Wednesday, February 12, 2014

Ayu Utami dan Persoalan Sastra Pengakuan

0
Ayu Utami pernah menyatakan bahwa sastra adalah usaha mencari bentuk estetik bagi kejujuran. Pernyataan tersebut bisa jadi semacam kredo estetik Ayu Utami dalam berkarya. Novelnya yang berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang bisa dilihat sebagai ikhtiar menarasikan pengalaman nyata secara “jujur”. 

Perihal kejujuran masih sangat terbuka untuk didebatkan. Bagi sebagian orang, mustahil kejujuran bisa tampil utuh dalam karya sastra. Seorang pengarang yang menuliskan kisah nyata sekalipun, dituntut menghadirkan akurasi peristiwa selain performa keindahannya. Apalagi keindahan sastrawi bukan sekadar ornamentasi, tetapi tubuh utama yang maujud dalam struktur atau bentuk. Bagaimana bisa dikatakan jujur jika pengalaman faktual dibaurkan dengan khayal-fiksional?

Paling tidak autobiografi Ayu Utami yang berbentuk novel ini memancarkan spirit kejujuran yang jarang tampak dalam novel-novel autobiografis di Indonesia. Pengakuan Eks Parasit Lajang terang dan berani meramu serangkaian kisah hidup yang menurut kacamata umum tampak sebagai dosa atau kekejian.
Pengakuan Eks Parasit Lajang merupakan sekuel terakhir dari novel Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico yang telah mendahuluinya. Kisah cinta yang berlatar politik dari era Soekarno, Orde Baru, hingga Reformasi.

Dalam Pengakuan Eks Parasit Lajang Ayu Utami terkesan lebih mengunggulkan obsesinya untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang dipihakinya. Pengarang bisa dibayangkan sebagai perempuan yang begitu bersemangat mengkhotbahkan ide-ide besarnya.

Genre Pengakuan
Tidak keliru jika novel baru ini diberi tajuk “pengakuan”, yang mana dimensinya lebih condong menyasar kepada spiritualitas. Bukan sekadar pengakuan tentang seks dan perzinahan belaka. Novel ini punya korelasi dengan Confessiones (Pengakuan) yang ditulis Santo Agustinus pada abad ke-4. Confessiones ditengarai sebagai autobiografi pertama, ditulis seorang yang pendosa di masa muda yang kelak menjadi orang suci.

Sastra pengakuan (confessional literary) telah menjadi genre tersendiri dalam kesusasteraan. Karya-karya fiksi yang bercorak biografis, autobiografis, historis, atau memoar bisa dilihat sebagai bentuk-bentuk selingkung dengan sastra pengakuan. Di Indonesia banyak prosa yang yang merujukkan dirinya pada fakta personal-sosial. Sekadar menyebut contoh, Bumi Manusia, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, dan Amba. (Kini pun muncul hajat memproduksi novel-novel biografis yang mengisahkan perjuangan hidup tokoh-tokoh elite politik yang berpretensi sebagai bahasa pencitraan untuk bekal pertarungan kekuasaan).

Tidak hanya pada prosa, dalam puisi pun muncul genre confessional poetry (puisi pengakuan) yang berkembang dari Amerika, sebagaimana puisi-puisi autobiografis Anne Sexton atau Sylvia Plath. Jika dilacak lebih mendalam dalam kesusteraan Indonesia kontemporer, sangat tumpah ruah puisi-puisi yang lahir sebagai eksplorasi atas pengalaman psikologis-eksistensial yang sangat personal dari pengarangnya sendiri.

Problem Kritik
Sayangnya sejauh ini belum muncul diskursus serius mengenai genre ini. Teori untuk mengudar dan mengkritik karya-karya sastra bercorak biografis, autobiografis atau memoar, bahkan historis belum berkembang. Pengkajian karya-karya dalam genre ini masih menginduk pada teori sastra secara umum, misal sosiologi atau psikologi sastra. Belum muncul batasan, bagaimana sebaiknya membaca karya-karya semacam ini, apakah secara sintagmatik atau paradgimatik. 

Itulah mengapa Ayu Utami dalam catatan akhir novel Pengakuan Eks Parasit Lajang memberi rambu-rambu bagi pembaca mengenai persoalan pembacaan, bahwa novel tersebut mesti dibaca sebagai bangunan yang utuh dan cukup dengan strukturnya sendiri, tanpa dihubung-hubungkan dengan struktur dunia luar. Di lain sisi, rambu-rambu tersebut juga berisiko membatasi kemerdekaan pembaca. Karena sebagian pembaca akan punya kecenderungan membaca novel ini bukan hanya sebagai kisah yang eksis di dalam struktur dan plotnya sendiri, tetapi menghubungkannya dengan kehidupan nyata di luar teks. Apalagi, mengingat, karya sastra yang sedang dibaca berlabel pengakuan. Kemungkinan pembacaan seperti itu berlaku bagi karya-karya sastra yang bercorak biografis, autobiografis dan historis yang dewasa ini kian melimpah.

--Musyafak, essais, pengaji sastra di Open Mind Community Semarang
(Suara Merdeka, 9 Februari 2014)
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment