Piye kabare? Isih enak jamanku tho?
Kalimat yang berilustrasi “The Smiling General” atau “Pak Harto Mesem” sedang melambaikan tangan itu belakangan merebak berlalu-lalang di ruang-ruang publik. Sosialisasinya melalui media-media populer yang merakyat. Terpapar di bak-bak truk, baliho-baliho jalanan, stiker-stiker murah yang ditempel di helm atau kendaraaan bermotor, juga melalui media sosial yang canggih semacam facebook.
Wacana soal “zaman enak” pun terangkat. Meski dalam suasana yang sifatnya kasak-kusuk di tingkat masyarakat bawah, jauh dari suasana akademis dan ilmiah. Sifat kasak-kusuk itu berkembang dalam jalinan persoalan sosial dan ekonomi yang terus mendera. Banyak cerita mengiringi kasak-kusuk itu, misalnya tentang sopir taksi, abang becak atau pak tani mengeluhkan kondisi hidup sekarang susah, lantas membandingkannya dengan zaman ketika Pak Harto memimpin Indonesia. Kesimpulannya lebih enak zaman Pak Harto.
Kalangan intelektual bisa jadi mencerap wacana tersebut lebih sebagai parodi. Parodi tak sekadar diperlukan untuk meluapkan efek kejenakaan, tetapi juga alternatif mengkritik dalam balutan humor. Target dari kritik-parodik itu pun mudah ditebak. Siapa lagi kalau bukan rezim pemerintah SBY yang dikesankan doyan menaikkan harga BBM, kurang becus mengurus harga kedelai, tempe, bawang dan daging, kedodoran menekan inflasi menjaga nilai tukar rupiah. Kalimat “Piye kabare? Isih enak jamanku tho?” muncul setelah 15 tahun Reformasi berjalan, ketika persoalan ekonomi berikut kebijakan-kebijakan pemerintah dirasa semakin melemahkan daya hidup masyarakat bawah.
Multitafsir
Membaca wacana parodik yang mencatut ikon bekas presiden semasa Orde Baru itu mau tak mau memang perlu melibatkan tafsir. Tafsir sendiri butuh bantuan perangkat kognitif yaitu pengetahuan dan pengalaman-menyejarah.
Sebagian “generasi tua” yang pernah mencecap pahit-manis Orde Baru yang kebetulan diberkati umur panjang sampai hari ini, mungkin mengamini zaman Pak Harto lebih enak. Masalahnya pembenaran seperti itu tidak lepas dari situasi psikologis, bisa bermakna keluhan atau putus harapan.
Minimnya serapan informasi tentang hitam-putih Orde Baru di kalangan masyarakat bawah yang terbelakang dimanfaatkan oleh partai politik tertentu dengan mengusung romantisisme “zaman enak” ala Pak Harto. Kerinduan mereka pada situasi Orde Baru menjadi incaran untuk kemudian aspirasi mereka dilipat ke dalam kotak suara pemilu.
Sementara generasi muda terkini yang mulai belajar berpikir langsung disodori kenyataan-kenyataan era Reformasi. Suatu era mutakhir yang bersemangat perubahan, tetapi terancam frustasi karena tak kunjung bisa membabat korupsi. Generasi yang dibayang-bayangi depresi sebab tak henti-henti menyaksikan pelbagai kontestasi kepentingan antarkelompok sosial dengan mengedepankan kekerasan. Ditambah lagi mulai retaknya otoritas-otoritas atau legitimasi-legitimasi sosial yang sewaktu-waktu mudah saja meruntuhkan integrasi masyarakat. Namun generasi ini potensial lebih setia pada mimpi-mimpi perubahan.
“Zaman enak” itu multitafsir. Tak bisa digebyah uyah alias dipukul rata! Pengalaman-menyejarah menjadi kunci bagi masing-masing generasi dalam memahami idealitas zaman. Zaman bergerak, dan masing-masing generasi punya problematika sendiri. Bahkan generasi terkini tak luput dari tanggungan masalah yang diwariskan generasi sebelumnya.
“Zaman enak” tak bisa semudah ditetapkan dari perbandingan harga-harga sembako atau BBM, atau sekadar perbandingan kurs rupiah-dolar. Kualitas-kualitas sosial dan kemanusiaan juga perlu diuji.
