Thursday, May 08, 2008

Ketika “Kiri” Menjadi Komoditas

0
Oleh Musyafak Timur Banua

Globalisasi yang ditandai dengan mobilisasi massa dan arus informasi telah memunculkan fenomena matinya makna dari realitas atau kematian simbol-simbol di dalam masyarakat. Dalam pada itu, simbolisme dan formalisme menjadi fenomena yang menjamur di masyarakat.

Modernisme tanpa disadari telah banyak menggeser paradigma manusia hingga terjebak dalam ritual simbolis belaka. Karakteristik dunia dan mentalitas manusia yang bersifat oportunis pun telah menjadikan segala sesuatu sebagai aktivitas bisnis sekedar untuk mengeruk keuntungan.

Dalam kompetisi pasar global seperti sekarang ini, “kiri” sebagai sebuah –isme (paham) menjadi korban keganasan bisnis. Tepatnya, menjual simbol-simbol khas “kiri” kepada manusia yang “berotak kosong” sama saja menjual wadah (casing) tanpa isi (content). Akibatnya, simbol-simbol kiri tidak lagi mempunyai makna filosofis melainkan dijadikan sebagai komoditas belaka.

Sekilas tentang kiri
Istilah kiri muncul pada masa revolusi Perancis ketika sebagian anggota parlemen menentang pemerintah dan sistem birokrasinya. Sejak saat itu kaum kiri hadir sebagai penyeimbang mekanisme politik dalam aparatur negara yang represif.

Lambat laun, istilah kiri berkembang dalam konteks kehidupan global (tidak hanya politik, pemerintahan, dan negara) seiring ketimpangan sosial yang merajalela di dalam masyarakat. Dalam epistimologi Barat, kiri didefinisikan dengan the individuals and group who advocate the adoption of sometimes extreme messure in order to achieve the equality, freedom, and well-being of the citizens of a state.

Menurut Ahmad Syalabi Mujahid, kiri adalah garis ideologi yang melawan segala yang konservatif dan berusaha menyama ratakan kedudukan semua orang. Demikianlah gerakan kaum kiri kemudian menjadi sebuah ideologi yang menentang kemapanan dalam struktur sosial yang di dasarkan atas kedudukan dan peran seseorang di dalam masyarakat.

Dengan kata lain, struktur sosial yang mengakibatkan distribusi keadilan menjadi tidak merata mencoba ditembus dan didobrak oleh ideologi kiri. Akhirnya, sampai sekarang kiri diidentikkan dengan gerakan anti kemapanan.

Kiri vs pasar
Roda pasar yang membabi buta memproduksi gambar-gambar ala “kiri” tidak mempedulikan pergeseran cara pandang (shifting paradigm – meminjam istilah Thomas Kuhn) yang terjadi di masyarakat. Bagaimana kiri kemudian bukan hanya menjadi sebuah idoelogi, tetapi bergeser menjadi gaya hidup karena telah dijadikan sebagai komoditas produksi.

Dengan demikian esensi kiri mengalami pendangkalan seiring bergulirnya trend dan merajalelanya konsumerisme manusia. Pasar telah menjebak konsumennya dengan bumbu manis, yaitu dibubuhi provokasinya yang meneriakkan bahwa dengan memakai kostum ala kiri manusia mempunyai karakter bersimpati pada kemiskinan, ketidakadilan, dan anti kemapanan.

Seringkali kita menyaksikan baju ataupun kaos yang bergambar tokoh-tokoh kiri melekat di tubuh kaum muda. Mungkinkah mereka mengetahui makna gambar yang tertera di pakaian mereka? Atau untuk sekedar mengetahui makna yang tergambar di pakaian mereka?

Mulai dari gambar tokoh kiri nasional seperti Soekarno, Soe Hok Gie, Chairil Anwar dan sebagainya sampai tokoh kiri internasional seperti Che Guevara menempel di semua merek pakaian. Ibarat cendawan di musim hujan, seperti itulah simbol-simbol kiri tumbuh subur di pasaran di segala penjuru negeri ini.

Entah konsumennya (pemakai) berasal dari kalangan mahasiwa, pelajar, aktivis sosial, bahkan pemuda “biasa” sekalipun akan merasa bangga dan gagah memakai baju yang bergambar tokoh-tokoh kiri. Mungkin bagi sebagian kalangan benar-benar mengetahui arti dari pada simbol itu. Tetapi sebagian besar hanya ikut-ikutan dan taklid buta terhadap perkembangan mode.

Di kampus, misalnya, banyak mahasiswa memakai kaos bergambar tokoh kiri. Umumnya tokoh yang mereka kagumi –sebagai seorang aktivis mahasiswa— adalah Soe Hok Gie dan Che Guevara. Namun, ironisnya mereka yang memakai simbol-simbol kiri itu justru kebanyakan menampakkan diri sebagai borjuis-borjuis kecil yang lahir di dunia perguruan tinggi.

“Aktivis gadungan”, itulah kesan yang dapat ditangkap dari sebagian mahasiswa yang aktif di dunia organisasi dan pergerakan karena lunturnya idealisme dan tidak memahami ideologi kiri. Mereka telah mempermainkan simbol untuk melegitimasi namanya sebagai “aktivis”.

Kecenderungannya, mahasiswa (konsumen lingkup mikro) sebagai agent social of change (agen perubahan sosial) justru cuek saja dengan kemapanan yang terjadi di masyarakat bahkan di kampusnya sendiri. Sikap anti kemapanan (antidisestablishtarianism) seperti yang digagas oleh gerakan kaum kiri musnah sudah seiring gelora politik praktis ala mahasiswa yang makin menggila.

Tak jauh beda, kalangan “pemuda biasa” (kaum muda nonakademis) dengan sebagian aktivis mahasiswa yang tidak mengetahui ideologi kiri, mereka membabi buta mengikuti trend tanpa tahu sebenarnya siapa yang tergembar di kaosnya, dan apa makna gambar itu? Gambar Che, Chairil, Gie, Bung Karno, dan lambang Bintang Merah telah membalut mereka dengan kemunafikan dan tepat disebut “kiri tampilan” (left casing).

Kiri vs gaya hidup
Lambat laun, jebakan simbolisme-formalistik ini berkembang menjadi life style (gaya hidup) masyarakat modern. Sehingga, perjuangan kiri pada saat ini tidak hanya perang melawan kemapanan dan sistem yang menindas, tetapi juga melawan gaya hidup kiri simbolis yang mencemari ideologi kiri itu sendiri.

Seharusnya, simbol-simbol kiri menjadi instrumen dalam upaya normalisasi masyarakat yang terkungkung dalam social order (tatanan sosial) dan social values (tatanan nilai) yang timpang dan hegemonis. Dengan kata lain, simbol-simbol kiri seharusnya mencerminkan karakter anti kemapanan yang kuat dalam mengkritisi dan mendobrak kemapanan.

Kondisi pemakaian simbol-simbol dengan tanpa tidak mengaburkan maknanya seperti yang menggejala di masyarakat dewasa ini merupakan gejala simbolis-formalistik belaka. Termasuk menjadikan kiri sebagai simbol yang tak bermakna bagai pemakainya dengan sendirinya menjadikan simbol-simbol demikian sebagai gambar yang disakiti, bahkan gambar yang benar-benar mati.

Dalam segala ranah, kiri ditarik menjadi sebuah ikon budaya pragmatis. Hingga persoalannya tak berputar pada masalah ideologi dan perjuangan, melainkan pada gejolak gaya hidup manusia modern yang mengklaim kiri tetapi jiwanya kosong tanpa esensi kiri.

Tak cukup hanya dengan memakai simbol-simbol kiri sebagai kepedulian terhadap kemiskinan dan keterasingan dari ruang sosial. Akhirnya, kemiskinan, penderitaan, ketimpangan sosial, dan perjuangan telah diaransemen menjadi komposisi yang memiliki satu nilai eksotisme tersendiri. Rasa lapar dan terpinggirkan yang dirasakan kaum proletar justru menjadi trend para borjuis untuk mengekspresikan diri secara binal.

Bahwa kiri itu seksi, sebagaimana yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad justru disalahtafsirkan oleh manusia modern. “Seksi” menurut Goenawan dimaknai bahwa menjadi kiri adalah sebuah pilihan tersendiri dengan segala kenyentrikan dan kegenitan serta kenakalannya terhadap hal- hal yang berbau kemapanan. Tetapi manusia di zaman ini lebih menampilkan “seksi” secara simbolis.

Musyafak Timur Banua, warga Kampoeng Sastra Soeketteki Semarang, mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Author Image

About ngobrolndobol
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment