| Prof. Amin Abdullah |
Pandangan kita tentang kelompok Islam salafi harus dikaji ulang. Dulu salafi dipandang sebagai splinters group (kelompok kecil atau sempalan), kini justru menjadi mainstream di tingkat global.
"Eskalasi gerakan salafi kini sangat
masif. Tidak hanya di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Syiria, Libia, tetapi
juga di Afrika, Inggris, Paris, termasuk Indonesia. Maka menganggap mereka
sebagai splinters group sudah tidak
relevan lagi," kata Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, Selasa (12/01) di Balai Litbang Agama Semarang.
Amin mengatakan, dalam konteks
keindonesiaan hari ini kita juga sedang dilanda oleh global
salafism (salafisme global). Gerakan salafi di
Indonesia menguat seiring dengan tren global. Gerakan salafi ini berbeda dengan
salaf (salaf al-shalih) ataupun
salafiyyah.
Gerakan salafi di
Indonesia tampil sebagai kelompok keagamaan yang bercorak radikal. Gerakan ini tidak mesti ekstrim atau identik dengan kekerasan. Kelompok radikal sangat variatif dari sisi dakwah,
gerakan, ataupun kehidupan sosial, meskipun mereka sama-sama tekstualis dalam memahami sumber-sumber ajaran
Islam.
Menurut Amin, penelitian
terhadap gerakan keagamaan radikal ini harus
multidimensional dan multidisiplin. Ketiga bidang penelitian itu adalah Bidang
Kehidupan Keagamaan, Pendidikan Agama dan Keagamaan, dan Lektur dan Khazanah
dan Keagamaan harus membangun sebuah konstruksi ilmiah yang saling membangun dan
sekaligus saling menembus (semipermeable).
"Bisa jadi dalam literatur mereka
tidak mengajarkan ekstremisme, tetapi mungkin proses transmisi pengetahuannya
mengarahkan pada pemikiran atau gerakan yang ekstrim, dan itu bisa dilihat pula
dalam kehidupan sosial mereka di masyarakat," jelas Amin.
Output dari penelitian itu adalah sebuah matrix of islamism (matriks
paham/gerakan keislaman). Dengan matriks itu kita bisa memetakan secara
komprehensif mana kelompok keagamaan yang tergolong puritanis, ekstrimis, jihadis,
revolusioner, dan seterusnya. (ri.net)