Tentu ada perbaikan-perbaikan yang terjadi pasca Orde Baru. Semisal demokrasi sedikit menjadi lebih sehat, penegakan hukum semakin baik meski penyimpangannya juga masih banyak, melunturnya otoritarianisme, meningkatnya pelayanan pendidikan dan kesehatan, dan yang lebih penting adalah terjaminnya kebebasan individu untuk berpendapat. Tetapi tak bisa dinafikan bahwa rapor Reformasi memang belum memenuhi cita-cita perubahan.
Mitos
Golongan orang-orang pragmatis yang tak punya komitmen terhadap cita-cita perubahan, mungkin bisa dengan mudah merindukan zaman sembako murah. Padahal di zaman itu hak-hak asasi manusia sedikit sekali mendapat garansi. Zaman yang memanfaatkan dalil keamanan dan ketertiban untuk menyingkirkan banyak kelompok-kelompok masyarakat tertentu demi langgengnya kekuasaan.
Sebaliknya golongan orang-orang yang kritis terhadap sejarah dan informasi, setia pada janji dan mimpi perubahan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih adil dan beradab. Mereka tak sudi berpaling ke masa lalu yang “jahiliyah” itu.
Lain lagi “generasi autis” yang kini terbelit dalam jaringan komunitas imajiner yang mengandalkan gadget semacam smartphone sebagai mesin sosialnya. Di benak mereka yang tak “kenal” Pak Harto dan tak peduli Orde Baru maupun Reformasi mungkin terbesit begini: emang gue pikirin!
Bisa jadi “zaman enak” cuma mitos belaka. Watak zaman senantiasa menyembunyikan masing-masing kegagalan dan memanggul harapannya sendiri-sendiri. Masing-masing zaman berpotensi menemukan masa terbaik dalam mengelola politik dan masyarakat. Bias dalam menafsiri “zaman enak” justru kembali mengaburkan imajinasi masa depan yang sedikit demi sedikit telah disketsakan.
Musyafak, esais
(Koran Tempo, 11 September 2013)
Kalimat yang berilustrasi “The Smiling General” atau “Pak Harto Mesem” sedang melambaikan tangan itu belakangan merebak berlalu-lalang di ruang-ruang publik. Sosialisasinya melalui media-media populer yang merakyat. Terpapar di bak-bak truk, baliho-baliho jalanan, stiker-stiker murah yang ditempel di helm atau kendaraaan bermotor, juga melalui media sosial yang canggih semacam facebook.
Wacana soal “zaman enak” pun terangkat. Meski dalam suasana yang sifatnya kasak-kusuk di tingkat masyarakat bawah, jauh dari suasana akademis dan ilmiah. Sifat kasak-kusuk itu berkembang dalam jalinan persoalan sosial dan ekonomi yang terus mendera. Banyak cerita mengiringi kasak-kusuk itu, misalnya tentang sopir taksi, abang becak atau pak tani mengeluhkan kondisi hidup sekarang susah, lantas membandingkannya dengan zaman ketika Pak Harto memimpin Indonesia. Kesimpulannya lebih enak zaman Pak Harto.
Kalangan intelektual bisa jadi mencerap wacana tersebut lebih sebagai parodi. Parodi tak sekadar diperlukan untuk meluapkan efek kejenakaan, tetapi juga alternatif mengkritik dalam balutan humor. Target dari kritik-parodik itu pun mudah ditebak. Siapa lagi kalau bukan rezim pemerintah SBY yang dikesankan doyan menaikkan harga BBM, kurang becus mengurus harga kedelai, tempe, bawang dan daging, kedodoran menekan inflasi menjaga nilai tukar rupiah. Kalimat “Piye kabare? Isih enak jamanku tho?” muncul setelah 15 tahun Reformasi berjalan, ketika persoalan ekonomi berikut kebijakan-kebijakan pemerintah dirasa semakin melemahkan daya hidup masyarakat bawah.
Multitafsir
Membaca wacana parodik yang mencatut ikon bekas presiden semasa Orde Baru itu mau tak mau memang perlu melibatkan tafsir. Tafsir sendiri butuh bantuan perangkat kognitif yaitu pengetahuan dan pengalaman-menyejarah.
Sebagian “generasi tua” yang pernah mencecap pahit-manis Orde Baru yang kebetulan diberkati umur panjang sampai hari ini, mungkin mengamini zaman Pak Harto lebih enak. Masalahnya pembenaran seperti itu tidak lepas dari situasi psikologis, bisa bermakna keluhan atau putus harapan.
Minimnya serapan informasi tentang hitam-putih Orde Baru di kalangan masyarakat bawah yang terbelakang dimanfaatkan oleh partai politik tertentu dengan mengusung romantisisme “zaman enak” ala Pak Harto. Kerinduan mereka pada situasi Orde Baru menjadi incaran untuk kemudian aspirasi mereka dilipat ke dalam kotak suara pemilu.
Sementara generasi muda terkini yang mulai belajar berpikir langsung disodori kenyataan-kenyataan era Reformasi. Suatu era mutakhir yang bersemangat perubahan, tetapi terancam frustasi karena tak kunjung bisa membabat korupsi. Generasi yang dibayang-bayangi depresi sebab tak henti-henti menyaksikan pelbagai kontestasi kepentingan antarkelompok sosial dengan mengedepankan kekerasan. Ditambah lagi mulai retaknya otoritas-otoritas atau legitimasi-legitimasi sosial yang sewaktu-waktu mudah saja meruntuhkan integrasi masyarakat. Namun generasi ini potensial lebih setia pada mimpi-mimpi perubahan.
“Zaman enak” itu multitafsir. Tak bisa digebyah uyah alias dipukul rata! Pengalaman-menyejarah menjadi kunci bagi masing-masing generasi dalam memahami idealitas zaman. Zaman bergerak, dan masing-masing generasi punya problematika sendiri. Bahkan generasi terkini tak luput dari tanggungan masalah yang diwariskan generasi sebelumnya.
“Zaman enak” tak bisa semudah ditetapkan dari perbandingan harga-harga sembako atau BBM, atau sekadar perbandingan kurs rupiah-dolar. Kualitas-kualitas sosial dan kemanusiaan juga perlu diuji.
Tentu ada perbaikan-perbaikan yang terjadi pasca Orde Baru. Semisal demokrasi sedikit menjadi lebih sehat, penegakan hukum semakin baik meski penyimpangannya juga masih banyak, melunturnya otoritarianisme, meningkatnya pelayanan pendidikan dan kesehatan, dan yang lebih penting adalah terjaminnya kebebasan individu untuk berpendapat. Tetapi tak bisa dinafikan bahwa rapor Reformasi memang belum memenuhi cita-cita perubahan.
Mitos
Golongan orang-orang pragmatis yang tak punya komitmen terhadap cita-cita perubahan, mungkin bisa dengan mudah merindukan zaman sembako murah. Padahal di zaman itu hak-hak asasi manusia sedikit sekali mendapat garansi. Zaman yang memanfaatkan dalil keamanan dan ketertiban untuk menyingkirkan banyak kelompok-kelompok masyarakat tertentu demi langgengnya kekuasaan.
Sebaliknya golongan orang-orang yang kritis terhadap sejarah dan informasi, setia pada janji dan mimpi perubahan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih adil dan beradab. Mereka tak sudi berpaling ke masa lalu yang “jahiliyah” itu.
Lain lagi “generasi autis” yang kini terbelit dalam jaringan komunitas imajiner yang mengandalkan gadget semacam smartphone sebagai mesin sosialnya. Di benak mereka yang tak “kenal” Pak Harto dan tak peduli Orde Baru maupun Reformasi mungkin terbesit begini: emang gue pikirin!
Bisa jadi “zaman enak” cuma mitos belaka. Watak zaman senantiasa menyembunyikan masing-masing kegagalan dan memanggul harapannya sendiri-sendiri. Masing-masing zaman berpotensi menemukan masa terbaik dalam mengelola politik dan masyarakat. Bias dalam menafsiri “zaman enak” justru kembali mengaburkan imajinasi masa depan yang sedikit demi sedikit telah disketsakan.
Musyafak, esais
(Koran Tempo, 11 September 2013)