Tuesday, April 09, 2013

Ancaman Dominasi Komunal di Ruang Intelektual

0
Ruang dialog keagamaan di Tanah Air terkini tengah dikepung ancaman menegangkan. Pembubaran dan pembatalan beberapa acara diskusi buku Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan yang sekaligus menghadirkan penulisnya, Irsyad Manji, sedikitnya membunyikan sirine darurat di panggung intelektualisme Islam. Ruang berpikir dibayangi represi kekuatan sekelompok massa yang mengedepankan kesewenang-wenangan, bahkan kekerasan.
Heboh penolakan terhadap keberadaan sekaligus pemikiran tokoh aktivis-pemikir Islam dari Kanada itu sekaligus menandai masih berlanjutnya perselisihan pemikiran kelompok fundamentalis vis a vis liberalis. Beberapa kelompok fundamentalis radikal yang selama ini mendapuk diri sebagai laskar atau barisan “pembela Tuhan‘ memanfaatkan kehadiran Manji di Indonesia sebagai momentum untuk melabrak pandangan-pandangan kaum liberalis-pluralis.

Sayangnya, dobrakan itu dilakukan dengan cara intimidatif dan mengesampingkan dialektika intelektual yang elegan. Orang Jawa bilang akal lawan okol (pikiran lawan otot). Melawan pemikiran dengan amukan sebagaimana telah terjadi bukan hanya gelagat menafikan fitrah keberagaman, tetapi juga pembungkaman hak berpikir dan kebebasan mengekspresikan pendapat.

Realitas itu semakin menguatkan pandangan Fazlur Rahman, cendekiawan muslim asal Pakistan, yang menyatakan bahwa kaum fundamentalis pada hakikatnya kelompok antiintelektual (Syarifuddin Jurdi, 2008: 312). Alih-alih menjernihkan kesadaran teologis yang mencerahkan, kelompok ini justru doyan mengerahkan slogan-slogan yang distingtif untuk membakar emosi massa yang kurang memahami doktrin keagamaan.

Kebebasan yang Damai
Kegentaran sebagian masyarakat muslim Indonesia terhadap pemikiran Irsyad Manji sebetulnya bisa dimaklumi. Karena pemikiran-pemikiran Manji secara “subversif‘ acap bersimpangan dengan ide-ide doktrinal kalangan arus utama. Sosoknya telanjur dicitrakan sebagai aktivis feminis yang lesbian daripada seorang pemikir yang gigih memperjuangkan kebebasan dan menyerukan laku beragama secara kritis.

Di negeri Paman Sam yang terbilang menjunjung tinggi kebebasan, aktivitas-aktivitas diskusi Manji pun acap dicekal dan ditolak oleh kaum muslim. Manji mengunjungi 40 negara bagian Amerika untuk berdiskusi dengan kawan maupun lawan di perpustakaan, kapel, biara, ruang olahraga, teater atau ruang-ruang kelas, tetapi tidak sekalipun di masjid. Semua undangan dari kaum muslim justru terintangi oleh imam masjid yang menganggapnya sebagai biang onar.

Ideologi-pemikiran Manji bisa ditilik di dalam buku-bukunya seperti Risking Utopia (1997), The Trouble with Islam (2003), dan The Trouble with Islam Today (2004). Manji tak habis-habisnya menyerukan agar kaum muslim beriman tanpa rasa takut. Baginya, Islam adalah kebebasan di mana manusia memiliki hak untuk memilih dan mengekspresikan keyakinan. Pengalaman diskriminatif yang dialaminya bersama kaum muslim di Uganda dari pengusiran rezim diktator Idi Amin merupakan percaan nasib yang menuntunnya menjadi penyeru kebebasan, keadilan, dan kedamaian.

