klaim-klaim “kesucian agama".
Dominasi Komunal
Kesan janggal tampak dalam Fatwa MUI Jawa Timur Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012. Bilamana memang fatwa itu secara khusus menyasar kepada ajaran Syiah yang dianut oleh kelompok Tajul Muluk yang sejak mula disinyalir sebagai Syiah Ghulah (Rifadlah), mengapa ketetapan fatwa itu justru menunjuk bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah sebagai sesat dan menyesatkan?
M Quraish Shihab dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep dan Pemikiran, menjelaskan bahwa Itsna Asyariyah merupakan paham yang dianut oleh mayoritas Syiah. Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari penduduk Irak dan Iran, selain menjadi bagian dari komunitas muslim di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, dan beberapa negara bekas Uni Soviet (Shihab, 2007: 83). Dinyatakan, Itsna Asyariyah tergolong Syiah yang sahih: meski memiliki perbedaan sekaligus persamaan dengan Suni, secara fundamental tauhid dan keimanan Syiah tidak rusak dan cedera.
Sementara Syiah Ghulah yang teridentifikasi sebagai ekstremis, yang juga menyebal menjadi beberapa kelompok seperti Rifadlah, Al-Sabaiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Manshuriyah, dan sebagainya, hampir dikatakan telah punah (Shihab, 2007).
Tidak heran bilamana tumbuh kecurigaan bahwa fatwa-fatwa tentang Syiah merupakan upaya sistematis-politis untuk mendiskreditkan semua kelompok Syiah di Indonesia--bukan hanya ajaran yang dipeluk Tajul Muluk dan pengikutnya di Sampang. Upaya semacam itu bila diusut-usut sudah berlangsung sejak 1980-an.
Tonggaknya adalah terbitnya Fatwa MUI, 7 Maret 1984, yang menerangkan perbedaan pokok-pokok ajaran antara Syiah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Fatwa itu sekaligus mengimbau umat muslim Indonesia agar meningkatkan kewaspadaan akan masuknya paham Syiah.
Kecurigaan terhadap fatwa-fatwa yang ada pada tahap selanjutnya bisa saja menyentuh level yang lebih substansial: jangan-jangan sesat dan tidaknya paham/ajaran hanya tergantung kedudukannya sebagai minoritas atau mayoritas. Betapa kecurigaan semacam itu lagi-lagi mengingatkan bahwa agama rentan jatuh di bawah dominasi komunal bernama mayoritas.
--Musyafak, staf di Balai Litbang Agama Semarang
(Jurnal Nasional, 31 Agustus 2012)