: kepada sebuah keterusiran
tubuhnya legam, tak berkepala dan berkaki. satu matanya di pusat dada. dua sayap emasnya tumbuh pula di dada. berputar-putar, menjangkau lingkarannya sendiri. ekor peraknya merekah bulat. membuat lintasan ke kanan-kiri. dengan jangkauan yang tetap dan sama. stagnan tapi terus melaju ke depan. tiap seperempat masa ia bernyanyi. menggetarkan sunyi yang magi. menakut-nakuti dengan bilangan kosong. Mendendangkan misteri yang berkalung sejarah.
suara jam lonceng itu pelan-pelan akan membunuhku
getaran nadanya menyelusupkan magi di telinga
berdesing, melengking, menjulai ke segala arah
hanya rasa sakit yang tersisa ketika mendengarnya
setiap selonceng suaranya tak lebih sebagai garis masa
yang satu persatu mengusirku, membuat kiamat
memisahkan ‘aku’ dan ‘mereka’ yang baru saja menjadi ‘kita’
dengan alasan amat sederhana: time is over
lalu, permainan apa yang sebenarnya dijalankan jam lonceng itu
toh, aku merasa tak ada aturan
pun, aku tak menemukan musuh di dalam dimensinya
oh, jam lonceng itu sendiri yang hendak melumatku
maka kini aku serasa hendak mati
terbaptis di bawah lonceng yesus
tapi, sedetik lantas leherku tertetak belati tumpul dan berkarat
terjerembab, dilucuti perih yang merantai
ah, iblis jam lonceng itu terus menepaskan sayapnya. menebar suaranya yang memekarkan jala-jala pesakitan. melingkari setiap relung. mengacak-macak kedirian yang ingin saja berdiam. dan ketika leher ini hampir putus, lidah iblis itu mendadak muncul dari matanya. mencemooh diri yang hendak mendapati kiamat di satu sudut bumi.
--Musyafak Timur Banua
(Kaki Sumbing, 3/11/09)
tubuhnya legam, tak berkepala dan berkaki. satu matanya di pusat dada. dua sayap emasnya tumbuh pula di dada. berputar-putar, menjangkau lingkarannya sendiri. ekor peraknya merekah bulat. membuat lintasan ke kanan-kiri. dengan jangkauan yang tetap dan sama. stagnan tapi terus melaju ke depan. tiap seperempat masa ia bernyanyi. menggetarkan sunyi yang magi. menakut-nakuti dengan bilangan kosong. Mendendangkan misteri yang berkalung sejarah.
suara jam lonceng itu pelan-pelan akan membunuhku
getaran nadanya menyelusupkan magi di telinga
berdesing, melengking, menjulai ke segala arah
hanya rasa sakit yang tersisa ketika mendengarnya
setiap selonceng suaranya tak lebih sebagai garis masa
yang satu persatu mengusirku, membuat kiamat
memisahkan ‘aku’ dan ‘mereka’ yang baru saja menjadi ‘kita’
dengan alasan amat sederhana: time is over
lalu, permainan apa yang sebenarnya dijalankan jam lonceng itu
toh, aku merasa tak ada aturan
pun, aku tak menemukan musuh di dalam dimensinya
oh, jam lonceng itu sendiri yang hendak melumatku
maka kini aku serasa hendak mati
terbaptis di bawah lonceng yesus
tapi, sedetik lantas leherku tertetak belati tumpul dan berkarat
terjerembab, dilucuti perih yang merantai
ah, iblis jam lonceng itu terus menepaskan sayapnya. menebar suaranya yang memekarkan jala-jala pesakitan. melingkari setiap relung. mengacak-macak kedirian yang ingin saja berdiam. dan ketika leher ini hampir putus, lidah iblis itu mendadak muncul dari matanya. mencemooh diri yang hendak mendapati kiamat di satu sudut bumi.
--Musyafak Timur Banua
(Kaki Sumbing, 3/11/09)