Tuduhan kelompok-kelompok pemboikot diskusi Manji di Indonesia bahwa buku Allah, Liberty and Love mempromosikan lesbianisme terkesan berlebihan. Buku itu lebih dominan menceritakan perjalanan Manji dalam menjalani kehidupan sebagai aktivis feminis dan pemikir yang getol melawan doktrin-doktrin keislaman yang menurutnya telah mengubah agama sebagai “ideologi ketakutan‘ karena sarat doktrin yang intoleran, diskriminatif, dan radikal. Substansi buku itu mengajak umat muslim mengukuhi moral courage (keberanian moral) dalam menghadapi tirani.

Keberanian moral tak lain adalah keberanian menentang kemapanan agama, budaya maupun ideologi dengan mendayagunakan hati nurani untuk menegakkan integritas hidup di dalam maupun di luar agama. Keberanian moral dalam dimensi esoteris berarti mengeliminasi “iman konsensus‘ sebagaimana diinginkan masyarakat umumnya, kecuali menukarnya dengan prinsip-prinsip subyektifitas-individualitas yang menjunjung tinggi kesadaran pribadi dalam mendekatkan diri pada Tuhan.

Sementara perkara lesbianisme tidak mendapat porsi ulasan yang melimpah. Manji menyinggung persoalan hubungan seksual sejenis itu tanpa sistemisasi rigid apalagi penuh propaganda. Potongan-potongan pembelaannya kepada kaum gay atau lesbian ditegaskan serta diungkapkan lewat interpretasi alternatif dalam memahami cerita Nabi Luth di dalam Al Quran.

Menurutnya, kisah Nabi Luth tergolong ayat mutasyabihat (bermakna ambigu dan samar). Ia menafsir pemerkosaan sesama pria “lurus‘ yang disebutkan dalam kitab suci barangkali adalah ilustrasi atas kekuasaan dan kontrol. Kaum Luth dikutuk Tuhan karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar. Perkosaan tersebut merupakan dosa yang disengaja (the sin of choice) untuk menimbulkan rasa takut orang luar yang mengembara.

Dominasi Komunal
Komaruddin Hidayat (2012: 71) menyebutkan, sedikitnya ada empat domain hierarkis dalam mengartikulasikan dan mengekspresikan keagamaan: pribadi, jamaah (komunal), masyarakat, dan negara. Pada domain pertama, individu bebas memahami, mengembangkan dan menjalankan keyakinan. Domain kedua memberi hak perorangan untuk berserikat membentuk jamaah. Komunalisme ini biasanya disangga dengan ideologi keagamaan yang kemudian memproduksi simbol atau idiom yang secara ekslusif dipertahankan dari kelompok lain.

Artikulasi dan ekspresi pemikiran bekerja di domain masyarakat. Domain ini meniscayakan terjadinya kontestasi antarnilai maupun tradisi yang ditunjukkan oleh pelbagai agama atau kelompok agama. Domain publik keagamaan di Indonesia menyerap beragam pemikiran dan ekspresi. Itulah pluralitas yang tidak bisa dielakkan. Sehingga, domain publik ini harus dirawat dengan spirit kebebasan dan kesetaraan, serta toleran dalam menghadapi perbedaan.

Fenomena pembubaran, pembatalan dan pencekalan diskusi Irsyad Manji di Tanah Air menunjukkan gelagat negatif, yakni domain publik intelektualisme keagamaan yang hendak didominasi oleh kekuatan komunal. Kekuatan komunal yang intoleran dan mengerahkan tindakan represif merupakan ancaman bagi ruang publik intelektual yang dalam satu dekade belakangan ini mekar dan cenderung meluas.

Negara sebagai domain yang menjamin hak dan kebebasan beragama perlu memantau domain publik agar tidak jatuh di dalam kuasa komunal tertentu. Domain publik agama harus diminimalisasi dari dominasi kelompok-kelompok tertentu yang menajamkan eksklusifitas dan intoleransi demi terciptanya iklim intelektualisme Islam yang produktif dan kreatif dalam upaya menggulirkan ide-ide humanisme dan perdamaian.

Musyafak, anggota staf di Balai Litbang Agama Semarang

(Jurnal Nasional, 16 Mei 2012)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment