: untuk sebuah perjalanan
malam telah mengambilalih semua ceritaku. tersesat di tanah asing. gelap mengurung kesegalaan ruang. jejak kaki hanya meraba likuan bumi: paduan batu dan tanah merah. semak basah oleh embun yang melayapi hawa. pokok-pokok menghitam dalam sunyi. nyanyian burung betet menggetarkan nada khawatir.
aku terus menghitam dalam langkah yang gamang. tak tahu arah. tak menentu tujuan. namun, perasaan terasing ini pelan-pelan justru mendamaikan. menyelinap pada tiap-tiap tikungan rasa. lantas, hawa hangat di dada perlahan menenangkan detak jantung yang sedari tadi memburu.
sesaat lalu aku tersadar pada barisan pinus. bau wanginya seperti anak perawan yang usai keramas. ah, ataukah pengantin baru yang usai junub. lalu pohon sengara yang mengindahkan dirinya dengan getaran ritmis jari-jari daunnya. kesemuanya itu berkabar bahwa aku tersesat. ya, di tanah asing bertanah merah. dengan jalan bertatar-tatar yang berhaluan meliku-lenggok seperti tubuh ular kekenyangan.
tapi, mengapa pula aku tak ingin pergi dari ketersesatan ini? serasa tak hendak lewat saja. inginku singgah seantara waktu. ah, mendiaminya jika mungkin.
Ataukah, aku ingin mati di tanah asing ini? Di tanah ini?
--Musyafak Timur Banua
(Kaki Sumbing, 4/11/09)