Tulisan Syaifur Rohman yang berjudul Kewajiban Penulis (Suara Merdeka, 14/06/2008) membawa saya pada pengalaman pribadi mulai awal belajar menulis sampai saat ini. Selama menulis saya juga merasakan sedikit kekecewaan yang juga dialami oleh teman-teman penulis lainnya.
Kegetiran, baik kecil atau besar, adalah sebuah kewajaran dirasakan oleh penulis pemula. Bentuk kegetiran itu bermacam-macam, bisa kekecewaan, kejengkelan, bahkan keputusasaan karena tulisan yang dikirimkan tidak dimuat.
Syaifur Rohman mengatakan, menulis adalah kewajiban penulis, sedangkan memuat adalah kewajiban Redaksi. Landasan ini, menurut saya adalah prinsip yang harus diterima secara legawa oleh semua penulis.
Dapat diambil pengertian bahwa ketika naskah dikirim ke Redaksi, maka kepercayaan sepenuhnya diberikan kepada Redaksi. Artinya, tulisan itu sudah barang tentu mengalami proses penyaringan baik secara administrasi, kualitas dan kriteria tulisan yang baik.
Ketulusan
Pembaca memang tidak bisa sepenuhnya merasakan pengalaman Syahrul Syaifudin Ansyari, mahasiswa Fakultas Sastra Undip. Namun hal demikian adalah proses yang lazim dilalui oleh penulis manapun.
Emosionalitas penulis pemula memang kurang bisa terkontrol, baik dalam bentuk frustasi maupun amarah. Saya seringkali menjadi pengaduan teman penulis yang merasa frustasi, jengkel pada redaktur sampai-sampai mengumpatnya.
Coba kita bertukar pengalaman menulis. Sudah hampir dua tahun saya konsisten mengirimkan tulisan berbentuk artikel ke sebuah surat kabar (maaf tidak bisa menyebutkan namanya). Paling tidak, dalam sebulan saya mengirimkan dua tulisan, baik untuk kategori mahasiswa maupun umum. Tetapi tulisan-tulisan itu selalu dikembalikan dan dinyatakan tidak bisa dimuat oleh redakturnya. Saya harus cukup puas dengan hanya tayang di Surat Pembaca.
Saya menilai itu pengalaman "lebih" dari yang dialami Syahrul Syaifudin Ansyari yang sejak 22 Desember 2007 tulisannya belum pernah dimuat di Debat Kampus Suara Merdeka. Lalu, apakah saya harus kecewa dan berhenti menulis (mengirim) di koran itu?
Awal mengalami hal ini memang merasa kecewa bercampur emosi. Namun akhirnya saya bisa mengambil pelajaran: keikhlasan dan ketulusan serta kesadaran untuk memperbaiki diri dalam menulis. Sadar betul, bahwa menulis di media umum adalah untuk melayani masyarakat sehingga isi di dalamnya harus bisa diperanggungjawabkan baik kualitas maupun isinya. Tanpa kepercayaan itu mustahil saya masih belajar menulis sampai sekarang.
Menulis adalah sebuah keikhlasan mengabdikan diri pada ritual penulisan mulai mencari referensi dan bacaan, menganalisis masalah, mengartikulasikan gagasan (menulis), hingga sampai pada mengirim tulisan (yang dengan ritual itu penulis bisa terpuaskan hasratnya).
Pemuatan bukanlah tujuan akhir seorang penulis. Menulis adalah komitmen untuk mengembangkan diri pada konteks ilmiah. Bukan popularitas, atau sekedar materi yang memang dibutuhkan. Bahkan menulis adalah panggilan jiwa seseorang untuk memenuhi kebutuhan pribadi dalam pergulatan intelektual.
Pergulatan di jurnalistik kampus membawa saya dan teman-teman pada kepuasan yang meyakini bahwa menulis adalah kebutuhan (membaca, menganalisis, dan mengkritisi). Ketika tidak menulis, kejumudan menjadi ancaman inteleketual dan kemandulan wacana ilmiah.
Jangan Berharap Banyak
Saya masih memegang wejangan Prie GS setahun lalu saat Pelatihan Jurnalistik di IAIN Walisongo. Pimred Cempaka ini mengatakan, "jika anda mengirim tulisan ke koran atau majalah, anggap saja seperti membuang ludah".
Ada beberapa maksud yang bisa ditangkap, pertama, jangan berharap banyak pada tulisan yang telah dikirimkan. Mengirim tulisan ibarat bersedekah; tidak mengaharap balasan secara langsung. Anggap saja tulisan yang dikirim begitu saja hangus saat sampai ke meja Redaksi. Semakin tinggi kita berharap, semakin keras reaksi psikologis kita jika tulisan tidak dimuat.
Kedua, mengirimkan tulisan ke media berarti melimpahkan wewenang kepada orang lain untuk menilai karya. Dimuat atau tidak adalah konskuensi logis yang bergantung pada kompetensi dan kualitas tulisan. Dari pernyataan Prie GS itu, penulis harus belajar mengikhlaskan tulisan yang telah dititipkannya ke Redaksi.
Akhirnya, tidak ada alasan untuk tidak istiqomah dan tetap menulis, meskipun dalam prosesnya sedikit banyak mengalami "kekecewaan". Jika standar tulisan adalah profesionalisme (kualitas yang didukung orisinalitas dan kejujuran ilmiah) maka tulisan yang tidak dimuat sejatinya belum mencapai standar objektif itu.
Musyafak Timur Banua, pemimpin umum Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT IAIN Walisongo Semarang
kalo nggak dimuat berarti tulisannya masih buruk, setidaknya itu menurut selera redaktur. dengan kata lain, bgitu aja kok repot. biar nggak sakit ati, ya nelum bisa menaklukan selera redaktur. masak ngalahin redaktur aja nggak bisa. payah deh.ya nulis aja lagi.kalau tak dimuat, muat aja diblog sendiri. kecuali kalau yang dicari pengakuan.
ReplyDelete