Tuesday, February 09, 2016

Kemesraan Tionghoa-Jawa dalam Perang Kuning

0
Sejak awal watak orang-orang Tionghoa di Indonesia kerap dinilai “pengecut” oleh masyarakat pribumi. Sebagai perantau pedagang, tabiat orang-orang Tionghoa  terkesan cenderung mencari aman dengan cara memihak penguasa. Stereotip yang melekat pada diri mereka adalah incorrigible opportunist (kaum oportunis yang tak bisa didandani). Namun meletusnya Geger Pacinan pada tahun 1740-1743 yang melanda nyaris seluruh kawasan Jawa membuktikan bahwa orang-orang Tionghoa juga mempunyai semangat patriotik. 

Dalam perang tersebut warga Tionghoa bersekutu dengan penduduk Jawa untuk melawan VOC atau Kompeni-Belanda. Geger Pacinan juga dikenal sebagai Perang Sepanjang atau Perang Kuning. Istilah Perang Sepanjang merujuk pada nama Kapiten Sepanjang (Tay Wan Soe), seorang panglima pelarian dari Tiongkok yang kemudian memimpin pemberontakan laskar “orang-orang berkulit kuning” (Tionghoa) ini. Tokoh lain yang juga berperan mengonsolidasikan laskar Tionghoa di Jawa bagian tengah adalah Tan Sin Ko alias Singseh dari Demak. Bupati Lasem yang notabene keturunan Tionghoa, Oey Ing Kiat, juga punya andil semasa peperangan.

Namun yang lebih masyhur dalam pengetahuan masyarakat adalah Sunan Kuning, ketimbang ketiga tokoh penting laskar Tionghoa tersebut. “Sunan Kuning” adalah julukan yang dihadiahkan kepada Raden Mas Garendi atau Amangkurat V yang menduduki tahta mataram kurang dari setahun. Dialah pemimpin pasukan Jawa semasa Perang Kuning berlangsung (halaman 4). 

Dari segi politik, Sunan Kuning bersedia membantu laskar Tionghoa karena kekecewaannya terhadap Pakubuwono II yang berbalik memihak kepada VOC. Tetapi dari segi kultural, masyarakat Jawa grass-root memang lebih simpatik terhadap orang-orang Tionghoa yang mudah berbaur dan ramah daripada Belanda. 

Penyebab utama perang ini adalah pembantaian massal yang dilakukan Belanda terhadap etnis Tionghoa di Batavia pada 10 Oktober 1940 (halaman 34). Tragedi kelam yang kerap disebut sebagai Batavia Massacre ini menewaskan sekitar 10.000 orang Tionghoa.

Sejak tahun 1690 VOC melakukan pembatasan masuknya imigran Tionghoa. Kebijakan ini kurang berhasil, jumlah penduduk Tionghoa  pun terus membengkak. VOC kemudian mendeportase warga Tionghoa yang tidak berizin (imigran gelap). 

Banyaknya imigran Tionghoa akhirnya dijadikan VOC sebagai lahan basah memanen uang ketika keuangan VOC memburuk.  Pada tahun 1729 muncul aturan warga Tionghoa diperkenankan tinggal setelah mengajukan izin dengan membayar dua ringgit. Berlanjut pada kebijakan akal-akalan pada tahun 1738 yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, semua warga Tionghoa harus mengantongi izin menetap yang “dijual” seharga dua ringgit oleh Kompeni.

Serangkaian pemerasan terhadap etnis Tionghoa terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya hingga memicu pemberontakan sejak Februari 1940. Ribuan orang Tionghoa di bawah komando Kapiten Sepanjang menyerang pos-pos Kompeni di pinggiran kota. Pada bulan Oktober situasi Batavia penuh huru-hara dan anarkistis: Valckenier mengomando penangkapan orang-orang Tionghoa yang dicurigai memberontak. Pada 9 Oktober 1940 serdadu Belanda menggeledah rumah-rumah orang Tionghoa. Alih-alih melucuti senjata, para serdadu justru menjarah harta mereka. Sehari berikutnya pembantaian massal pun terjadi hingga memicu perlawanan massif di berbagai daerah.

Perang ini ditengarai perang terbesar yang pernah dihadapi VOC, jauh lebih besar ketimbang Perang Jawa (1825-1830). Meletus dari Batavia, Karawang, Cirebon, kemudian meluas di sepanjang pantura Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Purwodadi, Lasem, Tuban, Surabaya hingga Pasuruan. Daerah pedalaman Mataram seperti Yogyakarta, Surakarta dan Banyumas juga rusuh.

Aliansi Tionghoa-Jawa dalam perang ini membuktikan satu fase zaman di mana relasi kedua etnis berlangsung harmonis dan mesra, meski perjuangan ini berbuntut kekalahan pada akhir tahun 1943 (halaman 265). Perang ini memiliki imbas politik yang sangat penting bagi situasi nadir Kerajaan Mataram di bawah cengkeraman VOC.

Melalui buku ini Daradjadi menarasikan sejarah Perang Kuning yang telah lama terlupakan. Rezim Orde Baru sendiri menghapus satu episode historis ini dari sejarah keindonesiaan. Kehadiran buku ini sekaligus menyumbangkan daya untuk merapatkan jurang kecurigaan warga pribumi terhadap etnis Tionghoa yang sejak ratusan tahun silam dikonstruksi oleh rezim kolonial Belanda. (readingislam.net)

DATA BUKU
Judul : Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC
Penulis : Daradjadi 
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta 
Tahun : Cet I, 2013 
Tebal : xliv + 292 hlm 
ISBN : 978-979-709-687-8

Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment