Tuesday, February 02, 2016

Islam Indonesia dan Tantangan Global

0
Praktik moderat dan toleran umat muslim di Indonesia disodorokan sebagai model beragama di komunitas global. Tawaran yang kedengaran muluk-muluk, tetapi bukan mustahil.
Jauh waktu sebelum buku Islam in a Globalized World: The Challenges of Human Rights, Law, and Interfaith Harmony karya Mohamad Atho Mudzhar ini terbit, Thomas W Simons telah menulis buku berjudul hampir sama, Islam in a Globalizing World (2003). Islam pada milenium pertama perkembangannya, menurut Simons, adalah kekuatan utama penggerak lokomotif globalisasi. Ekspansi religio-politik—ke Persia, Byzantium, Mesir, Afrika Utara, Irak dan Syiria—merupakan gerak awal terjadinya globalisasi.
Simons menyebut milenium pertama itu sebagai golden age bagi Islam. Namun pada milenum kedua, Islam mengalami goncangan dilematis ketika laju globalisasi beralih dinahkodai Barat. Apalagi posisi Islam di dalam percaturan dunia global terkini semakin terhimpit pasca Tragedi 11/9. Citra “radikal-teroris” semakin memojokkan dan memunculkan fobia terhadap Islam.
Kehadiran buku Mudzhar yang memetakan pelbagai tantangan Islam di tengah kompleksitas globalisasi tampaknya diniatkan sebagai “wacana tanding” terhadap pandangan internasional yang cenderung negatif mengenai Islam. Pergumulan Islam di dunia global, sebagaimana agama-agama lain, tidak bisa menghindari tantangan hak asasi manusia, hukum, serta perwujudan harmoni lintas agama.
Dalam wacana itu, harmonitas muslim Indonesia dengan umat-umat agama lain dijadikan tawaran kepada komunitas internasional sebagai model praktik keberagamaan yang mampu mengantarkan dunia menuju perdamaian global.
Sedikitnya tiga faktor yang menjadi modal kultural Islam Indonesia dalam menghadapi tantangan global. Pertama, pemahaman Islam yang damai dan demokratis. Hal ini berpautan dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara melalui jalur kultural dari para saudagar Timur Tengah dan China. Dari situ Islam berkembang menjadi agama yang elastis (baca: akulturatif) dengan kebudayaan masyarakat setempat. Doktrin Sunni yang memiliki tipikal moderat, sebagaimana dianut mayoritas muslim di Indonesia, juga menjadi landasan teologis serta perilaku beragama secara inklusif-pluralis.
Kedua, ideologi Pancasila yang menjamin kebebasan beragama. Secara konstitusional negara Indonesia menjamin kebebasan warganya dalam berkeyakinan dan mengamalkan agama sebagaimana termaktub dalam Pasal  29 UUD 1945.
Landasan konstitusi itu kemudian diderivasikan ke dalam berbagai tata hukum, misal Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan tersebut menyebut enam agama yang dipeluk masyarakat Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Sayang, di tengah perjalanannya peraturan tersebut disalahpahami oleh pemerintah Orde Baru, sehingga negara berlaku diskriminatif terhadap selain keenam agama tersebut. Padahal dijelaskan di dalam peraturan tersebut, bahwa tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Zoroaster, Sinto, dan Tao dilarang. Mereka juga mendapatkan jaminan dan perlindungan konstitusi untuk hidup dan berkembang sejauh tidak bertentangan dengan peraturan bersangkutan maupun perundangan lainnya.
Tata perundangan di Indonesia memiliki sinergitas di dalam upaya menjamin hak-hak kebebasan beragama. Hal itu dapat ditelisik di dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant Civil and Politic Rights, UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan sebagainya.
Ketiga, kekayaan local wisdom yang bersumber dari tiap-tiap budaya lokal. “A number of local wisdoms also have emerged to support the harmony of people of different religious affiliations,” tulis Mudzhar. Kearifan lokal yang membangun harmonitas antarumat beragama di Indonesia antara lain natolu (Sumatera Utara), pela gandong (Ambon), menyama braya (Bali), sambatan (Jawa Tengah), satutur sauyunan (Jawa Barat) dan sebagainya.
Buku ini menunjukkan, keterlibatan Indonesia di dalam dialog lintas iman bertaraf internasional sejauh ini menempati posisi strategis. Misalnya pata tahun 2005 Indonesia bersama Inggris mensposori konferensi Asia European Meeting (ASEM) Interfaith Dialogue I di Bali. Sedikit kurang memuaskan, buku yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris ini memuat gagasan yang berulang-ulang di beberapa bab atau tulisan. (readingislam.net)
ISLAM IN A GLOBALIZED WORLD: THE CHALLENGES OF HUMAN RIGHTS, LAW, AND INTERFAITH HARMONY | Mohamad Atho Mudzhar | Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Cet I Desember 2011 | ISBN: 978-979-797-332-2, 186 halaman.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment